Mohon tunggu...
Jendry Kremilo
Jendry Kremilo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Sanata Dharma

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengetahui Lebih Banyak, Hanya Akan Memberi Masalahmu Lebih Banyak

22 April 2022   23:29 Diperbarui: 25 April 2022   19:16 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar TuntasPenulis: Eka KurniawanPenerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Mei 2014
Tebal: 243 halaman
ISBN: 978--602--03--0393--2

Drama cerita ini dimulai ketika Ajo Kawir dan Si Tokek melakukan suatu tindakan yang "bodoh" dan tak bermoral. Malam itu, bersama dengan si Tokek, ia pergi ke rumah milik Rona Merah ,si janda gila. 

Dari celah- celah lubang rumah milik si Janda, mereka menyaksikan sebuah adegan tak senonoh , dimana dua orang polisi memperkosa Rona Merah.

Saat sedang khusyuk mengintip tersebut Ajo Kawir tiba-tiba jatuh terpeleset akibat menggigil karena dinginnya udara beserta gemerisik dedaunan dan rintik-rintik hujan yang sukses membuatnya ikut terbawa hawa ketakutan. 

Suara yang ditimbulkan dari Ajo Kawir yang terpleset tersebut, kemudian membuat kedua polisi sadar bahwa ada orang lain di sekitar rumah Rona Merah.

Sementara Si Tokek telah lebih dulu lari bersembunyi, Ajo Kawir sudah lebih dahulu didapati sebelum Ia sempat bersembunyi, salah seorang dari polisi tersebut telah lebih dulu menangkapnya. 

Ajo Kawir pun dibawa ke dalam rumah si Rona Merah dan menyaksikan adegan pemerkosaan terhadap Rona Merah yang dilakukan oleh kedua polisi tersebut. Ia dipaksa menyaksikan setiap detail peristiwa perkosaan tersebut tepat di depan matanya.

Selepas kejadian tersebut, tak tau apa penyebab pastinya Ajo Kawir menderita impoten. Burungnya bak seperti telah disihir untuk terus pulas dalam masa-masa mati surinya.Ia juga bahkan selalu menemukan dirinya terlibat dalam banyak perkelahian, alasanya sederhana : hanya orang-orang yang tidak bisa ngaceng yang bisa berkelahi tanpa takut mati.

Awalnya, saya berusaha mereka-reka dan mancari maksud dari kompleksitas persoalan yang disadurkan oleh Eka Kurniawan --saya sendiri baru benar-benar sedikit memahami ketika membaca novel tersebut beberapa kali. Karena bagi orang awam, mungkin novel ini hanya sekedar hiburan semata laiknnya novel-novel lain yang bergenre serupa, akan tetapi novel ini juga sebetulnya sarat akan makna jika betul betul didalami. 

Novel Eka Kurniawan yang satu ini bagi beberapa pembaca, mungkin akan terkesan "nakal" karena Eka menyajikan sebauh alur cerita yang mengasyikan dan memaksa pembaca untuk terus menyimak alunan kata demi kata yang amat vulgar..

Hal yang cukup menarik dari novel ini adalah bagaimana kelihaian Eka dalam proses penceritaan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Bagi saya, itu merupakan pilihan bijak, mengingat tokoh yang ada dalam novel ini cukup banyak. Dengan begitu, pembaca pun akan lebih dimudahkan dan tidak dibingungkan tentang tokoh yang sedang diceriterakan ,Eka membuat jalannya cerita menjadi seru dengan menggunakan alur bolak-balik. Eka sukses membuat emosi termainkan.

Hanya saja, pembaca harus cukup jeli dalam membacanya. Sebab jika tidak, pembaca akan mendapati sedikit kebingungan , sebab saya berpikiran bahwa Eka sedang mengobrak abrik dan menguji level emosional pembaca, adakalanya di bagian tertentu pembaca akan dibuat tertawa terbahak-bahak, ikut panik, marah, dan sedih, seolah --olah pembaca mengalami sendiri kejadian itu secara langsung, bahkan dalam hal yang lebih gila pembaca dapat mengalami juga proses perjalanan seksual secara langsung seperti masturbasi.

Catatan kecil pada novel ini sebetulnya terletak pada pilihan diksi yang amat vulgar --bagi sebagian orang. Di satu sisi, ini bisa menjadi kelebihan, namun juga bisa menjadi kekurangan harus diakui bahwa "kevulgarannya" tersebut semacam menjadikan cerita di dalam novel ini terkesan murahan, bahkan dalam hal yang lebih ekstrim akan menimbulkan kontratafsir dengan maksud penulis, sebagian orang mungkin menganggap Eka melawan hukum kesopanan dan tradisi penulisan yang menyimpang.

Sementara itu, kekurangannya adalah tak semua kalangan dapat menikmati ceritera novel ini, karena novel ini diperuntukan bagi kalangan dewasa, hal ini ditegaskan dengan adanya stiker 21+, yang mana berarti termasuk dalam kategori novel dewasa,. Kedua, penggunaan bahasa yang cukup vulgar, sebetulnya, juga sedikit riskan karena tidak semua orang, lagi-lagi, "bisa" membacanya.

Terlepas dari itu, untuk masalah teknis, desain sampulnya menarik dengan paduan warna hitam beserta gambar burung gagak sebagai bentuk reprsentatif atas ceriteranya.. Sederhana, namun tetap cantik. Tata letak halaman dalamnya pun rapi. Melalui novel ini, Eka Kurniawan agaknya mengajak pembaca untuk menertawakan hidup. Bahwasanya, hal yang teramat kita inginkan di dunia akan didapat justru ketika kita berhenti menginginkannya.

Akhir kata, jika anda menyukai cerita dengan konflik yang rumit tetapi ringan dibaca, novel yang ditulis Eka ini patut anda coba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun