Pandemi Terus Berlanjut, Haruskah Pendidikan Terhenti?
Judul ini saya ambil dari talkshow IIEF yang sedang mengadakan program terbaru, yaitu Beasiswa Cakrawala, beasiswa bagi putra-putri indonesia keluarga maskapai penerbangan.
Mendengar talkshow itu saya jadi mengingat polemik pendidikan antara Plato dan Kaum Sofis pada zamannya. Tentunya polemik antara Plato dan Kaum Sofis (Si pengajar demi uang itu), yang biasanya kita kenal jagoannya, atau orang yang dibenarkan ialah Plato.
Konteksnya ialah Plato yang mendapatkan didikan dari Socrates, yaitu guru yang mengajar karena kecintaannya terhadap kebijaksanaan, bukan terhadap uang, akan melanjutkan spirit ini lebih lagi. Socrates sepanjang hidupnya melarat karena mengajar kebijaksanaan demi kebijaksanaan itu sendiri.
Di lain sisi selain ada Socrates dan juga orang yang melanjutkan kecintaannya kepada kebenaran ketika mengajar yaitu Plato, ada juga Kaum Sofis yang mengajar demi uang, dia mendapatkan bayaran yang tinggi ketika mengajar, dan sebenarnya Plato sendiri tidak ada masalah dengan orang yang mendapatkan bayaran ketika mengajar, namun dia sangat bermasalah ketika ada orang yang dibayar sangat tinggi, Plato bahkan mengatakan bahwa kaum Sofis itu hanyalah penjual dagangan rohani, maksudnya karena dia mengajar demi uang yang besar, dia seperti menukar belikan sebuah kebenaran, tentu ini dikatakan oleh Plato dari kecintaannya kepada kebenaran.
Namun biasanya kita tidak belajar Filsafat setengah jalan seperti ini, cerita ini seharusnya tidak berakhir di sini, dan Plato harus keluar sebagai jagoan dalam ronde pertama yang baru saja dimulai, agak one sided ya kalau kita hanya sampai sini, dan langsung mengecap guru yang dibayar tinggi adalah orang-orang yang tidak pantas mengajar, dan seterusnya, tentu Kaum Sofis sendiri punya alasan, dan kita perlu membuka telinga kita bagi mereka.
Kaum Sofis mengatakan kepada Plato, "ya jelas saja anda tidak mengajar demi uang, karena harta anda sudah berlimpah, tidak perlu memikirkan uang, sedangkan kami bagaimana?" Tentu ini parafrase perkataan Kaum Sofis, dan memang benar bahwa Plato pada saat itu punya banyak uang, dia kaya, ketika Socrates hendak dihukum mati minum racun pun, Plato hendak ingin mengganti rugi dengan uang atas gurunya, namun Socrates sendiri tidak mengijinkan hal itu, Socrates mengatakan, dia lebih rela diperlakukan tidak adil, daripada melakukan ketidakadilan, perkataan yang sungguh mengharukan di dalam suasana sidang peradilan yang terkutuk itu.
Maka kita tahu cerita dari Plato dan Kaum Sofis pun tidak harus berakhir di ronde kedua, dan kita perlu memutuskan manakah yang lebih benar, dan seterusnya, itu sikap yang tidak ada gunanya, karena mengambil keputusan dari kedangkalan, meminjam klausa dari kampus saya STF Driyarkara yang mengatakan bahwa dalam kedangkalan kami tawarkan kedalaman, maka kita sama sekali tidak boleh memutuskan sesuatu dengan tergesa-gesa dan sembrono, atau sederhananya dangkal. Â
Kita tahu dalam cerita Plato dan Kaum Sofis ini perlu ada pihak ketiga, sehingga kita bisa melanjutkannya, dan kita tidak memutuskan sesuatu dari kedangkalan, tetapi dari berbagai pertimbangan yang matang, dan bukan hanya sensitivitas rasa belaka, tetapi juga logika dan hati nurani yang bersih. Â
Tanpa diendorse apa pun, kalau kampus saya mengatakan bahwa di tengah kedangkalan, kami tawarkan kedalaman, maka saya akan memberikan kutipan kepada IIEF Â ialah di tengah pendemi, IIEF Â menawarkan kelanjutan pendidikan.
