Dulu sekali di tahun 2014 saya ingat sesuatu. Wakil ketua DPR Fadli Zon pernah bilang bahwa revolusi mental yang digaungkan oleh Joko Widodo waktu pilpres lalu adalah berkaitan dengan ideologi PKI atau komunis.
Saya mengira, Fadli sepertinya terlalu terburu buru menilai. Ia terlalu dini memukulkan palu penghakimannya.
Tapi ya saya harap maklum. Namanya saja politikus. Ngomong tanpa dasar yang kuat pun, itsoke. Asal bisa meraup suara untuk memenangkan jagoannya.
Menurut saya, jauh sebelum pilpres 2014 istilah revolusi mental itu sudah dipakai oleh seorang pemikir filsafat asal Sumatera Barat. Yasraf Amir Piliang orangnya.
Yasraf pada tahun 2003 menerbitkan buku yang ia beri judul Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial. Buku ini merupakan kumpulan artikel artikel pendeknya. Dalam buku ini ada artikel yang ia juduli dengan Libidosophy: Revolusi Mentalitas Bangsa.
Saya sadar, bahwa Joko Widodo presiden saat ini, bukanlah seorang pemikir. Jadi saya ragu jika istilah revolusi mental adalah hasil ide Jokowi untuk menjelaskan visi misinya saat pilpres lalu. Kemungkinan ada orang di belakang Jokowi yang memberi ide mengenai Revolusi Mental.
Kecurigaan saya ini bukan tanpa sebab. Sebelumnnya akun @kurawa di Twitter pernah menyebut ide tol laut jokowi berasal dari RJ Lino, mantan dirut PT Pelindo II. Akun @kurawa sendiri ialah akun pendukung Jokowi sejak di pilkada DKI 2012 lalu.
Jadi, saya berkeyakinan kuat bahwa ide tentang revolusi mental bukan ide original dari Jokowi maupun dari pemikir-pemikir yang ada di belakangnya. Saya curiga bahwa ide revolusi mental disadur dari artikel Yasraf, yang ada di buku Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial.
Di buku ini, Yasraf menulis "Orde Baru setidak-tidaknya meninggalkan dua warisan patologi mental kolektif. Pertama, gelora hasrat (kekayaan, kekuasaan, kebanggaan, yang tak terbendung telah mendorong berbagai bentuk negativenarcisticdesire yang menciptakan sikap mental konsumerisme, hedonis, oportunis, kolutif dan nepotis. Kedua, politik Machiavellian yang diterapkan dalam memenuhi gelora hasrat tak bertepi tersebut telah mengkontruksi secara sosial budaya kekerasan di masyarakat lewat teladan-teladan kekerasan yang dicontohkan penguasa."
Lalu apa persamaannya dengan revolusi mental yang digaungkan Jokowi di pilpres lalu? Asal tahu saja, Sebuah video berjudul Revolusi Mental Jokowi (final), menyatakan revolusi mental didasari dari masih massifnya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme walaupun orde baru sudah tumbang. "Reformasi yang mengantar kita ke era demokrasi sudah berjalan 16 tahun. Tetapi apa yang kita capai masih jauh dari yang semula dicita citakan. Kita geram tradisi-tradisi orde baru (korupsi, kolusi, nepotisme) masih berlangsung hingga sekarang, bahkan menjadi jadi," kata isi video yang diunggah ke youtube tersebut. Sampai disini, saya pikir kita bisa menimbang-nimbang sendiri persamaan ide besar antara artikel Yasraf dengan video kampanye tim Jokowi.
Untuk menguatkan kemiripan ide besar tentang revolusi mental ala Jokowi ini, Yasraf sudah lebih dulu menulis: Kini, kita berjuang untuk memerangi mesin-mesin korupsi, kolusi dan nepotisme. Akan tetapi, ia tak lebih dari perjuangan hampa karena kita tak pernah memerangi akar dari semuanya, yaitu mesin penjara hasrat.
Jika Yasraf menyatakan bahwa kita tak pernah memerangi akar permasalahan revolusi mental dikarenakan terkungkung dengan mesin penjara hasrat, isi video Revolusi mental Jokowi (final) ngomong karena kita hanya sebatas perombakan institusi (belum merombak mental orangnya).
Ini senada bangetlah dengan ide besar yang ada di artikel yang ditulis Yasraf 11 tahun sebelum pilpres 2014 berlangsung. Jadi apakah Jokowi atau orangdi belakang jokowi benar-benar menyadur ide Yasraf? Ah... kita tanyakan saja pada rumput yang bergoyang dangdut koplo.
Selain bicara tentang konsep revolusi mentalitas bangsa, Yasraf dibuku Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial juga bicara tentang demokrasi dialogis, hiperdemokrasi, hiperotonomi, politicusabsurditas, parasit demokrasi, fatarmogana sosial, neoprimitivisme, genealogi disiplin bangsa, mengejar nomad nomad politik, menangkap hantu-hantu politik dan lain sebagainya.Â
Bagi anda yang sedang menambah wawasan kebangsaan melalui pendekatan filsafat postmodern saya sarankan baca buku ini. Sumpah deh, gakbakal nyesel apa lagi nyesek. Sekian[]
sumber asli: bukan-drakorbiasa.blogspot.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H