Mohon tunggu...
Hendri Ma'ruf
Hendri Ma'ruf Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi "candid photo," suka traveling, dan senang membaca plus menulis. Pernah bekerja di perusahaan, sekarang berkarya mandiri. Meminati masalah kepemimpinan, manajemen, dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seorang Relawan di Tengah Budaya Tak Mau Mengalah

21 Juli 2015   15:54 Diperbarui: 21 Juli 2015   16:06 4625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yaah inilah soal budaya berlalu lintas,” kata saya kepada istri. “Kalau di Jepang, bahkan dalam keadaan gempa yang membuat pantas berperilaku panik pun, mereka tetap tenang dan tertib. Di sini tidak ada gempa, yang ada hanyalah membludaknya mobil dan sepeda motor saja, tetapi sudah membuat kita berperilaku egois.” Kata saya kepada istri mengomentari keadaan lalu lintas yang sangat macet ini.

Mobil beranjak maju satu meter dan harus menunggu 3-5 menit. Padahal posisi mobil saya ke lampu lalin (titik B dalam peta) mungkin hanya 200 meter. Menit demi menit lalu lintas beringsut maju, sampai akhirnya berhasil meliwati titik B.

Menjelang titik A, tiba-tiba terlihat seorang perempuan berblus warna biru-tosca dengan rok putih bermotifkan bunga-bunga. Dia meminta sepeda motor untuk berhenti. Caranya meminta sungguh sopan. Dia tangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Terlihat oleh saya di tanannya ada sebuah dompet kunci mobil. Dia tak terlihat membawa tas. Saya sempat berpikir bahwa jangan-jangan dia turun dari mobilnya lalu meminta jalan dan kemudian kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan.

Dia terlihat mencoba menghentikan mobil dan sepeda motor. Sambil sedikit membungkuk dia pun berkata “Maaf pak ya...” Sebagian motor berhenti, sebagian lainnya tetap memaksa jalan. Perempuan itu bergeser ke arah mobilku, mengabaikan sepeda motor-sepeda motor yang cuek. Karena saya sudah ancang-ancang untuk berhenti, tentu saja cepat buat saya untuk berhenti. Dia pun bergeser ke arah kanan saya ke mobil lain. Mobil itu cuek. Mengabaikan permintaan perempuan itu, dia pun menjalankan mobilnya terus. Mobil di belakangnya menurut pada permintaan perempuan itu untuk berhenti.

Maka mengalirlan mobil dan motor dari arah kiri saya. Dia memberi isyarat agar mobil-mobil itu terus berjalan. Setelah sejumlah mobil dan motor liwat, perempuan itu lalu menyetop mobil dan motor dari arah kiri saya. Dia mulai lagi dengan tangan ditangkupkan ke dadanya dan sambil sedikit membungkuk dia meminta mobil dan motor untuk berhenti. Karena dia mengambil posisi di depan mobil yang dia coba stop, maka mobil itu pun seperti terpaksa menurut. Hanya sepeda motor yang tidak mudah diminta karena jumlahnya besar.

Setelah mobil dan motor di sisi kiri berhenti bagian dari sisi sayalah yang maju. Sambil menurunkan kaca pintu kiri, saya melambatkan mobil karena ingin mengambil foto perempuan itu. Tetapi, dia bilang “bapak kalau mau lurus langsung saja.” Secara tidak langsung, dia ingin mengatakan pada saya “ayohlah pak segera lanjut mumpung sudah kosong di depan bapak.” Dan saya pun segera bergegas mempercepat laju mobil karena di depan saya telah kosong.

Sementara itu, saya membatin “Loh kok dia malah seperti itu ya. Kok tidak terlihat kembali ke mobilnya.” Dia terlihat berdiri saja di tempat ketika mempersilakan saya maju. Saya bilang ke istri saya mau berhenti dulu. Mau mengamati perempuan itu. Tetapi, di bagian kiri dari mobil saya, pagar beton dan diatasnya dipasang seng telah memagari sebagian badan jalan. Memang di jalan Kalimalang sedang ada proyek pembangunan jalan layang.

Mobil saya terus bergerak. Tepi jalan belum terlihat sampai beberapa puluh meter karena terhalang oleh pembatas beton. Ketika telah meliwati pembatas itu, tempat memarkir mobil tak tersedia. Bahu jalan tak leluasa dipakai karena setiap beberapa meter ada pembatas beton. Dan sampai beberapa jauh lagi, tak ada kemungkinan saya memarkir di sebelah kiri. Sedangkan di sebelah kanan, itu tak mungkin karena antrian mobil yang rapat. Terpaksalah saya batalkan niat mengobservasi perempuan itu.

Setelah lepas dari jerat kemacetan itu, saya merenung... Di tengah budaya yang ingin serba instan dan menang sendiri ini, kehadiran relawan tadi sungguh menyejukkan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun