Mohon tunggu...
Hendro SW
Hendro SW Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang tunanetra yang suka dunia tulis-menulis

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajarlah dari Perbedaan Pandangan tentang Hantu

17 Juli 2020   16:53 Diperbarui: 17 Juli 2020   16:51 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 "Kuntil anaaaaaak.... Kuntil anaaaaaak....." Beberapa kali terdengar teriakan dari belakang rumah saya. Anehnya, justru susah dibedakan antara nada ketakutan atau bercanda. Karena suara yang terdengar suara anak-anak seusia remaja, langsung saja saya simpulkan kalau di belakang anak sedang bermain hantu-hantuan. Kebetulan yang jadi tokoh sentralnya jenis kuntil anak.

Tetapi ngomongin soal hantu, dari berbagai jenis seperti gendruo, kuntil anak, tuyul dan kawan-kawan, terlintas satu pertanyaan dalam benak saya. Benarkah hantu itu menakutkan?

Seringkali di waktu kecil orangtua mengingatkan "nak, cepat bobok ya... Kalau nggak nanti ada hantu." "Kok kalau nggak bobok ada hantu?" "Soalnya hantu nyariin anak-anak yang suka tidur malem." "Ibu, tapi kata ustadz jin dan hantu itu ada. Jadi dedek nggak bobok pun di sini sudah ada hantunya." "udahlah, kamu itu susah dibilangin. Bobok aja sana. Kalau nggak ada hantu nanti dedek bisa dimakan lho sama hantu!"

Makin ngeri aja ibu nakut-nakutin. Eh, bukan nakut-nakutin! Beneran lho!

Hal ini yang secara tidak sadar terbenam dalam diri kita. Bahwa gambaran hantu adalah sesuatu yang punya badan besar, gigi tajam, rupa mengerikan, mungkin ada juga yang rambutnya berdiri seperti duri landak, dan sebagainya. Tambah lagi dengan media televisi yang selalu memunculkan hantu dalam wujud yang berbeda-beda, tetapi tidak lepas dari kesan "mengerikan". 

Bahkan hantu perempuan dalam kisah-kisah mati dalam kubur, beranak dalam kubur, dengan alur cerita yang itu-itu saja juga walaupun muncul dalam bentuk perempuan yang cantik, bahkan lebih cantik dari pacar, tetap saja punya satu kesan "mengerikan!".

Dari sini setidaknya ada beberapa pelajaran berharga yang perlu kita ambil contoh. Pertama, bagi para pemimpin belajarlah dari hantu. Lihatlah hantu yang penyabar. 

Walaupun di buli dengan berbagai gambaran yang jelek, tapi pernahkah anda membaca berita bahwa seorang artis mati dimakan hantu gara-gara memerankan peran hantu dalam sebuah film? Atau bertanyalah pada diri anda sendiri. 

Saat anda marah dengan istri, atau anak, atau mungkin teman kerja, atau selingkuhan yang tak datang tepat waktu, lalu anda keluarkan semua kamus hantu dalam diri anda: "demit, gendruwo, kuntil anak, sundel bolong......" Lalu perhatikanlah diri anda dalam seminggu ke depan! 

Apakah anda merasa ditemui salah satu dari mereka yang namanya anda sebut? Apakah ada yang datang di mimpi anda dan membuat anda sampai ngompol? Saya kira pasti jawabannya tidak! Kalau pun ada barangkali anda memang sudah berteman dengan jenis hantu-hantuan itu sejak lama. Kalau pun anda ngompol saya yakin itu karena anda lupa tidak pipis dulu sebelum bobok.

Pelajaran kedua, bagi orangtua, berhentilah menakut-nakuti anak dengan hantu-hantuan. Sebab, jika anak tumbuh dewasa dan tumbuh menjadi pribadi yang takut dengan hantu, pengeluaran bisa membengkak. 

Misalnya, tiap malam jumat kliwon nanti anak akan meminta uang. Buat jajan? Tentu bukan! Yang jelas karena merasa takut dengan hantu anak bisa jadi mencari jalan untuk membuat perasaan takut hilang. Entah itu dengan minta doa pada mbah kyai, sampai dengan memasang sesaji agar saat tidur sendiri di kamar tidak didatangi hantu.

Anda bisa hitung sendiri berapa uang yang harus dibayarkan kepada mbah Kyai untuk bisa terbebas dari kejaran hantu. Belum lagi jika dari mbah kyai minta dibelikan sarana untuk sesaji. Wah,,, bisa-bisa gaji bapak nggak akan cukup untuk jalan-jalan nongkrong makan di warung indomi!

Pelajaran ketiga, jadilah orang dengan toleransi tinggi. Pernahkah anda bertanya kepada teman anda bagaimana wujud hantu menurut mereka? Dari pengalaman saya bertanya tentang hantu dengan teman-teman saya setidaknya tiap orang punya pandangan yang berbeda-beda berdasarkan pengalaman mereka masing-masing saat melihat hantu. 

Ada yang bilang hantu tidak bisa dilihat mukanya karena selalu membelakangi kita. Ada yang bilang wujudnya seperti manusia biasa tapi kakinya tidak menyentuh tanah, dan saat melihatnya ada perasaan merinding.

Ada juga yang bilang wujudnya menakutkan. Badan besar, penuh bulu dan mukanya memancarkan sinar merah menyala. Ada juga yang bilang punggungnya bolong, rambutnya panjang sampai ke tanah, mukanya pucat, dan kalau dipegang "dingiiiiiiiiin..."

Tetapi jujur, saya salut terhadap mereka yang pernnah melihat hantu. Meskipun berbeda pandangan terhadap wujud hantu, tapi tak pernah sekalipun mereka bertengkar dengan sesama teman yang memiliki pandangan berbeda tentang wujud hantu. 

Beda dengan para elit politik yang hobbi bertengkar karena perbedaan pandangan. Jadi, bersyukurlah bagi kalian yang pernah melihat hantu. Karena dari situlah anda bisa belajar makna toleransi yang sesungguhnya.

Ngomong-ngomong soal hantu ada cerita dari anak saya sendiri. Saya memang tidak pernah mengenalkan kosa kata hantu kepada anak saya. Tiba-tiba sepulang dari main anak saya langsung mengejar saya sambil bilang "haaantuuuu... haantuuu...' Saya sendiri sampai bingung,,, lha kok? Usut punya usut, ternyata di luar teman-temannya main hantu-hantuan. 

Sang pemeran hantu harus mengejar temannya sampai dapat. Teman-teman yang di kejar sontak pada berteriak "hantuu.... Hantuuuu.....' Setelah saya tanya anak saya Cuma diam. Tetap tidak bisa menjelaskan apa itu hantu. Apakah suatu makhluk yang punya rupa menakutkan, atau justru cantik, atau lucu.... Yang jelas satu yang pasti. Eh, eh,,, eh,.. anak saya sudah mulai mengejar lagi: "hantuuuuu,,,, hantuuuuuu!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun