Isu tentang agama merupakan isu yang tak pernah basi untuk dibahas, salah satunya tentang Agama Baha'i. Baha'i merupakan agama yang lahir pada abad ke 19 di Persia atau sekarang dinamakan Negara Iran. Namun, keberadaan agama Baha'i sering mendapat perlakuan diskriminatif.
Agama Baha'i sering mendapat perlakuan diskriminif dan menimbulkan konflik baik itu horizontal maupun vertikal. Perlakuan diskriminatif ini muncul karena Baha'i bukan termasuk ke dalam salah satu agama resmi diantara enam agama resmi yang diakui oleh Negara yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Disamping pentingnya isu di atas ada satu hal yang menarik yang perlu kiranya penulis bahas yaitu mengenai sejarah kemunculan agama Baha'i. Kemunculan Agama Baha'i mempunyai hubungan yang kuat dengan Islam khususnya al-Qur'an. Al-Qur'an mempunyai andil yang besar dalam berdirinya agama Baha'i.
Melalui sebuah artikel yang berjudul, The Qur'an and the Baha'i Faith (2019) Todd Lowson memberikan telaah tentang bagaimana Al-Qur'an dan hadist memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya muslim yang ada di Iran dan terbentukya wahyu agama Baha'i. Telaah Lowson ini cukup menarik karena dianggap sebagai satu hal baru juga sangat jarang peneliti yang membahas Baha'i dan Islam.
Dalam awal tulisannya, Lowson membahas tokoh yang berpengaruh terhadap kemunculan Agama Baha'i. Adapun beberapa tokoh pendiri agama Baha'i yaitu, Ali Muhammad Shirazi atau lebih dikenal sebagai Sang Bab (1850), Baha'ullah (1892), Abdulbaha' (1921) dan Shoghi Effendi (wafat 1957). Â
Ali Muhammad Shirazi (Bab) dan Baha'ullah merupakan dua tokoh yang menggunakan Al-Qur'an sebagai dasar dalam tulisan mereka. Abdul Baha' adalah seorang putra dari Baha'ullah juga sering mengutip Al-Qur'an dalam ceramah dan tulisannya. Pada tahun 1938 Shoghi Effendi memberikan intruksi kepada seluruh umat Baha'i untuk mempelajari Al-Qur'an secara menyeluruh dengan menggunakan sumber-sumber yang tidak memihak dan untuk memperdalam pemahaman mereka tentang persamaan dan perbedaan antara Islam dan Baha'i.
Lowson selanjutnya membahas perbedaan antara Islam dan Baha'i. Semboyan yang membedakan agama Baha'i dengan Islam adalah Satu Tuhan, Satu Agama, Dan Satu Kemanusiaan. Pernyataan ini terdengar biasa saja namun, bagi umat Baha'i pesan ini diterima sebagai pesan yang menyegarkan dan sangat dibutuhkan terutama di kalangan modernis. Tujuan wahyu ilahiah Baha'i adalah memajukan peradaban yang terus maju, keharmonisan ilmu pengetahuan, dan agama. Semua ide ini disajikan oleh Abdulbaha' sebagai prinsip bahwa dalam agama Baha'i menolak adanya pertentangan sesama umat dan menekankan kesatuan antar manusia.
Mereka yang akrab dengan Al-Qur'an, Islam, dan sejarah pemikiran Islam (teologi, filsafat, kalam) akan melihat banyak hubungan antara Baha'i dan juga Islam. Hubungan antara Al-Qur'an dan Baha'i diibaratkan sebagai sebuah sastra karena tiada kata yang tepat untuk melukiskan itu, dan karenanya merupakan hubungan yang hidup antara keduanya. Nampak sekali bahwa agama Baha'i merupakan contoh yang mencolok tentang bagaimana mungkin menjadi komunitas Al-Qur'an dan bukan menjadi seorang muslim.
Dalam agama Baha'i terdapat imam beserta fase kemunculannya. Imam Baha'i muncul dalam dua fase, yaitu fase Bab (1844-1863) dan fase Baha'i (dimulai tahun 1863) dan keterlibatan Al-Qur'an menjadi kuncinya menurut Lowson. Fase pertama, merujuk pada karya utama Bab dalam tafsir Al-Qur'an. Fase kedua, Baha'i melahirkan sebuah maha karya kitab I-Iqan karya Baha'ullah yang merupakan tafsir Al-Qur'an yang membicarakan tentang hari kiamat, hari pembalasan, dan akhirat. Kitab ini merupakan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan menjadi kitab suci agama Baha'i secara global dan sebagian orang menyebutnya kitab tafsir Al-Qur'an non muslim yang banyak dibaca di seluruh dunia.
