Contoh nyata pencemaran ini terlihat pada air parit yang berwarna. Selain ke sungai-sungai sekitar, limbah cair yang dihasilkan juga mengalir ke saluran irigasi sawah yang terletak di sebelah dalam kawasan ini. Sepanjang aliran tersebut, limbah masih terbawa, sehingga berpotensi mengganggu kegiatan pertanian hingga penduduk sekitar sawah.
Kesenjangan Pengusaha dan Perajin
Selain kerja sama dan relasi dengan pembeli yang baik, pembangungan industri batik yang berkelanjutan juga perlu mempertimbangkan aspek sosial. Permasalahan pada aspek sosial menjadi nyata ketika melihat fakta kesenjangan antara pengusaha dan perajin Batik Trusmi.Â
Secara esensial, kesenjangan terjadi karena faktor ekonomi. Ketersediaan modal yang terbatas dan mekanisme pembayaran yang lama dari showroom yang menampung hasil produksi perajin adalah persoalan yang sangat memengaruhi kesejahteraan perajin. Waktu pembayaran dari showroom kepada perajin umumnya mencapai satu hingga dua bulan. Padahal, pada rentang waktu tersebut, perajin telah menanggung beban bunga pinjaman untuk modal usahanya.Â
Artinya, perajin justru menyubsidi sementara showroom. Fenomena inilah yang disebut oleh Ketua Asosiasi Perajin Batik Trusmi dengan istilah "gudhel nyusui kebo". Dampak dari relasi ekonomi semacam ini adalah ketergantungan perajin pada pengusaha.
Kesenjangan juga disebabkan hilangnya nilai-nilai sosial antara perajin dan pengusaha. Pengusaha yang pada mulanya juga adalah perajin seolah-olah tidak memiliki toleransi dengan menghargai rendah produk-produk perajin. Harga rendah ini tentu diinginkan oleh pengusaha karena mereka tahu persis biaya produksi batik.Â
Dengan demikian, perajin pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menjual dengan harga yang relatif rendah. Harga rendah ini dimanfaatkan pengusaha untuk mengeruk keuntungan selangit melalui penjualan di showroom. Harga jual di showroom bahkan mencapai lebih dari 100% harga jual perajin. Hilangnya nilai-nilai solidaritas sebagai sesama perajin ini yang menjadi salah satu penyebab utama tidak berkembangnya Kawasan Batik Trusmi.
Kemiskinan Struktural: Masalah Klasik yang Terus Menghantui
Kesenjangan menjadi dasar fenomena kemiskinan struktural di kawasan ini. Posisi pengusaha yang semakin merajalela meruntuhkan peran perajin sebagai inti dalam bisnis Batik Trusmi. Kemiskinan ditunjukkan dari kondisi pemukiman dan tempat produksi perajin yang masih sangat sederhana.Â
Bahkan kondisinya dapat dikatakan kumuh. Para perajin seolah-olah hanya pasrah dengan keadaan karena hanya membatik saja keahlian yang dimiliki. Alhasil, kemiskinan sudah menstruktur dalam relasi sosial masyarakat.Â
Bahkan, ada indikasi bahwa keturunan para perajin menolak untuk melanjutkan tradisi keterampilan membatik yang sudah turun-temurun. Fakta ini mengancam potensi Batik Trusmi sebagai salah satu sentra batik besar di Cirebon atau bahkan di Indonesia. Akankah Batik Trusmi bertahan dan bahkan terus bersemi?