Membaca laporan utama Kompas Selasa, 6 Juli 2010, saya yakin banyak kalangan masyarakat yang berharap bahwa pemerintah dan para eknonom yang dekat dengan pemerintah segera menyadari kekeliruan dalam pengelolaan ekonomi nasional, sehingga akan mendorong terjadinya perbaikan.
Kesimpulan dari Forum Saresehan Kompas tentang permasalah ekonomi Indonesia sudah sangat tepat. Saat ini Indonesia memang menghadapi berbagai masalah kronis seperti koordinasi antar kementrian dan lembaga tinggi yang lemah, keputusan yang lambat, jurang antara si kaya dan si miskin yang makin lebarnya, buruknya infrastruktur, dan perekonomian nasional yang bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam. Berbagai masalah tersebut telah berlangsung lama, namun menjadi semakin parah karena tidak ada pembenahan secara tuntas.
Dilaporkan bahwa forum tersebut menyimpulkan situasi perekonomian sudah berubah jauh dari masa Orde Baru (ketika para ekonom senior menjabat). Saya kurang sepakat dengan kesimpulan tersebut karena menurut hemat saya arah ekonomi saat ini sebenarnya telah dimulai pada era sebelumnya. Mari kita telaah, benarkah kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini karena pilihan arah ekonomi sejak era Reformasi.
Bagaimana biduk, bagaimana pengayuh
Pertama, sumber daya alam yang tidak diprioritaskan untuk kepentingan nasional dan semakin dikuasai asing. Menurut UU Penanaman Modal tahun 2007, asing bahkan diperbolehkan untuk mengusai hingga 95%. Kita harus melihat permasalahan ini dengan lebih jernih karena pada dasarnya penyerahan penguasaan sumber daya alam kepada asing telah dicontohkan sejak awal Orde Baru saat tahun 1967 pemerintah menyerahkan pengeleloaan Freeport pada asing. Bila para pengambil kebijakan Orde Baru menganggap langkah tersebut adalah kesalahan, semestinya tahun 1992, tidak dilakukan percepatan perpanjangan kontrak karya Freeport tanpa koreksi yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Tidak heran bila penyerahan penguasaan sumber daya alam kepada asing berlanjut hingga saat ini.
Kedua, saat ini Indonesia menghadapi beban utang publik yang semakin berat. Meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, tetapi  total utang semakin besar. Pada bulan April 2010 telah mencapai Rp 1,015 triliun untuk utang dalam negeri dan Rp 573 triliun (US$ 63.54) untuk utang luar negeri. Padahal, sebelum krisis 1997 utang pemerintah hanya USD 74 milyar. Namun demikian, bila mau jujur, praktek pembiayaan pembangunan dengan mengandalkan utang sebenarnya telah dipraktekkan selama Orde Baru. Hanya kemudian, para menteri ekonomi penerus melanjutkannya dengan percepatan penarikan utang yang luar biasa.
Ketiga, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan juga telah dilakukan jauh sebelum krisis tahun 1997. Bahkan, berbeda dengan negara-negara Asia lain seperti China, Jepang, Korea yang menempatkan liberalisasi keuangan pada urutan paling akhir, Indonesia justru memprioritaskan liberalisasi keuangan sebelum membangun industri domestik yang tangguh. Dengan Pakto 88 (Paket Kebijakan tahun 1988) berbagai liberalisasi dimulai, seperti, diperbolehkannya untuk membuka bank baru hanya dengan modal Rp 10 milyar, bank-bank asing lama maupun baru diberi kemudahan membuka cabang, bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan, reserve requirement bank lokal diturunkan dari 15% menjadi 2%, dll.
Bila saat ini sektor keuangan Indonesia menjadi sangat liberal, maka sangat wajar. Tidak adanya kontrol terhadap modal jangka pendek misalnya, telah mengakibatkan sektor keuangan rapuh karena tingginya kepemilikan asing pada Surat Utang Negara maupun SBI. Percepatan liberalisasi di sektor perbankan juga terus dilakukan misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99% saham perbankan nasional.
Bila dikaji lebih jauh masih banyak kebijakan ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi saat ini, yang sebenarnya telah diawali pada masa Orde Baru karena sejatinya kebijakan ekonomi era reformasi hingga era saat ini masih merupakan lanjutan dari arah kebijakan ekonomi Orde Baru. Mungkin peribahasa 'bagaimana biduk, bagaimana pengayuh' tepat untuk menggambarkannya, yang berarti bagaimana pilihan kebijakan orang tua, begitulah pilihan anaknya.
Hanya memang harus diakui juga bahwa ada faktor lain yang mengakibatkan kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibanding era Orde Baru, terutama akibat peran negara yang semakin dibatasi dan liberalisasi yang semakin cepat dan tanpa arah. Sebagai contoh, program kredit Bimas dan Inmas atau kewajiban alokasi kredit kepada UKM lewat KUK (Kredit Usaha Kecil) pada masa Orde Baru, saat ini tidak mungkin dilakukan karena tangan pemerintah telah dipatahkan satu persatu lewat liberalisasi. Kredit Usaha Rakyat (KUR) a la Kabinet SBY, sangat berbeda karena tidak dilakukan dengan menggunakan dana pemerintah tetapi menggunakan dana komersial bank yang ikut dalam program, sehingga wajar bila realisasinya rendah.
Paradigma ekonomi
Diagnosa terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. Pilihan Indonesia untuk menggantungkan pembiayaan pembangunan pada utang, mempercepat liberalisasi di berbagai sektor tanpa mendasarkan pada strategi dan kepentingan nasional, menempatkan sumber daya alam hanya sekadar sebagai komoditas ekspor bukan modal untuk membangun bangsa, adalah kebijakan akibat kesalahan dalam pilihan paradigma, bukan kesalahan kebijakan, apalagi sekadar kesalahan dalam pelaksanaan.
Oleh karenanya, keresahan terhadap arah ekonomi nasional seperti ditunjukkan dalam saresehan ekonomi tidak akan bermakna bila tidak berakhir pada pengakuan jujur bahwa Indonesia telah mendayung ekonomi pada jalur paradigma yang salah selama puluhan tahun. Keresahan juga tidak akan memberikan manfaat bila tidak diikuti koreksi yang mendasarkan pada referensi yang benar. Indonesia telah memiliki paradigma yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Undang-undang Dasar 1945 telah menyiapkan 6 (enam) pasal yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34), yang mengatur kewajiban sosial dan ekonomi negara terhadap rakyat.
Untuk mengoreksi arah pengelolaan ekonomi agar dapat mensejahterakan rakyat Indonesia, diperlukan kemauan politik nasional untuk merubah paradigma ekonomi. Para ekonom senior dan mantan pejabat publik yang turun gunung karena kerisauannya terhadap keterpurukan ekonomi saat ini patut kita apresiasi. Namun, langkah tersebut akan memberikan makna bila diikuti dengan pengakuan bahwa kesalahan arah kebijakan ekonomi selama puluhan tahun terjadi karena mengabaikan amanah konstitusi. Pengakuan jujur ini sangat penting karena diharapkan akan menjadi pendorong perubahan dan upaya pelurusan arah paradigma ekonomi bagi eksekutif maupun legislatif. Semoga keresahan terhadap arah ekonomi tidak berhenti menjadi sekadar keresahan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H