26 April 1997, Pratu Asmujiono dari Kopassus berhasil menjejakkan kakinya di puncak Everest (8,848 m).
Dalam daftar resmi pendaki yang sukses mencapai puncak Everest, yang sampai hari ini telah mencapai 5,788 pendaki, nama Asmujiono tercatat di urutan nomor 675.
Anatoli Boukreev, pemandu team pendaki Indonesia ke Everest 1997, menuliskan pengalamannya dalam pendakian tersebut. Dituangkan dalam artikel menarik berjudul 'The Return to Everest' yang dimuat dalam buku 'The Climb' karya Anatoli Boukreev dan Weston deWalt.
Ceritanya sangat heroik, membuat saya berinisiatif untuk menuliskannya kembali dalam Bahasa Indonesia supaya bisa lebih banyak dinikmati penggemar cerita 'mountaineering'.
Di bawah ini adalah bagian pertama dari delapan bagian keseluruhan cerita.
**********
Kopassus Penakluk Everest (1 of 8)**
September 1996, saat berada di Kathmandu, saya mampir ke kantor Asian Trekking untuk menemui seorang kenalan lama, Ang Tshering.
Tshering memberi tahu bahwa team dari Indonesia sedang mencari konsultan untuk memimpin ekspedisi ke Everest melalui jalur selatan. Dia menanyakan apakah saya tertarik dengan pekerjaan ini.
Setelah saya pertimbangkan dengan seksama, mengingat saya baru saja melewati masa sulit karena tragedi Everest, tawaran sebagai konsultan sekaligus pimpinan ekspedisi ini saya terima.
Ada beberapa alasan kenapa akhirnya saya menerima tawaran ini. Pertama, saya masih punya urusan yang belum selesai di atas sana. Urusan yang lebih bersifat emosional. Saya ingin menguburkan jenazah Scott Fischer dan Yasuko Namba (*) dengan penghormatan yang layak. Apalagi yang bisa saya perbuat saat tidak dapat memberikan yang terbaik pada situasi buruk untuk mencegah terjadinya bencana.
Kedua, kesempatan ini akan saya pakai untuk mulai lebih menekuni pekerjaan sebagai konsultan pendakian yang semakin menjamur. Sehingga nantinya, saya dapat memanfaatkan hobby mendaki gunung ini sebagai pekerjaan yang dapat diandalkan. Saya berharap dapat menuntaskan peran perdana sebagai konsultan sekaligus pimpinan ekspedisi ini dengan baik.
Yang ketiga, saya ingin membuktikan bahwa saya mampu memberikan yang terbaik dari profesi saya sebagai pemandu gunung. Kejadian di Everest pada musim semi yang lalu, oleh pers Amerika telah di salah persepsikan. Membuat saya merasa seperti dunia sedang menghakimi saya.
Jika bukan karena dukungan moral dari rekan-rekan pendaki senior Eropa seperti Rolf Dujmovits dan Reinhold Messner, saya pasti sudah depresi dan tidak mampu lagi mengembalikan kepercayaan diri saya.
Bertemu Jendral Prabowo
Setelah bertemu dengan pimpinan team Indonesia di Kathmandu pada akhir November, saya terbang ke Jakarta untuk menemui Jendral Prabowo Subianto, penggagas ekspedisi.
Dalam pertemuan yang berlangsung hangat itu, secara terus terang saya katakan bahwa kemungkinan keberhasilannya sangat kecil.
Saya jelaskan bahwa kemungkinan terbaik adalah satu pendaki saja yang akan berhasil mencapai puncak. Itupun kemungkinannya kecil, sekitar 30%.
Saya juga kemukakan adanya resiko 'fatality', pendaki tewas di gunung, dengan kemungkinan cukup besar, sekitar 50%. Kemungkinan yang secara pribadi tidak dapat saya terima.
Saya kemudian mengusulkan untuk melakukan program latihan terstruktur lebih dahulu. Dimulai dari gunung yang tidak terlalu tinggi, kemudian secara berangsur ditingkatkan.
Program latihan ini akan memakan waktu sekitar satu tahun. Usulan saya langsung ditolak.
