Kemerosotan diawali dengan tidak seimbangnya ekspor-impor yang disebabkan oleh salah satu agenda Dutertenomics yang mempermudah investasi asing masuk. Hal ini membuat privilese yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan lokal hilang dan membuat daya saing mereka berkurang, baik di pasar domestik maupun luar negeri.
Pada tahun 2018, defisit ekspor-impor Filipina mencapai 50 milyar dolar AS kemudian menurun setahun setelahnya ke angka 41,98 milyar dolar AS. Selama periode 2016-2019, persentase impor Filipina rata-rata mencapai 14% per tahun dengan persentase ekspor hanya mencapai 5% per tahun. Meskipun sebenarnya mayoritas impor merupakan bahan baku bangunan untuk proyek infrastruktur, impor barang konsumsi juga dinilai masih di angka yang cukup tinggi.
Harapan untuk mendatangkan banyak investasi asing juga tidak sesuai ekspektasi. Penerimaan investasi asing secara konsisten mengalami penurunan sejak 2017 sampai 2020. Pada tahun 2017, Filipina berhasil mendatangkan investasi asing sebesar 10,26 milyar dolar AS, kemudian menurun ke angka 9,95 milyar dolar AS pada tahun 2018, kemudian menurun lagi ke angka 8,7 milyar dolar AS pada tahun 2019, lalu terjun bebas ke angka 6,4 milyar dolar AS pada tahun 2020. Sebagai perbandingan, Vietnam mendapatkan investasi asing nyaris dua kali lebih besar daripada yang didapatkan oleh Filipina.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan angka investasi asing terus mengalami penurunan. Pertama, kecenderungan Presiden Duterte yang anti-barat membuat investor asal Amerika, Eropa, dan Australia secara bertahap pergi dari Filipina. Pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Duterte (pertengahan 2016-pertengahan 2017), investasi dari AS menurun sebesar 62% dari tahun sebelumnya. Di periode yang sama, investasi dari Korea Selatan juga turun jauh sebesar 92,61% karena mayoritas dari investor mereka lebih suka berinvestasi di Vietnam yang menjanjikan politik yang lebih stabil dan biaya buruh yang lebih murah. Kedua, Penurunan investasi asing dari barat membuat Filipina hanya bergantung pada investor China dan Jepang. Celakanya, kedekatan Cina dengan Indonesia di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo juga membuat China lebih memilih berinvestasi di Indonesia.
Kesimpulan
Presiden Filipina yang sekarang, Bongbong Marcos Jr, dapat belajar banyak dari Dutertenomics untuk memperbaiki perekonomian negaranya pasca Pandemi Covid-19. Salah satunya adalah dengan memperbaiki kembali hubungan diplomatik Filipina dengan negara-negara barat selaku investor "alami" bagi Filipina. Selain itu, sebagai negara yang kaya akan sumber daya, Filipina juga harus lebih berdikari dengan tidak menggantungkan perekonomiannya pada investasi asing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H