Saya ingat sekali hari itu, 13 tahun silam, 26 Desember 2004. Seusai mengelar diklat untuk calon siswa baru Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang (MPALH UNP), saya leyeh-leyeh di rumah Handreas Novroly. Lalu datang Agus Suryansyah dengan mata sembab. Aceh diterjang gempa tsunami, dan keluarganya di Meulaboh tak jelas kabarnya.
Singkat kata, MPALH UNP mengutus saya bersama Djamin Purba dan Aan Abi Faris buat mengantar Agus. Sebagai modal awal, kawan-kawan MPALH iuran sedapatnya dikoordinir oleh Richi Wiliam waktu itu.
Ini benar-benar tugas nekad. Kami benar-benar buta kondisi, sementara televisi cuma menyiarkan berita-berita mengenaskan yang membuat Agus tercenung. Tak tahu pula siapa yang bisa dikontak di Medan nanti. Tapi, ya itu, solidaritas kawan lebih besar dari rentetan kengerian itu. Waktu itu targetnya cuma satu: pokoknya Agus mesti sampai di Meulaboh selekas mungkin.
Kami pergi menumpang travel ke kota Medan. Di sana, kami dapat kabar perjalanan tidak bisa menggunakan jalur darat. Ada jalanan ambrol di Tapaktuan. Isunya pun kian simpang-siur, kian mengerikan. Saya teringat Agus menangis saat mendengar isu yang paling mengerikan: Meulaboh akan "dikremasi"---ya dibakar---guna mencegah wabah penyakit akibat ribuan jenazah yang tidak tertangani itu.
Semua jalan kami tempuh, dari coba melobi ke markas BNPB di kawasan Bandara Polonia, Â menyambangi Ikatan Keluarga Aceh, hingga ikut antrean relawan dari Universitas Teknik Medan. Sayangnya hanya bertemu jalan buntu. Tak ada kepastian kapan kami bisa berangkat.
Di sela-sela ketidakpastian itu, tangan Tuhan bekerja. Kami dapat kontak dengan Jaringan Relawan Kemanusiaan yang diinisiasi Romo Sandyawan---kawan-kawan di Padang yang mencarikan. Sejak itu, langkah kami semakin terang. Dari Padangbulan, kami bertolak menuju Subuhsalam, disambung dengan naik feri ke Meulaboh. Untuk kawasan Aceh Barat, Jaringan Relawan Kemanusiaan tergolong rombongan relawan yang pertama kali sampai.
Seturun feri kami langsung disambut kondisi Meulaboh yang luluh-lantak. Angin siang yang berembus seolah-olah membawa aroma kematian dan rintih kepedihan. Semua orang yang saya temui berwajah murung. Dan sejauh mata memandang--di sepanjang jalan, di bawah reruntuhan rumah-rumah, di dalam genangan puing-puing bangunan---ada banyak jenazah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un
Satu-satunya yang melegakan adalah saat mengetahui bahwa keluarga Agus selamat semuanya.
Lebih dari satu bulan saya di sana kala itu. Pekerjaan tim saya adalah melakukan evakuasi jenazah, distribusi logistik makanan dan obat-obatan, hingga membantu menyekop lumpur setebal di atas mata kaki di rumah-rumah penduduk.
Entah di mana foto-foto itu sekarang. Tim saya memang enggan berfoto-foto---kami tak mau sampai dituding turis bencana.
Dua pekan berselang, saat Melauboh kembali berdenyut, kami dapat kabar bahwa warung nasi di Simpang Rumah Sakit sudah dibuka. Buat kami para relawan yang sepanjang waktu hanya makan mi instan plus kornet atau sarden kalengan, ini ibarat menemukan oase di padang pasir. Berbondong-bondong kami di sana.