Mohon tunggu...
Hendro Adrian
Hendro Adrian Mohon Tunggu... Insinyur - Penggemar 'Dream Theater'

Pecinta cerita 'mountaineering'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Runtuhnya Kota Caracas, si Permata Amerika Latin**

20 Desember 2018   19:16 Diperbarui: 2 Januari 2019   13:56 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dulunya kota penuh glamor dan dianggap sebagai permatanya Amerika Latin, Caracas - ibukota Venezuela - kini runtuh karena hiperinflasi, kejahatan dan kemiskinan. Tulisan ini sebagai pembelajaran tentang bagaimana seharusnya memilih pemimpin yang baik.

Potret besar Hugo Chavez dengan pekik revolusi Bolivarian yang dicanangkannya menyambut pengunjung yang datang ke Boyac, tempat rekreasi yang terletak di puncak bukit dengan pemandangan lepas ke arah kota Caracas. Pekik revolusi Bolivarian itu berbunyi 'Adalah tugas kami untuk menemukan seribu cara untuk memberi rakyat kehidupan yang mereka butuhkan!'. 

Namun karena kondisi Venezuela yang terus memburuk, janji Chavez tersebut jadi terdengar hampa. Bahkan aksi vandalisme telah mencorat-coret wajah sang 'Comandante' di potret besar tersebut. Sedang di bawah sana, ibukota Venezuela sedang sekarat. 

"Sebuah kota hantu", keluh Omar Lugo yang berprofesi sebagai direktur situs berita El Estmulo. Kami menyempatkan berkeliling kota pada malam hari, Caracas memang telah berubah dari sebuah kota metropolitan yang ramai menjadi kota hantu. Ini semua adalah dampak dari hancurnya ekonomi Venezuela. "Sungguh menyakitkan melihat Caracas seperti ini" kata Lugo lagi. 

Hanya beberapa tahun yang lalu, saat bisnis minyak masih menjadi primadona, ibukota Venezuela ini merupakan salah satu kota paling maju dan glamor di Amerika Latin. Dalam buku panduan wisata, Caracas sering dipuji sebagai kiblat bagi pecinta kuliner dan penggemar seni, kota yang dipenuhi dengan pepohonan dan selalu 'hidup' hingga larut malam. 

Kota metropolitan ini tata-kotanya sengaja dibuat seperti kota-kota klasik di Perancis. Restoran, galeri maupun museumnya membuat iri kota-kota lain di kawasan ini. "Caracas adalah kota yang semarak. Anda akan benar-benar merasa seperti berada di dunia yang berbeda", kata Ana Teresa Torres, penulis buku Caraquea, yang buku terbarunya menceritakan tentang catatan hari-hari keruntuhan kota tercintanya. 

Pada Desember 1998, Chavez memilih balkon Teresa Carreno sebagai tempat untuk merayakan kemenangannya sebagai presiden Venezuela terpilih. Teresa Carreno adalah bangunan pusat budaya yang dibangun saat booming minyak di tahun 1970-an. Arsitekturnya mengingatkan kita pada Queen Elizabeth Hall di London. Para musisi dan penyanyi dunia terkenal seperti Dizzy Gillespie, George Benson, Ray Charles dan Luciano Pavarotti pernah menggelar pertunjukan di tempat ini. Bangunan ini juga melambangkan ambisi kemajuan negara. "Venezuela akan terlahir kembali", kata Chavez saat itu. 

Dua puluh tahun setelah pidato berapi-api itu, seorang pakar ekonomi menyalahkan kebijakan sosialisme yang kurang dipahami, korupsi yang merajalela dan kemerosotan harga minyak sebagai biang kerok tenggelamnya pesona Caracas. 

Layanan publik ambruk, segala macam bentuk usaha bangkrut dan tutup semua. Penduduk berlomba-lomba meninggalkan negara. Mereka mengungsi dengan menggunakan bus ke negara tetangga terdekat, Kolumbia. Bagi yang masih punya sisa tabungan, memakai pesawat yang setiap hari makin berkurang jadwal penerbangannya untuk mengungsi ke negara yang lebih menjanjikan seperti Amerika, Portugal atau Spanyol. 

"Saya benar-benar frustrasi melihat semua ini", keluh Omar Lugo yang menyusuri jalan-jalan gelap sambil menghitung apartemen yang lampunya masih menyala. "Negara ini sedang berjalan mundur ke jaman kegelapan - sulit untuk dipercaya". 

Apartemen Kosong

Tidak ada satupun komunitas yang tidak terpengaruh oleh runtuhnya Caracas. Mulai dari rumah-rumah sederhana di permukiman kelas bawah hingga rumah mentereng di daerah kelas menengah-atas seperti La Florida, semua ikut terkena dampaknya. 

Luis Saavedra, mantan konsultan keamanan industri minyak, mengatakan bahwa apartemen 13 lantai di tempat tinggalnya telah kehilangan lebih dari separuh penghuninya sejak Venezuela memasuki kekacauan ekonomi dan politik. Itu semua terjadi setelah Nicolas Maduro mengambil alih kekuasaan menyusul kematian Chavez pada 2013. 

Empat-belas dari 26 flat yang ada sekarang kosong, pemiliknya mengungsi ke Spanyol, Portugal, Jerman, Argentina atau Amerika. Harga satu unit flat berukuran 180 meter-persegi jatuh dari $ 320.000 menjadi hanya $ 100.000, itupun tidak ada yang sanggup membeli. Pada bulan November yang lalu, apartemen tersebut bahkan tidak mendapat pasokan listrik selama 16 hari. 

"Sosialisme yang dijalankan pemerintah telah menghabisi negara ini" kata Saavedra, 65 tahun, sambil menunjukkan isi salah satu dari lima flat kosong yang sekarang harus dia urus. "Sosialisme tidak membantu menyelesaikan urusan negara. Negara ini sudah selesai", katanya menambahkan. 

Di bagian dalam flat, terlihat lembaran-lembaran kain disampirkan di sofa untuk melindungi dari debu. Potret keluarga berbingkai yang tertinggal dan tergeletak di meja memberi bukti bahwa kehidupan mereka benar-benar telah terganggu dengan kemunduran ekonomi Venezuela. "Mereka tidak bisa terus menetap di sini. Sekarang mereka tinggal di Portugal", kata Saavedra, "Benar-benar memalukan". 

Saavedra, yang kedua anaknya tinggal di Spanyol, mengatakan bahwa dia sekarang - meski enggan - juga sudah mulai mempertimbangkan untuk ikut mengungsi. Menurut catatan UNHCR - komisioner PBB untuk urusan pengungsi - eksodus bersejarah yang berlangsung sejak 2015 ini sudah membengkak mendekati 3 juta orang, hampir 10% dari populasi Venezuela atau setara seluruh penduduk Caracas sebelum krisis. 

Melonjaknya kriminalitas dan hancurnya kota Caracas, di mana bahkan para kelas menengah-ataspun sekarang sering hidup tanpa air dan listrik, membuat mereka tidak memiliki pilihan apapun. "Benar-benar menakjubkan. Pada jam 6 atau 7 malam tidak akan lagi terlihat mobil di jalanan dan pada jam 8 malam, jalanan benar-benar kosong. Ini adalah ibu kota yang dulunya memiliki kehidupan malam. Sekarang tidak lagi. Sekarang semua orang hanya diam di rumah". 

Saavedra juga menceritakan peristiwa yang dialaminya beberapa waktu lalu saat dalam perjalanan pulang dari Miami. Turun dari pesawat, dia mendapatkan bandara internasional Caracas dalam keadaan gelap gulita karena pemadaman listrik. Padahal bandara ini pada jamannya pernah terhubung langsung ke Paris dengan penerbangan mewah Concorde enam jam. "Petugas imigrasi bahkan tidak bisa memeriksa kami karena tidak ada cahaya!", dia mencemooh. "Kami telah mundur 40 tahun dan kembali ke zaman kegelapan", cemoohnya lagi. 

Kelas Bawah Ikut Mengungsi

Ketika Chavez berpidato pada perayaan kemenangannya sebagai presiden terpilih, dia menyatakan perang terhadap 'kemiskinan luar biasa' yang merusak tanah kelahirannya yang memiliki kekayaan minyak melimpah itu. Tapi nyatanya penduduk miskin Caracas saat ini juga ikut mengungsi. Mereka melarikan diri ke luar negeri karena kekurangan makanan, kekurangan obat-obatan, tidak ada pekerjaan, sistem transportasi umum yang ambruk dan hiperinflasi. IMF memperkirakan hiperinflasi di Venezuela akan mencapai 10.000.000% (sepuluh juta persen!!!) pada tahun 2019. 

Solangel Jaspe, wakil kepala sekolah Katolik di daerah Cota-905, lingkungan kumuh dan miskin dengan tinggi tingkat kriminalitas tinggi, mengatakan bahwa dia memulai tahun ajaran baru dengan 909 siswa. "Hari ini tinggal 829 siswa dan terus berkurang", katanya. 

Baru pagi tadi, orang tua dari sembilan anak mengajukan pengunduran diri dari sekolah. Enam karena akan mengungsi ke negara lain - Kolumbia, Chili dan Peru - dan tiga lainnya karena tidak mampu lagi membayar biaya sekolah atau transportasi. 

Para guru sering meneteskan air mata ketika melihat banyak siswa yang pingsan di kelas karena belum sarapan atau bahkan belum makan sejak sehari sebelumnya. "Mereka adalah masa depan negara kita", kata William Orozco, seorang guru berusia 57 tahun di Paulo VI College. "Ini benar-benar menghancurkan perasaan saya", katanya lagi dengan sedih. 

Seorang teman, Luisa Valdez, mengatakan bahwa banyak anak-anak yang dirawat oleh kakek-neneknya karena orang tua mereka mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. "Saya kehabisan kata-kata untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi", kata Valdez sambil menutup wajahnya untuk menutupi kesedihan, dua orang anak Valdez bekerja seadanya di Ekuador dan Argentina. "Ini mengerikan. Saya tidak pernah membayangkan akan menjalani hidup seperti ini. Ini sangat sulit. Tetapi kita harus meminta kepada Tuhan kekuatan untuk terus berjalan". 

Armando Martinez, seorang guru musik yang kehilangan berat badan 8 kg karena menjalani apa yang disebut 'diet Maduro', mengatakan bahwa kehidupan para guru sangat sulit, mereka harus berjuang keras untuk sekedar tetap bisa bertahan. "Satu liter susu harganya 280 Soberanos (sekitar 11 ribu Rupiah), satu kotak telur 1.000 (sekitar 40 ribu Rupiah), satu kilo keju 1.000. Jika saya membeli itu semua, itu senilai satu bulan gaji saya". 

"Pakaian baru adalah kemewahan bagi kami, terpikirkan-pun tidak", tambah Martinez yang sol-sepatu sebelah kirinya tampak mengelupas. "Kami benar-benar putus asa. Kami melihat orang harus makan sampah demi bertahan hidup. Ini bukan kehidupan yang pantas untuk anak-anak kami" katanya menutup pembicaraan. 

Perut kosong - Lansia Ikut Menderita

Saat jam makan siang, banyak pensiunan yang datang ke 'Bank Makanan' di daerah distrik timur Chacao untuk sekedar mendapat jatah makan gratis yang disediakan atas kerja sama Dewan Kota lokal dan anggota Diaspora. Di antara mereka ada Rosemarie Newton, seorang pensiunan guru bahasa yang ikut mengantri karena tidak mampu lagi membeli makanan sendiri. 

"Saya sangat sedih harus antri makanan di sini, karena saya pernah menjalani masa-masa indah di Venezuela...masa dimana uang mengalir kemana-mana", kata wanita berusia 73 tahun itu, mengingat ketika negaranya masih dikenal sebagai Saudi-nya Amerika Latin. 

Sekarang tidak lagi. Newton mengatakan berat badannya turun lebih dari 50 kg menjadi hanya 36 kg. "Saya sekarang sangat kurus, teman-teman banyak yang tidak mengenali saya lagi... saya harus mengurangi jadwal makan dari tiga kali menjadi satu kali saja sehari". 

"Setiap hari harga makanan menjadi lebih mahal. Setiap minggu harga selalu naik. Tahun depan inflasi diperkirakan mencapai satu juta persen" kata Newton. "Bayangkan itu.... banyak orang akan mati kelaparan" katanya lagi. Newton tidak menyadari bahwa angka inflasi yang diproyeksikan IMF sebenarnya adalah 10 juta persen, bukan satu juta persen seperti yang dia katakan. Jadi keadaan bisa lebih buruk dari yang dia bayangkan. 

Newton, yang almarhum ayahnya adalah seorang ekonom asal Inggris, mengatakan dia tidak akan meninggalkan Venezuela - negara kelahirannya - untuk mengungsi ke Inggris. "Cuaca di sana yang membuat saya berpikir dua kali" candanya. 

Menurut Newton, untuk menyelamatkan negaranya, saat ini yang dibutuhkan adalah perubahan politik yang cepat. "Pemerintah telah menunjukkan kepada kami bahwa mereka tidak mampu mengelola negara. Semuanya telah lepas kendali" kata Newton. "Situasinya sudah tidak dapat dipertahankan lagi". 

