Fakta miris menunjukkan bahwa perokok mayoritas berasal dari negara-negara miskin. Atas berbagai faktor, para "penghisap racun" mengorbankan hidup demi kenikmatan sesaat. Melihat tren riset terkini, langkah strategis pengendalian rokok perlu berorientasi pada pola preventif pada generasi muda. Efek negatif rokok melalui paparan pasif pada generasi muda menjadi cara paling ampuh untuk mengendalikan rokok. Dalam perwujudannya, berbagai level relasi sosial berperan, mulai dari orangtua dalam level mikro; sekolah, perusahaan, dan organisasi pada level meso; hingga pemerintah pada level makro.Â
Orangtua bertanggung jawab membudayakan situasi bebas rokok sembari menginternalisasi nilai-nilai agama secara praktis. Level meso memberi penguatan melalui kampanye bergaya kekinian. Kesukarelaan akan timbul dari kedua level ini ketika ada regulasi pemerintah yang tepat sasaran, tanpa kompromi, dan adaptif dengan zaman. Integrasi ketiga level perlu diimbangi dengan strategi pasar seperti reward-and-punishmentterhadap eksternalitas kegiatan merokok. Pengendalian rokok sejatinya memerlukan pendekatan inklusif berupa integrasi antarinstrumen terkait. Setiap aktor perlu memainkan perannya tanpa dilandasi kepentingan sektoral.
Internalisasi Kesukarelaan pada Generasi Muda
Sebagaimana dampak negatif rokok telah menyerang generasi muda, demikian pula fakta ini dapat menjadi bahan pengajaran bagi mereka. Serangan terhadap generasi muda terlihat dari tren peningkatan jumlah perokok, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Jumlah perokok meningkat sampai titik maksimal di masa peralihan generasi muda (anak-anak hingga remaja) ke generasi dewasa. Artinya, ada internalisasi yang tidak efektif atau bahkan tidak berjalan sama sekali pada generasi muda. Internalisasi ini tentu berada pada berbagai level, mulai dari mikro, meso, hingga makro. Di antara ketiganya, level mikro memiliki peran besar, dalam hal ini keluarga, sebagai tempat tumbuh pertama kali generasi muda.
Keluarga adalah tempat internalisasi kedua ekstrim perspektif, menolak rokok atau menerima rokok. Perspektif kedua bersifat meniadakan perspektif pertama. Dengan kata lain, ketika perspektif yang ingin diinternalisasi adalah menolak rokok, berarti keluarga, melalui peran orangtua, perlu secara konsisten menerapkan upaya-upaya menolak rokok. Upaya ini juga perlu diterapkan secara paralel, intens, dan strategis pada level meso (melalui organisasi seperti sekolah) dan level makro (melalui pemerintah).Â
Sebagai tempat tinggal sekaligus area dengan potensi tingkat paparan SHS yang signifikan pada anak-anak dan remaja, rumah perlu didesain untuk mendukung suasana tanpa rokok. Sebagai contoh, rumah dapat dilengkapi dengan rambu-rambu untuk tidak merokok, tidak dilengkapi dengan asbak, dan menciptakan ruang khusus perokok di luar rumah. Aturan-aturan tidak tertulis juga dapat dirancang seperti melarang pengunjung untuk merokok dalam ruangan.Â
Selain itu, perlu ada kesukarelaan dari orangtua untuk berhenti sebagian atau bahkan berhenti total dari kegiatan merokok. Kesukarelaan ini perlu dilandasi perasaan cinta kasih demi kebaikan anak-anaknya. Di beberapa negara, seperti Spanyol dan Italia, internalisasi cukup sukses, bahkan telah merambat pada upaya pelarangan rokok di kendaraan.
Strategi internalisasi tersebut dapat disertai dengan penanaman nilai-nilai keagamaan. Agama kerap dipandang sebagai aturan tanpa makna. Untuk itu, orangtua berperan penting dalam memberi penjelasan logis dari setiap aturan yang dipercaya sebagai bagian dari keberhasilan internalisasi. Pada dasarnya, ajaran agama menolak kegiatan merokok demi kebaikan umatnya.
