Dalam pasal ini, DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan Dapil. Substansinya, DPR ingin ada dana aspirasi untuk konstituen. Namun, penjelasan pelaksanaan program ini masih tergolong bias. Dengan distorsi tujuan program, ke depan pasal ini berindikasi akan membuka laku culas penggunaan anggaran. Kuat dugaan akan terjadi penyimpangan anggaran di lapangan.
3. Pasal 84, mekanisme pemilihan pimpinan DPR
Pasal ini memang politis abis. Soalnya ketua dan 4 wakil DPR akan dipilih oleh anggota berdasarkan suara terbanyak. Padahal pasal 82 UU No 27/2009 sebelumnya, pimpinan DPR dari partai pemenang pileg. Memang, ketua DPR adalah posisi prestisius, sehingga jadi incaran para fraksi. Hanya saja dalam naskah akademik, tidak ada penjelasan yang komprehensif tentang pengubahan sistem pemilihan pimpinan DPR yang baru ini.
Akibat ketidakjelasan latar belakang pasal ini, banyak pengamat menganggap bahwa pasal ini adalah upaya pihak oposisi pemerintah dan partai pemilu yang kalah, agar tetap memiliki kekuatan. Sebenarnya, jika pemerintah, yakin dengan kinerja dan dukungan rakyat, saya rasa, seorang presiden tidak perlu mengkhawtirkan masalah siapa pimpinan DPR-nya, termasuk munculnya pasal 84 ini.
4. Pasal 224 ayat (4), ancaman terhadap Anggota DPR yang kritis
Pasal 224 UU MD3 ayat (4)berpotensi membatasi anggota DPR yang frontal dan kritis terhadap keputusan sepihak, baik di rapat - rapat banggar, komisi atau di paripurna. Misalnya saja, ada anggota DPR yang kritis terhadap program dan penganggaran APBN, karena dianggap menghalangi dan tidak seritme, maka akan 'diasingkan' dan hak imunitasnya bisa hilang.
5. Pasal 224 UU MD3 ayat (5), muncul Mahkamah Kehormatan
Selama ini, Badan Kehormatan DPR saja tidak berfungsi dengan baik. Kini, dengan UU MD3, muncul lagi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memiliki tugas hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.
Jika Badan Kehormatan DPR hanya sebatas pelanggaran kode etik, Mahkamah Kehormatan meluas hingga pelanggaran pidana. Pada ayat (5), pemanggilan anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana, harus mendapat persetujuan tertulis dari MKD. Tentunya, MKD berpotensi menghalang-halangi proses hukum terhadap anggota dewan.
Imun anggota dewan meningkat. Padahal akar permasalahan kecurangan khususnya soal anggaran, pasti bermula dari gedung parlemen. Pembentukan MKD dinilai hanya 'akal-akalan' anggota dewan. Dengan adanya pasal 224 ayat (5), tidak terbayangkan, anggota dewan kita akan semakin brutal melakukan 'pencurian' uang negara.
6. Pasal 224 UU MD3 ayat (7), Mahkamah Kehormatan jadi penentu