Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (5): Keberhasilan Istimewa

31 Juli 2019   18:53 Diperbarui: 23 Agustus 2019   21:26 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 5: Keberhasilan Istimewa

Oleh: Hendriko Handana

Padang, Mei 2003

Telepon umum di pintu masuk Aula Diknas menghentikan langkahku. Kudekati dan kuamati.

"Ah sial..., mesti pakai kartu," sesalku. Aku pikir aku bisa menelepon secara cuma-cuma. Gratisan.

Kurogoh saku celana, sekedar basa-basi. Padahal aku memang tak pernah punya kartu telepon itu.

"Ini... Bapak punya kartu," tiba-tiba sesosok pria tinggi besar berkumis muncul dan menghampiriku. Dia Pak Ak, seorang pegawai Diknas Kota Payakumbuh.

"Telepon Mamamu. Pasti senang hatinya," lanjutnya mencoba membaca jalan pikiranku.

Tebakannya benar. Dari tadi aku memang sedang mencari cara agar aku dapat menelepon ke rumah.

"Assalamualaikum," suara lembut di ujung telepon. Suara Mama.

"Waalaikumsalam warahmatullah. Ma, seleksi sudah selesai. Alhamdulillah Riko lulus jadi Paskibraka Nasional," tangkasku tanpa basa-basi. Tentunya dengan bahasa khas kampung kami.

"Hah... beneran? Ngga salah? Kali aja masih ada seleksi berikutnya?" tak kusangka jawaban mama.

"Ya bener lah, Ma. Sudah resmi diumumkan."

Mungkin Mama kuatir, aku sedang berhalusinasi lantaran ambisiku demikian tinggi. Perihal sifatku yang satu ini, dia paham sekali.

Mama, meskipun dari awal memberikan dukungan istimewa, namun wajar kalau ia merasa tidak percaya. Sebagai seorang guru di SMA 2 Payakumbuh, ia mengerti persis, SMA mana saja yang biasa mendominasi ajang Paskibraka. Apalagi, madrasah belum masuk  perhitungan. Tidak cukup diandalkan.

~~~

Napasku masih terengah menghadapi situasi tak biasa. Masih belum percaya dengan pengumuman barusan.

Aula Kantor Diknas Propinsi Sumatera Barat penuh khalayak saat pengumuman berlangsung. Para peserta, purna paskibraka dari berbagai kabupaten/kota, pelatih, official khidmat mengikuti acara.

Aku diumumkan terpilih mewakili Sumatera Barat sebagai Paskibraka Nasional. Rasanya panas dingin dan bahagia. Segenap hadirin memberikan ucapan selamat. Ah... kalau sedikit lebay rasanya semacam ajang pemilihan Putri Indonesia. Sayangnya, tak ada mahkota tersemat di kepala.

Laura Luciana, dari Kota Pariaman terpilih menjadi pasangan propinsiku. Aya, begitu nama akrabnya kupanggil. Keberhasilannya istimewa. Ia adalah perwakilan pertama Kota Pariaman yang tahun itu baru berdiri, hasil pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman.

**

Di lain kesempatan di sekolah, Bu Marni, wakil kesiswaan kami, ungkapkan rasa syukurnya yang mendalam.

"Ibu bersyukur sekali, Nak," bicara khasnya lembut dan keibuan. "Bagi Ibu ini sangat berharga", lanjutnya dengan mata berkaca.

Aku terharu. Aku merasa belum berbuat banyak. Kepercayaan yang tinggi, justru terasa beban makin berat.

Lain hal dengan Pak Syahruddin MS, kepala sekolah kami yang berkharisma. Pak Un, begitu beliau biasa disapa, dari awal selalu memberi support penuh dan luar biasa. Beliau begitu bersemangat mendorong setiap apa saja yang kuperlukan.

Suatu ketika di upacara bendera, Pak Un menjadi pembina upacara.

"Anak-anak, sekolah kita pantas berbangga," ucapnya dalam amanat upacara di hadapan seluruh siswa. "Riko, salah seorang siswa kita berhasil terpilih menjadi Paskibraka yang akan bertugas di Istana Merdeka. Prestasi beliau ini istimewa karena ini kali pertama siswa madrasah lolos ke tingkat nasional."

Seketika disambut tepuk tangan oleh peserta upacara.

Alamak..., bukan malah bangga, sontak jiwa pemalu awak bergelolak. Awak tak siap dipuji di depan khalayak. Muka merah dan telinga terasa panas, penanda 'alergi' pemalu menyerang jiwa. Salah tingkah.

Meski demikian, sok 'cool' jadi senjata andalan layaknya seorang Paskibraka. Saat berada dalam barisan posisi sikap sempurna, dagu agak diangkat, pandangan lurus ke depan. Seperti apapun suasana hati, anggap saja tidak terjadi apa-apa. Pasang wajah santai dan ujung bibir agak ditarik keluar, tersenyum. Kemudian bernapaslah dengan normal. Hehehe... Dan adegan ini tidak perlu pula dipraktekkan, cukup dibayangkan.

MasyaAllah... semua bisa terjadi hanya karena kehendak Allah Yang Maha Kuasa.

Terimakasih MAN 2 Payakumbuh. Terimakasih Kota Payakumbuh.

(bersambung...)

Silakan simak cerita berseri lengkapnya di:

https://www.kompasiana.com/tag/atmim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun