Perayaan Imlek hingga Cap Go Meh di Indonesia selalu identik dengan penampilan tarian Barongsai. Kesenian yang telah diresmikan sejak jaman Gus Dur itu pun menyimpan cerita tersendiri dari para pengrajinnya. Terutama soal sulitnya permodalan dalam hal memproduksi kostum dan alat musik Barongsai.
Sebut saja Teng Kim Tjoan alias Koh De Baret, pengrajin sekaligus pembina grup tari Barongsai dan Liong asli Tangerang. Dia memulai produksi sejak mantan Presiden Gus Dur meresmikan Tionghoa sebagai salah satu budaya Indonesia. Awalnya, Koh De memulai usaha atas gagasan membuat Liong oleh seorang kawan. Namun dia kurang sepakat dengan ide rekannya itu. Berbekal pengalaman dan ketrampilan secara otodidak, Koh De memutuskan untuk memproduksi Barongsai.
Koh De menceritakan, Barongsai pertama yang berhasil terjual dibanderol seharga Rp 750 ribu. Dalam proses produksi, Koh De tidak sendiri. Ada seorang mahasiswa bernama Dodi yang ahli pada proses melukis rupa kepala Barongsai. Coraknya, dapat melalui pembahasan dengan si pemesan atau hanya bergantung pada kreasi sendiri. Selain itu, ada seorang lagi yang bertugas melakukan finishing. Misalnya, mengerjakan pengeleman dan perekatan kertas pelapis dan bagian-bagian lain pada kepala Barongsai.
”Produksi bikin barongsai sama temen, ya ada yang gagal. Tapi lama kelamaan (hasilnya) lumayan juga,” kata Koh De saat ditemui di kediamannya, Selasa (2/2).
Soal, bahan baku, mayoritas merupakan produk lokal dan kreasi sendiri. Misalnya, bagian rangka kepala yang di buat dari gabungan anyaman rotan dan bambu dalam negeri. Lalu, kertas pelapis yang digunakan adalah jenis duslax yang juga masih dapat dibeli di toko-toko buku terdekat. Bagian lain seperti mata Barongsai, Koh De memanfaatkan tempat pakan burung yang dicat sedemikian rupa agar menyerupai mata Barongsai. Sementara, produk buatan asli Tiongkok menggunakan bahan kayu.
Kemudian, pada bagian wajah seperti mata dan mulut biasa terlihat berbulu sebagai dekorasi wajib kepala Barongsai. Untuk mendokrasi bagian tersebut, Koh De menggunakan bulu sintetis atau imitasi dan bulu domba impor. Tergantung dari pesanan. ”Bulu dombanya aja sekitar 1,5 juta. Itu dari luar negeri, Australia dan China. Jadi, modal paling sedikit 14 juta untuk 10 kulit domba,” kata Koh De.
Proses pembuatan untuk satu set, lengkap bagian badan dan kostum pemain membutuhkan waktu paling lama 2 minggu dan biaya produksi sekira Rp 40 juta. Jika ada pembeli yang memesan Barongsai beserta alat musiknya yang harus diimpor, pengerjaan akan memakan waktu dua bulan dengan biaya produksi sekira Rp 100 juta.
”Karena lakunya cuma waktu Imlek. Dua bulan lama kan. Tapi kita harus produksi terus,” tuturnya.
Untuk memenuhi kebutuhan modal tersebut, Koh De kerap mengalami hambatan. Dia juga mengaku tidak tahu banyak mengetahui soal mengenai program kredit usaha rakyat (KUR) dari pemerintah melalui bank. Terutama, terkait prosedur pengajuan kredit yang dinilai masih berbelit-belit dan harus dalam jangka panjang. Sementara, Barongsai merupakan instrumen kesenian yang tidak digunakan setiap saat. Beruntung, Koh De mendapat dukungan penuh dari keluarga, saudara, dan rekannya.
”Dari dulu saya memang pengen begitu (dapat kredit usaha). Tapi, dari saudara-saudara mendukung saya juga. Jadi misalnya saya kurang duit, pinjem dari sodara,” ujarnya.
Lalu, soal pelanggan, sebenarnya Koh De tidak terlalu pemilih. Mayoritas pesanannya datang dari pelaku seni Barongsai yang pernah memesan produknya. Ada juga beberapa pesanan didapat dari beberapa kolektor non Tionghoa. Namun, dia enggan menerima sembarang pesanan. Sebab, sebagai warga keturunan, Koh De masih menganggap Barongsai adalah kesenian yang sakral. Apalagi, saat sedang tampil pada perayaan keagamaan di klenteng.
Hanya saja, dia belum pernah melayani pesanan ke luar propinsi maupun luar negeri. Mayoritas, pemesan dari Tangerang dan Indramayu. Menurutnya, membuat Barongsai bukan merupakan kesehariannya. Hanya pada saat perayaan tertentu seperti Imlek, Cap Go Meh dan bergantung pada pesanan. ”Karena saya juga ada warung, kadang-kadang bantu istri. Tapi kalau Imlek-kan bukan sambilan,” katanya.
Sekarang produknya semakin digemari dikalangan pelaku dan pecinta seni Barongsai. Ada peningkatan penjualan produk buatannya. Terbukti, penjualannya meningkat sebesar 50 persen yakni sebanyak 30 Barongsai dibanding tahun lalu yang hanya sekira 15 kepala. Untuk Barongsai berbulu domba, Koh De mematok harga di kisaran Rp 4,2 juta, sedangkan yang berbulu sintetis dibanderol seharga Rp 2,5 juta.
Namun, Koh De masih berharap adanya perhatian dari pemerintah terkait kelangsungan kesenian khas Tiongkok tersebut. ”Tapi kalau pemerintah mau ngedukung sih, ya saya terima kasih,” tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H