Mohon tunggu...
Hendrika
Hendrika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

A lifelong learner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ganyang Malaysia: Respon Indonesia terhadap Perjanjian Malaysia 1963

6 Oktober 2022   13:45 Diperbarui: 6 Oktober 2022   14:08 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai negara yang saling bertetangga, sudah menjadi rahasia umum kalau hubungan Indonesia dengan Malaysia seringkali mengalami ketegangan. Bahkan pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia pernah mengeluarkan kampanye "Ganyang Malaysia" melalui Dwi Komando Rakyat-nya. Kampanye "Ganyang Malaysia" itu sendiri merupakan konfrontasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atas diproklamirkannya Federasi Malaysia pada 16 September 1963 melalui Perjanjian Malaysia.

Perjanjian Malaysia adalah perjanjian yang menggabungkan Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura (kemudian keluar pada 1965) dengan negara-negara bagian yang sudah bergabung dengan Federasi Malaya sebelumnya. Penggabungan ini yang kemudian menjadikan negara Malaysia seperti sekarang.

Pembentukan negara Federasi Malaysia ini amat dikecam oleh Soekarno karena dianggap sebagai bagian dari proyek neo-kolonialisme Inggris. Bapak proklamator tersebut meyakini bahwa pembentukan negara Federasi Malaysia dapat mengancam kelanjutan Revolusi Indonesia karena nantinya pihak asing barat akan membangun pangkalan militer di Malaysia. Hal ini dipandang sebagai akal bulus pihak barat untuk menentang Indonesia sekaligus menentang new emerging forces di Asia Tenggara. 

Pada dasarnya, Indonesia di masa pemerintahan Soekarno selalu mengutamakan jalan damai dan jalan perundingan. Melalui tulisannya yang berjudul "Dibawah Bendera Revolusi" pada tahun 1965, beliau mengatakan bahwa "Indonesia bukan tidak mengutamakan penyelesaian secara damai, bukan tidak suka pada perundingan, apabila mengenai persoalan antara tetangga dengan tetangga, apalagi persoalan itu adalah persoalan antara "bangsa melayu" dengan "bangsa melayu" sendiri."

Upaya perundingan tersebut dibuktikan melalui diselenggarakan nya pertemuan antara Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rachman di Tokyo pada 31 Mei-1 Juni 1963. Melalui pertemuan yang juga dihadiri Menteri Luar Negeri Philipina tersebut, disepakati bahwa ketiga negara setuju untuk melakukan pertemuan lanjutan untuk membicarakan masalah di Asia Tenggara secara umum sekaligus membicarakan soal pembentukan negara Federasi Malaysia pada tanggal 7-11 Juni 1963.

Kemudian pada tanggal 9 Juli 1963, Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rachman berangkat ke London untuk menandatangani dokumen tentang pembentukan Negara Federasi Malaysia yang rencananya akan diproklamirkan pada 31 Agustus 1963. Tindakan Perdana Menteri Malaysia tersebut dianggap oleh Pemerintah Indonesia sebagai itikad buruk dan penyimpangan terhadap kesepakatan awal yang telah dicapai sebelumnya. Hal ini membuat persiapan pertemuan puncak ketiga negara menjadi terganggu meskipun pada akhirnya pertemuan dapat terselenggara di Manila pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963.

Pertemuan puncak Malaysia-Indonesia-Philipina menghasilkan sebuah kesepakatan dimana Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk mengutus misi ke Sarawak dan Sabah untuk memastikan kehendak rakyat setempat, apakah mereka mau bergabung dengan Malaysia atau tidak. Pada paragraf 10 persetujuan Manila menyatakan bahwa Indonesia dan Philipina akan dengan senang hati menyambut pembentukan negara Federasi Malaysia asalkan dukungan rakyat dan daerah diselidiki oleh otoritas yang independen dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.

Pada 16 September 1963, Negara Federasi Malaysia pun memproklamasikan pembentukannya. Pelaksanaanya mengalami kemunduran mengingat rencana awal proklamasi akan dilakukan pada 31 Agustus 1963. Pelaksanaan proklamasi seharusnya dilakukan setelah misi PBB melaporkan hasil peninjauannya. Hal inilah yang menambah Pemerintah Indonesia tambah geram. PBB dianggap telah melanggar martabatnya sendiri dengan menyetujui pembentukan negara Federasi Malaysia tersebut.

Kegeraman Pemerintah Indonesia tersebut kemudian berlanjut dengan keributan massal sekaligus kampanye "Ganyang Malaysia" yang dilancarkan oleh Pemerintah Indonesia. Keributan massal terjadi di kedua ibu kota negara, dimana masing-masing pihak menyerbu kedutaan besar pihak lainnya. Selain itu, sehari setelah Proklamasi Negara Federasi Malaysia, yaitu pada 17 September 1963, Pemerintah Indonesia pun memutus hubungan diplomatik dengan Malaysia sekaligus memutus hubungan ekonominya dengan Malaysia, Singapura, Sabah dan Sarawak. Pemerintah Indonesia juga secara eksplisit mendukung perjuangan rakyat Kalimantan Utara yang kontra terhadap "Neo-Kolonialisme Inggris" di akhir tahun 1963.

Operasi perlawanan terus dilakukan selama kurang lebih setahun setelah proklamasi tersebut melalui infiltrasi kecil-kecilan yang dilakukan secara terus menerus, baik itu dari jalur laut maupun udara di tanah Semenanjung Malaya dan Kalimantan bagian utara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun