Â
Keluarga kecil kami sedang belanja kecil-kecilan di sebuah mart kompleks rumahku. Si kecil dikawal kokonya mendatangi maminya sambil membawa 2 bungkus cemilan.
'Mami ... boleh beli 1 atau 2?'
Aku yang berdiri sekitar 3 meter dari mereka memperhatikan seraya penasaran apa jawaban istriku, karena cemilan yang diajukan termasuk cemilan yang tidak rekomen untuk sering dikonsumsi. Aku lihat kedua anakku, mereka juga harap-harap cemas.
'Beli aja 2'
Seketika kedua anakku tersenyum puas.
* * *
Mungkin bagi kebanyakan orang, kejadian di atas adalah sepele. Seorang anak minta dibelikan cemilan, dan diiyakan oleh ibunya. Tetapi tidak bagiku. Apa pasal? Karena aku melihat ada yang istimewa dalam hal cara anakku bertanya.
Selama ini kalau anakku meminta jajan/cemilan, mereka akan bertanya, 'boleh beli ini gak?'. Nah, menurut hukum pertanyaan yang dikaitkan dengan cara kerja otak --ditambah yang diminta adalah cemilan yang masuk gray-list-- maka kecenderungan jawabannya adalah GAK BOLEH.
Di sinilah aku merasa surprise. Anak-anakku rupanya belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya yang sering ditolak. Jadi aku menduga mereka berdua pasti sering berdiskusi seraya melakukan P-D-C-A atas pertanyaan mereka. Sampai akhirnya keluarlah pertanyaan: 'boleh beli 1 atau 2', sebuah pertanyaan yang memandu otak yang ditanya untuk menjawab antara 1 atau 2.
* * *