Oleh: Hendriko Handana
Bagian1: Pemantik Misi
Jakarta, 27 Juli 2003
Mentari Jakarta sudah mulai naik. Terik menyengat kulit.
Mobil Atuk Munzir yang kutumpangi melaju dari Matraman. Beruntung mobil tua itu punya AC pendingin. Tidak cukup adem, tetapi cukup membalut pancaran panas matahari.
"Cibubur, Tuk. Taman Wiladatika", jawabku saat Atuk Munzir menanyakan lokasi tujuan kami. Ia sudah tau, hanya coba mengkorfirmasi.
Atuk Munzir kakekku. Sepupu dari nenek, ibunya mama. Sebagai penganut sistem matrilinial di Ranah Minang, kami sesuku seperut. Rambutnya memutih rata sekali. Pertanda usia senja. Sekilas wajahnya miri9p Soedomo, mantan menteri di era orde baru. Semangatnya selalu membara tiap kali diajak bicara, apalagi perihal keluarga.
"Adik Atuk dulu serdadu masa PRRI. Ia tewas tertembak. Kami-kami ini semuanya pejuang. Masa PRRI bergolak, kampung kita Padang Jopang dikosongkan. Dapat ultimatum dari tentara pusat. Sebagian kami menyingkir. Sebagian lagi memilih angkat senjata melawan." Tuturnya dengan bahasa Minang ke-Jakarta-Jakartaan. Ia memang lama merantau di Jakarta. Bekerja di perusahaan listrik milik negara, sebelum menikmati hidup sebagai pensiunan.
Entah sekian kali cerita itu diulanginya sejak aku masih kecil.
"Kak Cupiak kala itu sedang hamil tua. Mamamu lahir saat di pengungsian, di daerah Tolang Maur." Ceritanya tentang nenekku. Kejadian puluhan tahun silam yang masih segar diingatannya.
"Memorinya cukup kuat," pikirku.