Perubahan Paradigma melalui Kampanye Kekinian
Kampanye berupa poster dan video bergaya kekinian sangat efektif diterapkan pada generasi muda. Sebagai contoh, sebuah video menarik menggambarkan fenomena perokok dalam media sosial, yang notabene erat dengan anak muda. Dalam video tersebut, terlihat bahwa para perempuan yang sedang memainkan aplikasi pencarian jodoh, semacam Tinder, ternyata menolak para pria yang berfoto dengan rokoknya. Pesan yang ingin disampaikan sangat sederhana, namun sentuhan media sosial kekinian berhasil memberi kesan tersendiri yang membekas dalam benak generasi muda.Â
Apabila secara konsisten diinternalisasi, keterkaitan sosial ini bukan tidak mungkin mengubah paradigma para perokok muda ini. Merokok dianggap sesuatu yang tidak keren dan dijauhi para perempuan. Perubahan ini bukan tidak mungkin lantaran sesungguhnya dari lubuh hati terdalamnya, mereka pasti sudah tahu dan sadar bahwa kegiatan merokok tidak baik, setidaknya untuk kesehatannya sendiri. Mereka hanya perlu "diingatkan" kembali melalui kampanye-kampanye yang menyentuh.
Kegagalan Pemerintah (Government Failure) dalam Pengendalian Rokok
Instrumen CAC (command and control) banyak dipergunakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengendalian masalah penggunaan rokok. Namun, instrumen ini mempunyai kelemahan, yakni mendasarkan diri pada pandangan bahwa perilaku antilingkungan dapat dilawan dengan perundang-undangan, sehingga bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari pembenaran dalam setiap tindakannya; bersifat top-down dan instruktif, di mana masyarakat tidak didorong atau diberikan insentif berperilaku ramah lingkungan; serta bersifat kaku dan birokratis dalam bentuk aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari UU sampai Peraturan Daerah.
Regulasi yang banyak, tidak menjamin tidak terjadinya pelanggaran pada pelaksanaannya. Â Beberapa contoh pelanggaran adalah banyaknya perokok baru di kalangan anak-anak dan remaja, iklan rokok yang begitu menarik (iklan menggunakan lelaki yang gagah dan kata-kata yang memberi kesan bahwa rokok adalah pilihan laki-laki dewasa), serta tidak taatnya perokok untuk merokok di tempat khusus untuk merokok.Â
Hal ini disebabkan masih lemahnya proses pengawasan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah serta masih kurang tegas dan lemahnya sanksi yang diberikan. Dalam PP No. 109 Tahun 2012, apabila terjadi ketidaktaatan terhadap peraturan, maka 'hanya' akan diberikan sanksi administrasi berupa teguran sampai penghentian produksi dan peredaran rokok.Â
Sanksi ini hanya diberikan kepada produsen rokok dan pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan tempat kerja, sedangkan terhadap perokok tidak ada sanksi atau pun tidak ada insentif ketika masyarakat berperilaku ramah lingkungan. Hal ini membuktikan pemerintah dan pemerintah daerah kurang berkomitmen terhadap pengendalian rokok di Indonesia. Campur tangan pemerintah dalam hal pengendalian rokok dapat dikatakan mengalami kegagalan (government failure).
