Perkampungan Batik Trusmi menawarkan potensi yang sangat menggiurkan. Para pendatang berbondong-bondong memburu helai demi helai karya nusantara. Embel-embel warisan budaya dunia oleh UNESCO memberi kredit tersendiri bagi tingginya antusiasme perburuan batik. Namun, di balik itu, ada konflik ekologi dan sosial yang mendekap kemilaunya, setidaknya terekam di kawasan ini. Ironisnya, konflik telah mendera pada level struktural. Akankah Batik Trusmi terus bersemi di masa depan?
Batik terkenal sebagai produk tekstil Indonesia yang diakui sebagai warisan budaya dunia. Produksi dilakukan di setiap wilayah dengan motif yang khas. Cirebon menjadi kota penghasil batik dengan motif yang kental dengan asimilasi dan akulturasi budaya. Motif yang ada tergolong menjadi dua, yakni keratonan dan flora-fauna.Â
Salah satu motif yang terkenal adalah Mega Mendung. Secara historis, Cirebon sebenarnya memiliki banyak sentra produksi batik, seperti Kenduruan, Paoman, Trumsi, dan Kalitengah. Namun hanya Trusmi yang banyak berkembang dan bertahan hingga sekarang. Corak Kawasan Batik Trusmi khususnya di gerbang masuk mirip dengan gapura khas di Bali. Corak ini menjadi bukti masih kentalnya tradisi Kerajaan Majapahit di tengah modernisasi.
Berdasarkan pengamatan awal, akses masuk sebenarnya cukup sulit lantaran lalu lalang dan aktivitas masyarakat sekitar yang begitu padat sertanya kurang lebarnya jalan. Akses yang cukup baik hanya terlihat dari beberapa showroom utama yang berukuran relatif besar.Â
Showroom ini menyediakan lapangan parkir yang luas dan nyaman. Akses ke rumah-rumah perajin cukup terbatas dan sempit, sehingga lebih nyaman dijangkau dengan jalan kaki. Tentu lokasi berimplikasi dengan harga. Semakin strategis lokasinya, semakin tinggi pula harga yang ditawarkan.Â
Dalam keseluruhan proses produksi batik, ada cukup banyak bahan kimia berbahaya yang digunakan. Bahan-bahan tersebut seperti soda kaustik (NaOH), asam hidroklorik (HCl), sodium nitrat (NaNO3), hidrogen peroksida (H2O2), hidro sulfit, sodium silikat (Na2SiO3), naftol, indigosol, lilin/malam, soda abu (Na2CO3).Â
Bahan-bahan tersebut telah terbukti memiliki beberapa dampak kesehatan maupun lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya proses produksi batik sendiri telah membutuhkan bahan-bahan kimia berbahaya, belum termasuk praktik-praktik oleh pekerja yang berbahaya dan tidak berkelanjutan. Tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, praktik-praktik tersebut juga berpotensi besar mengancam kesehatan pekerja yang terpapar langsung.
Dampak Lingkungan yang Kompleks
Salah satu kunci keberhasilan Industri Kecil Menengah adalah lingkungan hidup. Untuk itu, dampak lingkungan yang sangat kompleks dari rangkaian proses produksi batik perlu diperhatikan. Dampak tersebut secara luas dibagi menjadi tiga jenis limbah, yakni padat, cair, dan gas, dijelaskan sebagai berikut:
1. Limbah padat berupa sisa produksi berbagai jenis yang tidak dimanfaatkan secara optimal, seperti sisa-sisa pewarna, potongan kain, malam, bahkan sampah rumah tangga seperti botol plastik atau wadah makanan lain. Bahkan yang menarik sampah jenis terakhir yang justru banyak berdampak lingkungan, terlihat dari genangan sampah di sungai kecil yang mengalir di kawasan tersebut.
2. Limbah cair utama yang dihasilkan mengandung Bahan Beracun & Berbahaya (B3) yang berasal dari sisa proses pewarnaan dan pencucian. Limbah ini pada dasarnya tidak diolah, sehingga dibuang langsung ke saluran pembuangan.Â
Contoh nyata pencemaran ini terlihat pada air parit yang berwarna. Selain ke sungai-sungai sekitar, limbah cair yang dihasilkan juga mengalir ke saluran irigasi sawah yang terletak di sebelah dalam kawasan ini. Sepanjang aliran tersebut, limbah masih terbawa, sehingga berpotensi mengganggu kegiatan pertanian hingga penduduk sekitar sawah.
Kesenjangan Pengusaha dan Perajin
Selain kerja sama dan relasi dengan pembeli yang baik, pembangungan industri batik yang berkelanjutan juga perlu mempertimbangkan aspek sosial. Permasalahan pada aspek sosial menjadi nyata ketika melihat fakta kesenjangan antara pengusaha dan perajin Batik Trusmi.Â
Secara esensial, kesenjangan terjadi karena faktor ekonomi. Ketersediaan modal yang terbatas dan mekanisme pembayaran yang lama dari showroom yang menampung hasil produksi perajin adalah persoalan yang sangat memengaruhi kesejahteraan perajin. Waktu pembayaran dari showroom kepada perajin umumnya mencapai satu hingga dua bulan. Padahal, pada rentang waktu tersebut, perajin telah menanggung beban bunga pinjaman untuk modal usahanya.Â
Artinya, perajin justru menyubsidi sementara showroom. Fenomena inilah yang disebut oleh Ketua Asosiasi Perajin Batik Trusmi dengan istilah "gudhel nyusui kebo". Dampak dari relasi ekonomi semacam ini adalah ketergantungan perajin pada pengusaha.
Kesenjangan juga disebabkan hilangnya nilai-nilai sosial antara perajin dan pengusaha. Pengusaha yang pada mulanya juga adalah perajin seolah-olah tidak memiliki toleransi dengan menghargai rendah produk-produk perajin. Harga rendah ini tentu diinginkan oleh pengusaha karena mereka tahu persis biaya produksi batik.Â
Dengan demikian, perajin pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menjual dengan harga yang relatif rendah. Harga rendah ini dimanfaatkan pengusaha untuk mengeruk keuntungan selangit melalui penjualan di showroom. Harga jual di showroom bahkan mencapai lebih dari 100% harga jual perajin. Hilangnya nilai-nilai solidaritas sebagai sesama perajin ini yang menjadi salah satu penyebab utama tidak berkembangnya Kawasan Batik Trusmi.
Kemiskinan Struktural: Masalah Klasik yang Terus Menghantui
Kesenjangan menjadi dasar fenomena kemiskinan struktural di kawasan ini. Posisi pengusaha yang semakin merajalela meruntuhkan peran perajin sebagai inti dalam bisnis Batik Trusmi. Kemiskinan ditunjukkan dari kondisi pemukiman dan tempat produksi perajin yang masih sangat sederhana.Â
Bahkan kondisinya dapat dikatakan kumuh. Para perajin seolah-olah hanya pasrah dengan keadaan karena hanya membatik saja keahlian yang dimiliki. Alhasil, kemiskinan sudah menstruktur dalam relasi sosial masyarakat.Â
Bahkan, ada indikasi bahwa keturunan para perajin menolak untuk melanjutkan tradisi keterampilan membatik yang sudah turun-temurun. Fakta ini mengancam potensi Batik Trusmi sebagai salah satu sentra batik besar di Cirebon atau bahkan di Indonesia. Akankah Batik Trusmi bertahan dan bahkan terus bersemi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H