Menurut pemikiran saya, keberhasilan mencapai puncak seharusnya dicapai melalui upaya yang masuk akal, bukan dengan cara seperti permainan rolet Rusia.
Keberhasilan mencapai puncak tidak ada artinya kalau sampai mengorbankan anggota team, apalagi kalau sampai ada yang tewas.
Potensi bahaya dalam pendakian gunung di Himalaya itu peningkatannya eksponensial, seperti deret ukur. Artinya, semakin tinggi kita naik, ancaman bahayanya menjadi beberapa kali lipat lebih besar. Saya tidak bisa menjamin keselamatan pendaki yang minim pengalaman.
Team pendaki Indonesia bisa belajar dari pengalaman saya, meminta rekomendasi ataupun jasa konsultasi lainnya. Tapi jika menginginkan puncak Everest dengan pendaki yang minim pengalaman, mereka harus bertanggung jawab atas ambisi yang menurut saya, cukup besar ini.
Jendral Prabowo kemudian meyakinkan saya bahwa motivasi anak buahnya sangat besar dan punya komitmen tinggi untuk keberhasilan ekspedisi. Mereka juga sepenuhnya menyadari resiko terburuk : kematian. Mereka siap untuk mati di gunung.
Terus terang pernyataan ini sangat mengejutkan, tapi setidaknya itu adalah pernyataan yang jujur.
Saya juga tegaskan bahwa meski nantinya saya akan bertindak sebagai pemandu, tapi sedapat mungkin team tetap harus mandiri.
Kita masing-masing yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan diri sendiri. Seteliti apapun persiapan yang kita buat, selalu saja ada hal yang kurang pada saat 'summit push'.
Kesepakatan Tercapai
Setelah diskusi panjang, Jendral Prabowo akhirnya setuju bahwa team akan terlebih dahulu melakukan latihan dan pengkondisian sebelum ekspedisi dimulai. Tapi tidak dalam waktu satu tahun.
Untuk ekspedisi ini, saya akan membentuk team pemandu yang orang-orangnya nanti akan saya tentukan.
Tugas team ini adalah untuk mengkoordinir latihan pendakian, latihan aklimatisasi dan sekaligus sebagai pemandu saat pendakian sesungguhnya dimulai.
Team ini juga nantinya akan berfungsi sebagai team penyelamat pada saat 'summit push'. Saya sangat menekankan pentingnya peran team penyelamat mengingat pengalaman saya pada pendakian musim semi sebelumnya.
Dalam percakapan saya dengan Jendral Prabowo selanjutnya, beberapa kali saya tekankan bahwa dalam kondisi apapun, saya tidak bisa menjamin keberhasilan team untuk mencapai puncak.
Sehingga, untuk memperbesar peluang keberhasilan, saya minta untuk diberi wewenang penuh dalam penentuan 'summit push'.
Saya tidak akan dapat melakukan pekerjaan saya dengan baik, jika tidak diberi wewenang penuh. Waktu untuk 'summit push' akan saya tentukan saat team pendaki sudah siap dan cuaca juga mendukung.
Oleh karena itu Jendral Prabowo harus bisa menerima seandainya nanti kondisi team pendaki, atau kondisi cuaca, atau kondisi keduanya tidak cukup aman sehingga 'summit push' terpaksa dibatalkan. Saya yang akan membuat keputusan itu.
Hal lain tidak kalah penting yang juga perlu sepenuhnya dimengerti adalah bahwa team penyelamat, sebaik apapun, tidak dapat menjamin penyelamatan yang efektif di atas 8,000 meter.
Tapi seandainya timbul masalah, saya siap mempertaruhkan segalanya, kalau perlu nyawa saya. Itulah dasar-dasar kesepakatan yang kami setujui bersama.
Next : Latihan Langsung di Himalaya
* Scott Fischer dan Yasuko Namba adalah dua dari sebelas pendaki yang tewas saat pendakian Everest Mei 1996. Silahkan baca 'Into Thin Air' karya Jon Krakauer yang juga sudah saya terjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan posted di account Kompasiana ini dengan judul 'Tragedi Everest 1996'.
** Terjemahan bebas dari 'The Return to Everest' yang dimuat dalam 'The Climb' karya Anatoli Boukreev dan Weston deWalt
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H