"Ibu baru dapat telepon dari Dinas Pendidikan. Kalian semua mesti berangkat pagi ini ke kantor dinas. Ada seleksi Paskibraka. Jam 9.00 kalian mesti sudah ada di kantor dinas." Bu Marni menjelaskan maksud beliau kenapa kami ditarik dari kelas pagi ini.
"Kok buru-buru amat, Bu? Kami belum ada persiapan." Beberapa suara sumbang protes serta merta kami layangkan.
"Begitulah. Ibu juga tak paham kenapa kita baru dapat undangan. Dinas bilang sudah kirim undangan beberapa waktu lalu. Tapi ngga pernah sampai di tangan Ibu. Baru saja pagi ini mereka menelepon minta perwakilan."
Sekolah kami memang terbiasa dengan hal demikian. Selaku madrasah di bawah naungan Departemen Agama, bukan Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, beberapa kejadian yang sama memang sudah terjadi berulang kali. Kadang 'terlupakan', jika tidak terlalu tepat kalau kami bilang 'dilupakan'.
Mesti demikian, jiwa kami bak pendekar. Situasi apapun kami hadapi dengan tak pernah getar. Bergegas sepuluh siswa utusan MAN 2 Payakumbuh berangkat menuju Dinas Pendidikan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mobil 'Sago' berwarna biru khas jurusan Koto Nan Ampek Payakumbuh yang kami sewa, berhenti tepat di depan Dinas Pendidikan. Lokasinya tidak jauh dari Simpang Benteng yang bersimpang dua menuju Tanjung Pati dan Gelanggang Olahraga Kubu Gadang.
"Sepertinya kita hanya pelengkap, bukan peserta yang diandalkan. Agak sulit menembus seleksi. Senior di panitiapun kita tak punya. Satupun." Begitu kesan pertamaku saat memperhatikan gerak-gerik di arena seleksi.
SMA 1 dan SMA 2 Payakumbuh, dua sekolah favorit yang kala itu menguasai panggung seleksi Paskibraka di kota kami. Mereka berkali-kali mengirim utusan ke tingkat nasional. Utusan di tingkat propinsi jangan ditanya. Mereka langganan tahunan.Â
Ada beberapa nama yang berkibar dan sering dibanggakan. Dika Sacend dan Lolanda Mulia di tahun 1999, 4 tahun sebelumnya, adalah perwakilan Payakumbuh terakhir saat itu yang melaju ketingkat nasional. Rinaldi Darma Putra, sebuah nama yang dulu beberapa kali kudengar saat mengikuti kegiatan Pramuka, namun belum pernah bertatap muka. Ia Paskibraka tahun 1994. Setahun sebelumnya ada nama Oddy Medrian, juga utusan Payakumbuh di tingkat nasional di tahun 1993. Semuanya dari SMA 1 dan SMA 2. Jika mereka baca tulisan ini tentu berbunga-bunga mengenang diri mereka menjadi bintang masa lalu.
Seleksi demi seleksi kami lalui. Kami berjuang sendiri-sendiri, menanggalkan nama utusan sekolah masing-masing. Namun tetap saling memberi dukungan.