Hipotesa saya tersebut bisa saja benar karena mengingat akses transportasi publik negara-negara di utara yang sudah saling terintegrasi sehingga para warga di sana tidak terlalu membutuhkan kendaraan pribadi untuk pergi bekerja ataupun melakukan aktivitas-aktivitas lain.
Oleh karena demikian, berjalan kaki merupakan satu moda transportasi yang awam mereka gunakan.
Hipotesa saya tersebut juga didukung oleh riset yang dilakukan oleh PLOS One pada tahun 2018 yang mengatakan bahwa masyarakat Eropa dan wilayah barat Pasifik (termasuk Cina, Jepang, dan Korea) cenderung berjalan kaki lebih sering dibandingkan dengan kawasan lain.
Namun sayangnya, riset tersebut juga membuktikan bahwa masyarakat negara berkembang berjalan lebih sering dari masyarakat negara maju (dalam hal ini, hipotesa saya terbantahkan).
Pertanyaan serta hipotesa tersebut kemudian terjawab setelah saya menemukan sebuah artikel karya Edward T. Hall berjudul “Monochronic and Polychronic Time” yang ia tulis dalam buku “Intercultural Communication: A Reader” karya Larry A. Samovar (dkk.) tahun 2010.
Hall berargumentasi bahwa perbedaan latar belakang kebudayaan mempengaruhi suatu kelompok masyarakat memandang waktu. Dalam artikel tersebut, ia membagi kelompok masyarakat ke dalam dua representasi (dalam artikelnya ia tidak ingin menyebutnya sebagai kategori) yaitu Monochronic Time (M-time) dan Polychronic Time (P-Time).
Kelompok masyarakat yang berasal dari budaya P-time (representasi dari wilayah Afrika, sebagian Asia, dan Amerika latin) memandang waktu sebagai sesuatu yang bisa mereka kontrol sehingga mereka cenderung melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan dan lebih tak acuh pada jadwal dan tenggat waktu.
Di sisi lain, kelompok masyarakat dengan budaya M-time (representasi dari wilayah Eropa dan Amerika utara) percaya bahwa waktu adalah segalanya. Orang-orang seperti ini memandang waktu sebagai sesuatu yang nyata dan konkrit sehingga, secara teknis, waktu merupakan sesuatu yang bisa kita simpan, gunakan, dan habiskan.
Kembali ke pertanyaan di awal, mengapa orang Eropa berjalan lebih cepat daripada orang Asia? Berdasarkan argumentasi dari Hall, hal ini disebabkan oleh orang-orang Eropa yang lebih menghargai waktu. Bagi mereka, berjalan kaki dengan tempo yang lambat sama saja dengan membuang waktu mereka.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam konteks berjalan saja, di dunia kerja dan bisnis pun negara-negara di Eropa dan Amerika utara cenderung memiliki jadwal yang lebih ketat. Hal tersebut sesuai dengan istilah yang dipopulerkan oleh Benjamin Franklin, Founding fathers-nya Amerika Serikat, di tahun 1748 bahwa “Time is Money” (“Waktu adalah Uang”).
Dengan kembali mengacu pada pendapatnya Hall mengenai Monochronic Time dan Polychronic Time, kecenderungan masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta, untuk berjalan lebih lambat dibandingkan dengan para wisatawan mancanegara disebabkan oleh mayoritas orang Indonesia yang secara alamiah menganut Polychronic Time atau P-Time.