Anda bisa bayangkan kalau saja pada zaman Plato dan Kaum Sofis bertengkar mengenai suatu proses pendidikan yang seharusnya bagaimana, ada pihak ketiga yang lain seperti IIEF Â ini yang mau memberikan beasiswa bagi pendidikan? Seharusnya ini membebaskan, membebaskan bukan hanya murid, tetapi juga guru dan pihak sekolah yang terkait.
Ini begitu sejalan dengan yang dikatakan oleh Ibu Diana Jahja (Selaku Direktur IIEF Â dalam talkshow), bahwa pandemi ini memang membawa banyak kesulitan, membawa banyak cerita sedih, tapi di satu sisi yang lain pandemi ini juga menunjukkan pesan penting untuk kita semua, betapa berartinya kepekaan dan kepedulian terhadap sesama ternyata bisa menolong dan menyelamatkan hidup banyak orang, ini kalimat yang begitu penting sekali untuk kita perhatikan, beasiswa ini menyelamatkan banyak orang, tentu bukan hanya pihak yang diberikan beasiswa, (kalau berpikir seperti itu mungkin anda berpikir dalam ronde 1) tetapi juga guru yang masih dapat mengajar karena muridnya tetap bisa bersekolah, dan juga pihak sekolah/kampus yang tidak harus tutup atau bahkan mengirit secara paksa karena kekurangan murid.
Direktur IIEF ini juga mengatakan bahwa "kami sudah selalu sering mendapati bahwa mereka yang sukses, meraka yang bisa menjadi the agent of change yang handal adalah mereka yang memiliki hati dan kepedulian yang besar terhadap sesama dan lingkuangannya, saya sangat setuju sekali, betul, bangsa ini bukan hanya butuh orang-orang pintar (misalnya guru yang dapat mengajar, dan seterusnya), tetapi juga butuh orang-orang punya hati dan kepedulian yang besar, sebagaiman IIEF Â yang sudah mengusahakan beasiswa, kita percaya dan yakin kalau saja di bangsa Indonesia ini, dipenuhi lembaga seperti IIEF Â yang memusatkan perhatian dan kepeduliaannya kepada pendidikan, bangsa kita akan menjadi lebih baik, pertengkaran antara Plato yang mengajar demi kebijaksanaan dan Kaum Sofis pun akan segera kelar, karena akan banyak guru yang hidup dengan layak, dan dapat mempersiapkan materi dengan cukup waktu, tidak lagi harus mengais-ngais, lembaga sekolah dan kampus pun terpenuhi dalam biaya operasionalnya, ditambah murid akan belajar lebih tekun, karena tidak harus kuatir, misalnya saja belajar sembari memikirkan bayaran semester depan.
Kiranya apa yang dilakukan oleh IIEF Â ini bisa ditiru oleh banyak lembaga lainnya, lembaga yang tidak hanya memikirkan perut mereka sendiri (Kata Plato ini adalah tujuan hidup paling rendah, karena akarnya adalah di bawah, yaitu apa yang keluar di jamban), tapi kalau orang sudah memiliki tujuan yang lebih tinggi, dia akan menaruhnya di dada, kebanggaan, dan seterusnya, tetapi tujuan paling tinggi manusia bukanlah di dada, seperti kehormatan, kebanggan, senang disanjung, dijilat, dan seterusnya, atau bahkan lebih parah dari itu adalah menjadi penjilat, itu tujuan kedua yang terendah, kata Plato manusia memiliki tujuan di paling atas, yaitu di kepala, rasio manusia, dimana orang itu mampu berpikir dengan rasionya secara tepat, akal budi kita itu bukan hanya memimpin kita kepada yang baik secara teoretis, namun ia juga mendorong jiwa kita untuk melakukan tindakan, itulah sesungguhnya tujuan tertinggi manusia, ketika akal budinya yang baik mendorongnya untuk melakukan hal yang baik.
Sampai bertemu ditulisan berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H