Theater Yang Merana

Teresa Carreno, bangunan theater yang dulu mempesona, tempat di mana Chavez mencanangkan revolusi Bolivarian-nya, sekarang merana dan tidak terurus. 

Mantan direktur Eva Ivanyi mengenang, bangunan yang dibuat pada 1970-an itu semula dianggap sebagai jawaban Amerika Latin untuk untuk menandingi kemegahan theater La Scala di Milan, Italia. "Bangunan ini melambangkan masa depan kami. Untuk menunjukkan peradaban kami yang tidak kalah dari Eropa. Juga sebagai simbol atas kesuksesan kami", katanya. "Saat itu kami menganggap Teresa Carreno sebagai simbol untuk melangkah menuju modernitas - masa depan negara yang kami cita-citakan." 

Sekarang, komplek budaya itu tidak lagi terurus dan dilupakan. Lebih sering digunakan untuk acara pertemuan anggota partai sosialis yang memuja-muja keberhasilan mereka. Padahal mereka-lah yang bertanggung jawab atas runtuhnya Venezuela. "Pusat budaya yang dulu paling terkenal di Amerika Latin itu sekarang menjadi panggung bagi sekelompok babi dan pembohong" tulis seorang jurnalis Venezuela dengan geram. 

Di bagian luar, di tangga menuju balkon, di mana Chavez pernah menyampaikan pidato kemenangannya, tercium bau air kencing yang menyengat dan terlihat ada coretan 'Fuck Police'. Di gedung di seberang jalan - yang dulunya merupakan kantor pusat maskapai penerbangan milik pemerintah, Viasa - polisi khusus Venezuela baru-baru ini menembak mati sedikitnya delapan orang, sebuah peringatan bahwa Caracas telah menjadi salah satu kota paling mematikan di dunia. 

Ivanyi mengatakan bahwa dia percaya suat saat nanti, hari-hari indah itu akan kembali. "Ada hal-hal yang bagaimanapun juga tidak akan pernah bisa Anda hancurkan" katanya. 

Tapi kapan hari itu akan datang? "Ah, saya tidak tahu. Tapi itu akan terjadi saat pemerintah yang sekarang ini selesai dan kami memiliki seorang pemimpin yang mulai berpikir tentang restrukturisasi negara" katanya lagi. 

"Pada saat dimana air, makanan, listrik dan hal-hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat tidak lagi menjadi masalah, maka kita dapat mulai berpikir tentang budaya lagi. Saat ini, budaya jelas bukan prioritas" pungkasnya. 

William Orozco, sang guru, ikut ambil bagian dalam demonstrasi anti pemerintah tahun lalu dan mengatakan prioritasnya adalah untuk tetap tinggal dan berjuang demi murid dan negaranya. Dia melihat dua kemungkinan solusi atas kesengsaraan rakyat Venezuela, bantuan internasional atau Maduro dipecat. "Kami ingin Maduro digulingkan karena dia telah menjungkir-balikkan negara ini". 

Ana Teresa Torres, sang penulis, berpendapat bahwa saat ini hanya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi : mengganti sistem pemerintahan hingga terbentuk stabilitas ekonomi, atau negara akan kolaps dan akhirnya terjadi intervensi asing. "Jika tidak ada perubahan, Venezuela akan menjadi negara termiskin di dunia" katanya. Torres mengatakan dia tetap enggan untuk meninggalkan Caracas meski anak-anaknya sudah berangkat ke Kanada beberapa tahun lalu. "Saya mencintai negeri ini, baik atau buruk" katanya lagi. 

Tetapi ketika krisis semakin memburuk dan anak-anaknya terus-menerus memintanya untuk segera menyusul ke Kanada, dia merasakan hari 'pengungsiannya' semakin mendekat. 

"Ini akan sangat menyakitkan, akan sangat sulit untuk dilalui. Tapi saya kira keputusan untuk pergi adalah yang terbaik bagi semua penduduk negeri ini, tidak terkecuali", katanya mengakui. "Caracas adalah kota yang sekarat, sedikit demi sedikit sedang menuju ke kehancuran". 

Selesai - 

** (Terjemahan bebas dari artikel asli berjudul "The Fallen Metropolis : The Collapse of Caracas, The Jewel of Latin America" tulisan Tom Phillips di The Guardian online tanggal 18 Des 2018. https://www.theguardian.com/cities/2018/dec/18/the-fallen-metropolis-the-collapse-of-caracas-the-jewel-of-latin-america)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun