Seorang relawati mengatur lalu-lintas di perempatan Jl. Kalimalang-Jl. Jatiwaringin Raya, Jakarta Timur
Saya mau bercerita tentang seorang relawan pada Hari-H Idul Fitri, yang hatinya terpanggil mengatur lalu-lintas. Tetapi, cerita ini saya tempatkan dalam konteks budaya bangsa dalam berlalu-lintas.
Nah kalau sudah bicara budaya bangsa, maka benchmarking-nya adalah dengan budaya Jepang. Karena itu, saya mulai dengan sedikit bercerita tentang budaya bangsa Jepang dalam berlalu-lintas.
Saat gempa melanda Jepang beberapa tahun lalu, yang salah satu dampaknya adalah reaktor nuklir Fukushima yang rusak berat, orang-orang bergegas pulang. Di jalan raya, mobil-mobil mengantri dengan tertib. Ketertiban orang Jepang ini seperti sulit dimengerti karena mereka tenang dan tertib di jalan raya. Padahal semestinya mereka panik, terburu-buru pulang, dan hiruk pikuk di jalan raya. Ini tidak. Itulah sebabnya bangsa-bangsa lain menjadi kagum. Apalagi bangsa Indonesia, menjadi kagum tak terkirakan.
Orang-orang pun menilai bahwa mereka mereka bisa bersikap seperti itu karena proses yang panjang. Bahwa dari kecil mereka telah dididik menyikapi gempa dengan benar. Apa yang harus disiapkan dan apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi, itu semua diajarkan di sekolah.
Sebenarnya, ada pendidikan lainnya juga di luar soal gempa, yaitu soal tenggang rasa yang ditanamkan sejak muda. Mereka diajari pandangan dan perilaku bahwa kita hidup berdampingan dengan orang lain dan dengan alam. Karena itu, diajarkan juga soal bagaimana hidup yang harmoni. Itu artinya diajarkan juga tentang pandangan saling memberi, saling menghargai. Pendidikan ini menghindari sikap mau menang sendiri. Juga mengurangi sikap egois.
Karena itu mudahlah dipahami bahwa ketika dewasa, orang Jepang sangat kompak dengan sesama. Saling tenggang rasa cukup kuat. Oleh sebab itulah maka jalan raya yang dipenuhi oleh orang-orang Jepang yang ingin cepat sampai di rumah karena gempa, tetap berjalan dengan tertib. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada kepanikan. Tidak ada saling serobot. Suara klakson kabarnya tak terdengar. Mereka bahkan saling memberi kesempatan pada kendaraan jika itu diperlukan. Terlihat sekali saling mengalah.
Ada pun tentang relawan pada Hari-H Idul Fitri, yang hatinya terpanggil mengatur lalu-lintas, kejadiannya adalah di malam hari di Hari Raya Idul Fitri 1436 di suatu jalan di Jakarta Timur.
Saya meninggalkan rumah orang tua di sebuah perumahan Angkatan Darat di Jl. Kalimalang, Jakarta Timur, pada pukul 19.30. Memasuki Jl. Kalimalang ke arah barat sekitar beberapa ratus meter segera mobil saya berhenti di buntut kemacetan di persimpangan Jl. Kalimalang-Jl. Pahlawan Revolusi-Jl. Jatiwaringin Raya (lihat peta).
Saya memperhitungkan, jika mobil saya untuk bergerak lagi harus menunggu 3 menit, maka itu artinya telah terjadi “posisi terkunci” alias “deadlock.” Dan ternyata benar dugaan saya, menunggu 3 menit untuk bergerak dan bergeraknya hanya maju satu meter, lalu berhenti. “Baiklah” pikir saya. Maksud saya, lengkapnya adalah “Baiklah, tantangan terjebak macet ini saya terima.”
Dengan istri yang duduk di samping, saya pun membahas perilaku berlalu lintas masyarakat kita. Semestinya pengendara yang mobilnya berada tepat di bawah lampu lalu lintas menyadari bahwa meski memperoleh giliran lampu hijau dia tidak boleh bergerak maju jika mobil di depannya berhenti oleh sesuatu sebab, termasuk karena macet. Itulah sebabnya di sebagian perempatan ada garis kuning dibuat menyilang di tengahnya. Tujuannya adalah jika mobil-mobil dari arah lain mendapat giliran lampu hijau, mereka bisa tetap melintas. Kalau pun tidak ada garis kuning itu, kesadaranlah yang membuat seseorang pengendara menghentikan mobilnya. Bukan karena ada garis kuning, dan bukan karena ada polisi.
