[caption caption="Foto ilustrasi 'Jakarta dari Masjid Istiqlal' oleh Gunawan Kartapranata 2 Maret 2008"]Foto ilustrasi 'Jakarta dari Masjid Istiqlal' ini dibuat oleh Gunawan Kartapranata, 2 Maret 2008. Artikel ditulis oleh Hendri Ma'ruf.
Untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta ini, saya ingin tahu apa kata teman-teman saya tentang karakter istimewa bangsa. Biar mudah, saya tanya via Facebook dan LinkedIn. Permintaan saya berbunyi: Ada yg mau sumbang saran kah? Dalam satu, dua, tiga, atau empat kata, karakter apa yg istimewa dari bangsa Indonesia?
Teman-teman di FB berusia antara 20an sampai 70an. Sayangnya yang berpartisipasi tidak ada yang dari kelompok usia 70an. Tetapi saya tetap senang. Dan saya menghargai teman-teman saya di FB. Ada sebanyak 27 orang berpartisipasi.
Adapun yang di LinkedIn, rentang usia dari teman yang berpartisipasi antara 30an sampai 50an. Sebanyak lima (5) orang teman di LinkedIn berpartisipasi.
Ada banyak masukan. Ada teman yang hanya memberi satu kata. Ada yang memberi dua kata tetapi satu maksud. Lalu ada yang memberi tiga kata yang masing-masing berdisi sendiri. Sesuai permintaan saya, maksimum yang saya minta adalah empat (4) kata; tentu maksudnya empat kata untuk satu maksud. Tetapi kalau mereka mau menuliskan dua, tiga maksud dengan masing-masing empat kata, tentu boleh.
Karakter yang sama atau tumpang tindih, saya gabungkan. Misalnya “pemaaf”, “memaafkan”, “mudah memaafkan” saya gabung menjadi satu. Sebagian makna yang terkandung sebenarnya mencakup kata “permissive” atau permisif. Permisif adalah sikap mudah memaafkan. Berbeda dari forgiving, kata permissive itu lebih pada “memaklumi” daripada memaafkan. Namun, untuk kemudahan, saya gabungkan.
Kata lain yang saya gabungkan adalah tergesa-gesa, masuk dalam kelompok “serba instan.” Ada orang yang menulis panjang “dulu sabar sekarang menjadi instan.” Lima kata ini saya peras menjadi serba instan. Kata “serba” saya yang memasukkan untuk mengakomodir kebiasaan yang cenderung maunya instan. Kalau bisa apa pun ya instan.
Kata tangguh menjadi kata utama untuk kelompok tangguh, militan, pejal, dan “tahan banting di ekonomi sulit.” Supaya mudah bagi penyumbang, kata-kata mereka saya sertakan di belakang kata tangguh.
Secara keseluruhan, hasilnya saya rangkum seperti ini:
Asal Bapak Senang
Bersahabat
Bersahaja
Cerdas
Gampang mencela kalau tak sepaham
Gotong royong
Ingin selalu beda
Konsumtif/Boros
Koruptif
Kreatif
Kurang tanggap mengambil peluang
Malas/santai (laid back)
Mentalitas masih untung
Mentalitas ndoro (ndoro = figur feodal yang bos)
Mudah dihasut dan diadu domba
Mudah memaafkan (permissive)
Nrimo
Pancasilais
Ramah tamah/sumeh
Reaktif/menunggu
Relijius
Rendah toleransi
Senang ngumpul
Serba instan (dulu sabar sekarang instan; tergesa-gesa)
Suka makan
Susah minta maaf
Tangguh/militan/tahan banting di ekonomi sulit; pejal
Tawuran
Tulus dalam berbagi
Jika diperhatikan, karakter istimewa yang saya harapkan dijawab teman-teman mencakup hal positif seperti tulus sampai yang negatif seperti koruptif.
Sekarang kita bandingkan dengan pendapat tiga orang tokoh, di mana yang satu telah tiada. Mereka adalah Mochtar Lubis, Dr Sri Mulyani, dan Dr Sarlito Wirawan Sarwono.
