Menilai orang lain itu sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan kita dengan syarat tangan kita tidak stroke (kalau stroke ya lain cerita, betul?)
Selain mudah, murah pula biayanya atau malah gratis (kebanyakan sih gitu). Tentunya penilaian tidak selalu tepat, kebanyakan keliru. Dengan gampangnya kita menjudge seseorang tanpa kita benar-benar tahu siapa dia yang adalah sama-sama manusia ciptaan Tuhan.Â
"Oh dia... pemalas orangnya, suka marah orangnya, mood-mood'an, apa sih yang dia tahu? goblok gitu. Oh hendy... dia mah gitu orangnya" (Ilustrasi saja sodara-sodara)
Sebuah pertemuan di suatu malam
"Bg, aku mau tanya 'semudah itukah kita menilai orang lain?" tanya junior ku.
"Sangat mudahlah, mau contoh? kamu aja bisa kalau hanya mencari yang negatif-negatifnya tentang mereka" (aku tunjuk meja di seberang yang isinya anak-anak muda gondrong, dengan celana di bagian lutut koyak, kaos hitam oblong, seorang main gitar sambil yang lainnya nyanyi dengan syahdu)
"Apa yang kamu nilai dari mereka?" tanya ku
"Mereka itu orang-orang dak jelas, kuliah ngulang sana ngulang sini, ngumpul-ngumpul ngerokok, topik pembicaraan dak ada yang berbobot, nyanyi terus mabok, apa yang bisa diharap dari mereka"
"Kalau abang mau tambahkan, pasti dak akan habis-habis kalau hanya cari yang jelek-jeleknya dari mereka"
Lagu pun makin keras di seberang sana, junior ku tidak berani menoleh
"Tapi bg, harusnya mereka sadar kedepan itu persaingannya berat, kasihan orang tua juga yang membayar uang kuliah mereka"
aku diam mendengarkan
"Bg, abang sering kan dipanggil mereka, waktu itu abang diolok-olok, abang dak apa-apa memangnya?"
"Dak apa-apa, kan ndak diapa-apakan ya kalau bagi-bagi rokok ya gpp lah, kita yang berlebihan berbagi sama mereka"
"Mereka memanfaatkan abang, abang dak tahu?"
Merasa haus aku pun menyeruput kopi susu panas di meja ku, pelan aku mulai memberi mata kuliah yang aku sendiri tidak tahu judulnya apa, satu SKS cukup lah
"Yo, orang-orang seperti mereka itu perlu dikasihani. Umumnya mereka bisa seperti itu karena mereka butuh perhatian, mereka tidak mendapatkan penerimaan dari orang-orang seperti kamu, makanya mereka mencari orang-orang yang sepaham dengan mereka, yang mengalami keadaan yang sama dengan mereka dan tentunya yang mau menerima mereka. Pendekatan mereka mungkin seperti itu, kasihan loh"
"Ia sih bg, tapi mereka salah. mau dekat juga dak  gitu caranya. contoh ya bg, aku mau dekat nih sama orang ya aku yang datangi, kalau mereka tidak, yang butuh siapa coba?
"Yo, kalau seperti itu berarti kamu sombong, masalahnya bukan pada mereka tapi pada dirimu. Kamu memasang tembok duluan, secara tidak langsung menjaga jarak, kamu menolak orang-orang itu masuk ke dalam kehidupanmu, setuju?
Banyak kita merasa lebih baik dari mereka, kita lalu merendahkan mereka. Apakah kita benar-benar kenal siapa mereka, apa yang terjadi pada mereka sehingga mereka seperti itu, latar belakang keluarganya, siapa teman-teman mereka di luar sana setelah pulang ini, bagaimana mereka di rumah... "
Terdiam sambil mengangguk dan aku rasa adik ku ini sudah mulai paham
"Kadang aku ngomong sama salah satu dari mereka, ya pas mereka panggil ke situ... bisa juga mereka ngomong tentang hikmah, tentang orang tua, ngobrol soal kuliah, agama dan cinta kasih Tuhan. Walaupun resek dan suka membully juniornya"
Aku seruput kopi susu ku "mereka butuh perhatian dari orang-orang seperti kita untuk menyadarkan mereka, dan jika mampu membawa mereka keluar dari penolakan lingkungan sosial Yo"
Hening lama dan akhirnya perpisahan, Yo ijin pulang. Aku selesaikan menulis ku dan kopiku, "berapa bu dhe kopi susu nya?" Hp ku berbunyi sms masuk, aku cek pesannya "terima kasih bg pencerahannya, oya kopi susunya udah dibayar"
Â
Akhir bulan duit tinggal 8rebu untuk beli bensin, dak jadi ngutang deh sama bu dhe malam ini... pulang ah nanti kena panggil. cabut...
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H