Kegagalan pemerintah disebabkan oleh (1) adanya kelompok penekan (pressure group). Pemerintah yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat, dalam hal ini kesehatan masyarakat, justru hanya melindungi kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu. Pemerintah bertindak dipengaruhi oleh kelompok tertentu yang berpengaruh secara politik atau ekonomi, sehingga kepentingan golongan tertentu itulah yang dibela. Hal ini berdampak pada peraturan yang dihasilkan akan berpihak pada golongan tertentu saja dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Lebih parahnya lagi lingkungan lah yang menjadi korban.Â
(2) Kurang informasi. Pemerintah seringkali tidak memiliki informasi terkini, akurat dan lengkap. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memahami permasalahan lingkungan yang ada, cara penanganannya, merumuskan peraturan dan dampak dari peraturan yang dibuat. Karena itu, seringkali tujuan pemerintah tidak tercapai karena kompleksitas permasalahan yang kurangnya informasi yang dikuasai pemerintah., sehingga peraturan yang dihasilkan tidak update dan tidak mengikuti perkembangan zaman.Â
Misalnya, sekarang ini telah berkembang rokok jenis vape atau electric cigarette, hukkah, dan sisha yang belum diatur dalam peraturan yang saat ini sudah ada, bahkan belum menganggap jenis-jenis tersebut sebagai rokok. (3) Kurangnya minat birokrat. Oknum birokrat pemerintah kurang berminat dalam pelaksanaan peraturan terntang pengendalian rokok, bisa jadi disebabkan masih mengedepankan kepentingan individu dan kelompok tertentu.Â
Misalnya yang membuat peraturan dan melaksanakan masih melakukan praktik merokok, sehingga oknum tersebut akan tidak berminat dalam melaksanakan peraturan dalam mengendalikan rokok, yang terjadi tidak adanya proses tauladan dalam melaksanakan peraturan tersebut.
Price-Based Incentivesebagai Cara Mengendalikan Konsumsi Rokok
Price-based incentive adalah salah satu bentuk market based instument. Price-basedincentive dapat dikatakan sebagai salah satu cara efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok, dengan harapan mengurangi dan menghilangkan eksternalitas negatif yang dihasilkan dari rokok. Beberapa bentuk dari price-based incentive diantaranya adalah dengan pajak, pungutan, dan subsidi. Secara umum, dapat dikatakan bahwa seorang yang melakukan tindakan negatif akan dibebankan biaya tambahan baik dalam bentuk pajak atau pungutan.Â
Sebaliknya, orang yang tidak melakukan hal negatif akan diberikan subsidi. Pola pikir seperti ini lah yang mendasari price-based incentive sebagai cara efektif mengendalikan konsumsi rokok. Hal ini dikarenakan adanya sistem punishment and reward atau hukuman dan penghargaan, yang terjadi secara tidak langsung. Individu yang merokok akan "dihukum", dan yang tidak merokok akan "diberi penghargaan".
Berdasarkan sistem tersebut, ada keuntungan dan kerugian yang mempengaruhi tiap individu dalam mengambil keputusan untuk merokok atau tidak. Berbeda dengan sistem voluntary yang mana seseorang harus dengan sadar dan sukarela memilih untuk mengurangi atau tidak merokok sama sekali, tanpa adanya insentif atau subsidi yang didapat mungkin akan merasa sulit. Sebagaimana pula dengan sistem command and control,apabila pamangku kebijakan semerta-merta melarang rokok tanpa ada insentif atau subsidi, maka perokok akan merasa terpaksa dalam mengambil keputusan untuk tidak merokok.Â
Melalui price-based incentive apabila tiap individu yang merokok akan diberikan pajak atau pungutan lebih dan yang tidak merokok akan diberikan penghargaan berupa subsidi, secara tidak langsung akan memberikan efek mendidik pada masyarakat bahwa ada keuntungan yang didapat dengan tidak merokok.Â
Hal tersebut didasari pola pikir dasar manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh van den Brand et al. (2016) bahwa masyarakat secara umum lebih menyukai keuntungan yang bersifat "nyata" seperti keuntungan finansial jangka pendek, dibanding keuntungan kesehatan jangka panjang. Berdasarkan pemikiran tersebut, akan lebih sulit untuk meyakinkan seseorang untuk mengurangi atau menghentikan konsumsi rokok menggunakan fakta ilmiah mengenai kesehatan. Seorang perokok sebagai klien, "dibayar" oleh penyedia jasa untuk berhenti merokok.
Artikel juga bisa dibaca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H