Pendapat Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia ada 12 hal di mana separuh awal telah dimunculkan tahun 1977 dan separuh berikutnya ditambahkan pada tahun 1982:
- Hipokrit alias munafik
- Segan dan enggan bertanggung-jawab atas perbuatannya
- Berjiwa feodal
- Masih percaya takhyul
- Artistik (jiwa seni)
- Watak yg lemah
- Tidak hemat
- Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa
- Manusia Indonesia kini tukang menggerutu
- Cepat cemburu dan dengki
- Manusia Indonesia juga dapat dikatakan manusia sok
- Manusia Indonesia juga manusia tukang tiru atau plagiat
Bagi sebagian orang, karakter manusia Indonesia yang disebutkan Mochtar Lubis lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Tentu bagi sebagian lainnya pendapat dia bisa dilihat sebagai otokritik bagi bangsa. Artinya, kita tidak perlu tersinggung dengan pendapatnya. Jika diri kita sendiri sebagai pribadi tidak terdapat hal buruk yang disebutkan Mochtar Lubis, maka itu bagus buat kita pribadi. Dan tak perlu dipersoalkan atau menjadikan pendapat dia sebagai bahan menyerangnya. Kalau kita menyerang Mochtar Lubis, maka salah satu karakter yang disebutkan teman saya di atas berlaku, yaitu “gampang mencela kalau tak sepaham.”
Tokoh lain yang sangat layak disimak adalah Sri Mulyani. Pada tahun kemerdekaan yang ke-64, yaitu tepatnya bulan September 2009, majalah Intisari mewawancarai Sri Mulyani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan. Salah satu yang disinggung adalah perihal orang Indonesia. Sebagaimana dikutip dan dimuat ke dalam sebuah situs, Sri Mulyani mengatakan:
Orang Indonesia mudah disentuh, mudah dimotivasi, tapi lemah dalam delivery. Jadi niat itu gampang, tapi menghitungnya secara cermat, melaksanakan setiap tahap dengan seluruh upaya, mengambil resikonya, bahkan berkorban untuk itu, Indonesia lemah.
Mengapa?
Karena selama ini orang Indonesia dibesarkan oleh pendidikan yang tidak menghargai proses. Negara ini sangat didominasi oleh hasil. karena itu negara ini belum mampu menjadi negara industri. Satu dua jenius ada, tapi mereka membutuhkan sistem pendukung yang diisi oleh orang-orang yang berdedikasi terhadap proses. Makanya, reformasi saya (di Dep Keu) bukan untuk kelihatan keren di depan. Tapi lebih pada mengubah pola pikir.
Terlihat bahwa orang Indonesia terkondisi atau terdidik untuk tidak menghargai proses. Maunya cepat jadi. Inilah yang disebut instan oleh teman-teman saya dan ini pulalah yang disebut Mochtar Lubis “Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa.”
Sri Mulyani dengan tegas menyebut soal mengubah pola pikir.
Meski tak langsung menyebut kata pola pikir, Sarlito Wirawan Sarwono berbicara tentang pola pikir ketika dia mengulas pusat kendali seseorang. Dia membahas soal pusat kendali seseorang yang bisa ada pada dirinya (disebut Pusat Kendali Internal) atau bisa ada pada luar dirinya (disebut Pusat Kendali Eksternal). Sarlito menulis di tempo on-line, yang sebagiannya saya kutipkan di sini:
“Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong PKE [Pusat Kendali Eksternal]. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian nasional.”
Pada hemat saya, hal paling pertama dan mendasar adalah soal pola pikir yang oleh Sri Mulyani disebutnya sebagai upaya reformasi saat melakukan upaya perubahan pola pikir di Departemen Keuangan beberapa tahun lalu.
Perubahan itu dengan cara menanamkan pemahaman bahwa pusat kendali kita semua ada dalam diri kita masing-masing. Dan dengan itu, maka hal-hal negatif yang disebutkan Mochtar Lubis akan dapat terkikis dengan sendirinya: watak menjadi kuat, tidak takut keliru atau kalah (siapa sih yang selalu menang terus?!), mau mengambil sikap meritokrasi, menghargai karya orang lain, bersikap bersyukur, mau menjalani proses yang memang semestinya dilakukan.
Dan dengan itu pula, maka karakter istimewa bangsa kita sebagaimana yang disebutkan teman-teman saya di atas, dengan izin Tuhan, akan tinggal yang positifnya belaka. Kita akan menjadi bangsa yang ramah, bersahabat, cerdas, gotong royong (dengan tulus), kreatif, toleran, suka kumpul dan makan, tangguh, pemaaf, dan relijius. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H