Pilihan utama buat saya adalah calon presiden yang mempunyai karakter pemimpin. Tidak cukup seorang capres kuat pengalaman bisnisnya, kalau yang terbawa dengan kuat dalam kepemimpinan negara adalah sisi marketing-nya. Capres buat saya adalah yang kuat kepemimpinannya.
Ciri pemimpin yang kuat antara lain berani menjadi tidak popular seperti GusDur. Berani mengambil keputusan bakal memancing kebencian masyarakat pada dirinya. Kebencian yang muncul dalam diri orang-orang karena mereka tidak-tahu dan tidak cukup informasi untuk masalah yang dihadapi pemimpin negara.
Jokowi bukanlah pilihan utama bagi saya dalam ajang Pemilihan Presiden RI 2019-2024, karena beliau bukanlah pemimpin bangsa yang ideal. Beliau juga bukan negarawan.
Jokowi memang pandai mengambil hati. Banyak masyarakat yang dipikat hatinya dengan hadiah-hadiah buku atau sepeda atau kartu. Dia juga pandai mendramatisir suatu panggung acara dengan atraksi sepeda motor yang naik ke panggung. Piawai nian, mungkin karena beliau ini sangat jago di dunia marketing. Atraksi yang bersifat marketing gimmick, banyak dilakukan. Sehingga memperkuat kesan kehebatannya. Bahkan bagi sebagian orang, yang lebih kuat adalah kesan pencitraannya.
Banyak pendukung fanatiknya yang membela mati-matian kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Misalnya kebijakan membangun infrastruktur yang di satu sisi mulai dirasakan manfaatnya tetapi di sisi lain dicela habis-habisan karena pemborosan keuangan negara.
Terkait hutang negara pun, bermunculan kritik atau celaan. Belum lagi kebijakan yang cenderung menguntungkan negeri Cina yang menambah kuat kritik terhadapnya.
Dalam hal pemilihan calon wakil presiden, terasa sekali nuansa mengatur strategi untuk menang. Saya menyayangkan sekali bahwa ke-ulama-an seseorang dimanfaatkan sebagai senjata untuk menang dalam Pilpres. Juga saya sayangkan bahwa ulama yang bersangkutan mau menerima tawaran menjadi cawapres. Mengetahui dari berita-berita di media bahwa pilihan Ma'ruf Amin terjadi di hari terakhir menjelang pendaftaran capres yang mengejutkan banyak pihak, saya pun menyayangkan bahwa seorang ulama mau menerima tawaran dadakan yang sifatnya bagian dari strategi untuk memenangkan kursi Presiden.
Di sisi lain, Prabowo Subianto adalah seorang calon presiden yang menjadi andalan harapan dan sekaligus idaman sebagian Umat Islam untuk membawa kemajuan bagi Umat Islam Indonesia. Harapan adalah kekuatan manusia untuk maju dan berkembang. Harapan dapat menyatukan manusia. Prabowo adalah capres yang memberi harapan bagi umat Islam pendukungnya.
Sebagai muslim, saya mendukung keduanya untuk maju kontestasi dalam ajang Pilpres 2019. Buat saya, keduanya sama-sama Muslim yang boleh dipilih dan layak dipilih. Dengan keterbatasan masing-masing, saya merasa bahwa kalau ada calon ketiga, yang memenuhi harapan saya sebagai pemimpin (setelah memenuhi syarat kepribadian dan teknis dalam kepemimpinan) adalah orang yang terasa ketulusannya dalam bertindak, terasa keberaniannya mengambil keputusan yang tidak popular, dan benar-benar berani bersikap nothing to lose, maka dialah yang saya pilih jadi Presiden RI 2019-2024. Sayangnya, tidak ada calon dimaksud. Yang ada hanyalah pak Joko Widodo dan pak Prabowo Subianto. Saya harus memilih, dan pilihan saya adalah Jokowi karena alasan yang berikut ini.
Alasan saya unik, karena lebih pada cara pengungkapannya atau pada sudut pandang. Sebab, argumentasinya yang teknis ya tetap menggunakan data/informasi yang sudah diketahui masyarakat.Â
Ibaratnya saya sebagai Ketua Pemegang Saham dari Indonesia Corporation yang sedang mencoba menjelaskan alasan memilih Jokowi sebagai CEO-nya kepada 1000 orang pemegang saham, maka alasan saya berbunyi:
"Jokowi mendapatkan skor tertinggi dari berbagai calon CEO di tahun 2014. Peran CEO Indonesia Corp saat ini adalah sebagai Penggerak Perubahan atau Change Agent. Dia memang punya kelemahan, seperti menyukai hal-hal yang berkenaan image building. Â Skor leadership dirinya pun tidak istimewa. Tetapi keseluruhan skornya sebagai calon CEO lebih tinggi daripada calon lainnya saat itu. Kini, di tahun 2019, skor itu masih dalam posisi yang sama. Kehadirannya dalam empat setengah tahun sebagai CEO menunjukkan telah terjadi perubahan. Meski Jokowi belum bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh-pengaruh Orde Baru (karena adanya orang-orang tertentu dalam inner circle-nya yang merupakan produk Orba), sudah ada perubahan suasana dalam Pemerintahan, khususnya mulai dirasakan adanya pelaksanaan merit system. Yaitu sistem pemberian penghargaan pada orang yang semestinya diberi penghargaan atas prestasi dan kontribusi positifnya bagi masyarakat dan pemberian hukuman bagi yang melanggar aturan dan disiplin."
Perlu dijelaskan bahwa faktor Oligarki yang kekuasaan mereka sulit dijebol oleh Presiden-presiden di era Reformasi 1998-2014 menjadi salah satu pertimbangan utama saya pribadi dalam mempertimbangkan siapa yang bagus dalam menjalankan peran Penggerak Perubahan atau Change Agent. Meski belum sampai menjebol sampai ke akarnya, Jokowi mampu menggerus sebagian kekuasaan Oligarki. Sangat banyak hal yang bisa dibahas dari kerugian rakyat Indonesia karena kekuasaan oligarki yang tak terlihat masyarakat.
Selain itu, yang namanya perubahan, apalagi menyangkut dua ratusan juta manusia, tidaklah bisa terjadi seketika. Secara normatif (bahwa perubahan bangsa mencapai kemajuannya itu butuh waktu panjang), banyak di antara kita yang paham. Tetapi, dalam prakteknya, banyak kritik yang asal kritik terhadap perwujudan janji dalam masa kampanye atau terhadap kinerja Pemerintahan, itu membuktikan ketidak-pahaman terhadap "perubahan membutuhkan waktu".
Semoga, dengan ini bisa terlihat bahwa peran Jokowi lebih pas dilihat sebagai peran agen perubahan untuk bangsa ini, yaitu dalam rangka memajukan negeri dan menyejahterakan rakyat. Proses memajukan negeri dan menyejahterakan masyarakat tidak bisa dalam 5 tahun langsung terwujud, jika budaya masyarakat untuk maju belum terbentuk. Budaya masyarakat yang melintasi era-era penting selama 69 tahun, membuat tidak siap untuk maju seirama dengan derap langkap kemajuan dunia. Tidaklah cukup mengubah kebiasaan dan mentalitas yang terbangun di era Bung Karno (1945-1965), era Orde Baru (1965-1998), era Reformasi 4 Presiden (1998-2014).
Peralihan menuju mentalitas baru, kebiasaan baru, dari dua ratusan juta manusia sebagai bangsa membutuhkan waktu panjang, yang kabarnya satu generasi, yaitu 25 tahun.
Hitungan 5 tahun (1 periode jabatan Presiden) adalah waktu yang pendek. Kalau mau jujur, kita tidak bisa menaruh harapan 100% bahwa seorang Presiden (siapa pun) akan dapat mengubah budaya bangsa dalam waktu 5 tahun. Sebaliknya, kita juga tak bisa menyalahkan Presiden yang sama tersebut (siapa pun) 100% jika perubahan budaya dan perilaku bangsa belum terwujud. Diberi 10 tahun pun sebenarnya belum cukup, karena yang dibutuhkan adalah waktu satu generasi alias 25 tahun. Yang artinya, pada akhirnya, program perubahan budaya dan perilaku bangsa adalah proyek besar. Butuh sedikitnya 3 presiden yang berbeda untuk dapat saling menyambungkan upaya besar memajukan bangsa.
Buat saya, Jokowi bukan pilihan utama. Tetapi, dia adalah pilihan yang lebih cocok untuk menjalankan peran Agen Perubahan untuk Bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H