“Yaah inilah soal budaya berlalu lintas,” kata saya kepada istri. “Kalau di Jepang, bahkan dalam keadaan gempa yang membuat pantas berperilaku panik pun, mereka tetap tenang dan tertib. Di sini tidak ada gempa, yang ada hanyalah membludaknya mobil dan sepeda motor saja, tetapi sudah membuat kita berperilaku egois.” Kata saya kepada istri mengomentari keadaan lalu lintas yang sangat macet ini.
Mobil beranjak maju satu meter dan harus menunggu 3-5 menit. Padahal posisi mobil saya ke lampu lalin (titik B dalam peta) mungkin hanya 200 meter. Menit demi menit lalu lintas beringsut maju, sampai akhirnya berhasil meliwati titik B.
Menjelang titik A, tiba-tiba terlihat seorang perempuan berblus warna biru-tosca dengan rok putih bermotifkan bunga-bunga. Dia meminta sepeda motor untuk berhenti. Caranya meminta sungguh sopan. Dia tangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Terlihat oleh saya di tanannya ada sebuah dompet kunci mobil. Dia tak terlihat membawa tas. Saya sempat berpikir bahwa jangan-jangan dia turun dari mobilnya lalu meminta jalan dan kemudian kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan.
Dia terlihat mencoba menghentikan mobil dan sepeda motor. Sambil sedikit membungkuk dia pun berkata “Maaf pak ya...” Sebagian motor berhenti, sebagian lainnya tetap memaksa jalan. Perempuan itu bergeser ke arah mobilku, mengabaikan sepeda motor-sepeda motor yang cuek. Karena saya sudah ancang-ancang untuk berhenti, tentu saja cepat buat saya untuk berhenti. Dia pun bergeser ke arah kanan saya ke mobil lain. Mobil itu cuek. Mengabaikan permintaan perempuan itu, dia pun menjalankan mobilnya terus. Mobil di belakangnya menurut pada permintaan perempuan itu untuk berhenti.
Maka mengalirlan mobil dan motor dari arah kiri saya. Dia memberi isyarat agar mobil-mobil itu terus berjalan. Setelah sejumlah mobil dan motor liwat, perempuan itu lalu menyetop mobil dan motor dari arah kiri saya. Dia mulai lagi dengan tangan ditangkupkan ke dadanya dan sambil sedikit membungkuk dia meminta mobil dan motor untuk berhenti. Karena dia mengambil posisi di depan mobil yang dia coba stop, maka mobil itu pun seperti terpaksa menurut. Hanya sepeda motor yang tidak mudah diminta karena jumlahnya besar.
Setelah mobil dan motor di sisi kiri berhenti bagian dari sisi sayalah yang maju. Sambil menurunkan kaca pintu kiri, saya melambatkan mobil karena ingin mengambil foto perempuan itu. Tetapi, dia bilang “bapak kalau mau lurus langsung saja.” Secara tidak langsung, dia ingin mengatakan pada saya “ayohlah pak segera lanjut mumpung sudah kosong di depan bapak.” Dan saya pun segera bergegas mempercepat laju mobil karena di depan saya telah kosong.
Sementara itu, saya membatin “Loh kok dia malah seperti itu ya. Kok tidak terlihat kembali ke mobilnya.” Dia terlihat berdiri saja di tempat ketika mempersilakan saya maju. Saya bilang ke istri saya mau berhenti dulu. Mau mengamati perempuan itu. Tetapi, di bagian kiri dari mobil saya, pagar beton dan diatasnya dipasang seng telah memagari sebagian badan jalan. Memang di jalan Kalimalang sedang ada proyek pembangunan jalan layang.
Mobil saya terus bergerak. Tepi jalan belum terlihat sampai beberapa puluh meter karena terhalang oleh pembatas beton. Ketika telah meliwati pembatas itu, tempat memarkir mobil tak tersedia. Bahu jalan tak leluasa dipakai karena setiap beberapa meter ada pembatas beton. Dan sampai beberapa jauh lagi, tak ada kemungkinan saya memarkir di sebelah kiri. Sedangkan di sebelah kanan, itu tak mungkin karena antrian mobil yang rapat. Terpaksalah saya batalkan niat mengobservasi perempuan itu.
Setelah lepas dari jerat kemacetan itu, saya merenung... Di tengah budaya yang ingin serba instan dan menang sendiri ini, kehadiran relawan tadi sungguh menyejukkan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H