Cerita perjuangan itu terus berlanjut. Disebutnya nama kakek, nenek, dan beberapa kerabat tentu memancing antusiasku. Aku mengangguk-angguk. Beliaupun makin semangat.
"Kamu ingat-ingat. Kita lahir dari silsilah pejuang", imbuhnya membuat dadaku bergetar.
Tulisan rambu di kiri jalan menghentikan pembicaraan kami. 500 meter lagi pintu keluar tol Cibubur. Atuk Munzir perlahan memutar setir agak kepinggir seraya melihat spion. Memastikan tidak ada mobil di lajur samping dari belakang.
Tak genap dua kilometer dari pintu tol, sesaat kami sampai di gerbang bertulis 'Taman Wiladatika'.
"Wah, kita sampai ya Tuk?", tanyaku. Namun tak digubris. Beliau sibuk mencari-cari dimana posisi asrama yang kami cari.
Atuk Munzir memberhentikan mobil di pos keamanan.
"Selamat siang Pak," tutur Atuk Munzir di jendela mobil, sesaat setelah petugas keamanan menghampiri.
"Saya mau anter cucu ke asrama Paskibraka. Cucu saya utusan dari Padang." lanjutnya sok akrab.
"Ya Pak, silakan Bapak masuk kemudian belok kanan. Asrama Paskibraka pojok kanan paling ujung di belakang," jelas petugas.
Setelah berterimakasih, Atuk Munzir bersegera menuju lokasi. Tak sulit kami temukan ruangan dengan tulisan 'Sekretariat Paskibraka'.
Kulihat beberapa siswa dan siswi berpakaian SMA. Menenteng tas dan map. Berdiri menunggu giliran, registrasi ulang.