Peran Al-Qur'an dalam kelahiran agama Baha'i patut dicatat untuk beberapa alasan. Fase ini diwakili oleh dua karya besar yang diperluas oleh Bab yaitu Tafsir Surat Al Baqara dan Tafsir Surat Yusuf atau dikenal dengan Qayyum Al-Asma (QA). QA telah dicirikan sebagai kitab yang mempunyai pengaruh besar dan dianggap penting oleh Baha'ullah.
Lowson kemudian menjelaskan biografi Ali Muhammad Shirazi atau Bab karena memliki pengaruh besar dalam kitab suci agama Baha'i. Bab merupakan seorang anak saudagar Iran yang lahir pada tahun 1817 di Shiraz. Masa kecilnya memiliki minat yang besar pada kehidupan keagamaan, dekat dengan para ulama, dan habaib.Â
Bab memiliki pendidikan formal yang rendah namun, memiliki minat besar di kalangan intelektual Iran yang dikenal Mazhab Syaikh. Bab banyak menulis sastra sejak usianya masih remaja dengan menggunakan bahasa Persia dan Arab, hingga akhirnya tepat pada tahun 1850 dia ditembak oleh pasukan istana. Sebagian besar karya Bab mengutip dari Al-Qur'an dan hadist untuk mendukung argumen utamanya.
Fase selanjutnya adalah tafsir Baqara, dengan caranya yang sangat tradisional. Tafsir Baqara memiliki versi yang khas dengan Aliran Syiah atau dikenal dengan tafsir bi'l-ma'thur. Tafsir ini sangat dikaitkan dengan tafsir Syi'ah karena lingkungan dan kemunculannya yang berada di Iran yang mayoritas beraliran Syi'ah. Ada tiga tema besar dalam karya tersebut, pertama otoritas keagamaan-walaya, kedua manifestasi diri ilahi -tajalli, ketiga kebangkitan dan hari penghakiman -qiyama.Â
Bab menafsirkan Qayyum al-Asma menjadi empat bagian. (1) Pembukaan dan judul. (2) Komposisi yang sebenarnya, adalah bagian huruf-huruf yang terpisah.(3) Mencangkup komentar Bab yang sudah diverifikasi. (4) Pengulangan lemma hanya saja diparafrasekan untuk menekankan pesan utamanya.
Selain itu, ada beberapa ayat kutipan Bab yang mashur, yaitu Ayat 1, 2, 3, 4, 36, 37, 38, 39, 40, 41, dan 42. Ayat-ayat ini menjelaskan simbolisme dan struktur menunjukkan pencapain sastra tunggal di mana Hari Perjanjian dan Hari Penghakiman yang primordial dipahami bergabung dalam satu isyarat wahyu sebagai peristiwa simultan.
Melalui tulisan Todd Lowson ini dapat diketahui keterkaitan antara al-Qur'an dan Baha'I begitu erat. Al-Qur'an dapat dimaknai sebagai Rahmat bagi seluruh alam bukan hanya umat muslim. Namun, kemunculan Baha'i jangan dimaknai sebagai agama penyempurna dari agama sebelumnya. Walaupun keduanya memiliki keterkaitan yang erat karena keduanya sejatinya berbeda.
Ulasan Lowson tentang Baha'i dan Al-Qur'an terlihat menarik namun pada pembahasan tertentu Lowson masih serampangan menyimpulkan. Lowson dalam artikelnya menyebutkan tokoh awal Baha'i mengutip sebagian ayat dalam Al-Qur'an namun itu tidak lantas menjadikan Islam dan Baha'i saling berkaitan hanya karena mengutip dari Al-Qur'an. Lowson juga mengatakan bahwa tafsir Baha'i mirip dengan tafsir Syi'ah namun Lowson tidak menyebutkan secara spesifik disertai bukti yang memadai akan argumentasinya. Lowson hanya mendasarkan argumennya pada biografi Bahaullah yang hidup di Iran yang sebagian besar masyarakat beragama Islam beraliran Syi'ah.
Agama Baha'i dapat diliat sebagai komunitas Al-Qur'an non muslim dan ini merupakan keunikan yang luar biasa tanpa dapat dijumpai di planet manapun. Anomali ini sangat jelas dilihat dari tulisan Baha'I, hubungan Bahai dengan Islam atau dicontohkan hubungan yang terjadi antara  Kristen dengan Yahudi yaitu mengenai perjanjian lama dan baru.Â
Penafsiran Al-Qur'an yang dilakukan Baha'i ini sudah dilakukan sejak abad pertama agama Baha'i. Dalam hal ini sangat jelas bahwa Al-Qur'an memiliki peran yang luar biasa dalam pembentukan agama Baha'i. Perayaan Baha'i terhadap Al-Qur'an merupakan sebuah isyarat keagamaan non muslim atau pasca Islam mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah milik seluruh umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H