Ajax Amsterdam di Belanda sudah bertahun-tahun melakukannya. Pada musim-musim kompetisi dimana skuad Ajax mampu menembus perempat final atau semifinal UCL, maka pada saat bursa transfer pemain di buka mereka akan cuci gudang menjual pemain2 berbakat mereka dengan harga mahal.Â
Hal yang hampir sama juga dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, misalnya Brazil dan Argentina. Hampir semua pemain Argentina yang menjadi juara di World Cup 2023 lalu adalah talenta-talenta yang ditempa di kompetisi sepakbola Eropa.
Lebih ekstrim lagi kalau kita merujuk sebagian besar negara-negara di Afrika. Mereka rasanya tidak terlalu perduli dengan kompetisi professional di negara mereka. Doktrin yang diberikan kepada generasi-generasi muda disana adalah bagaimana mengecap pembinaan dan kompetisi di sepakbola Eropa sedini mungkin.
Lantas bagaimana dengan pengelolaan sepakbola Indonesia?
Jika menggunakan analogi ayam, telor dan kandang diatas, sajak tahap awal kepengurusannya di PSSI, Erick Tohir telah mempersiapkan kandang bagi ayam dan telor yang berasal dari industri ayam dan telor di tempat orang lain. Kita menyebutnya dengan istilah naturalisasi.
Walaupun menuai banyak pro dan kontra, buatku tidak ada yang salah dengan naturalisasi, malah naturalisasi adalah langkah yang cerdik untuk mengangkat prestasi timnas.
Pertanyaannya bukan tentang naturalisasinya, tapi what next?
Industri butuh proyeksi pertumbuhan jangka panjang, perlu sustainability. Cara berpikirnya adalah bagaimana memaksimalkan dampak dari lonjakan prestasi timnas terhadap peningkatan kualitas pembinaan dan kompetisi sepakbola.
Perlu dicatat bahwa euforia yang muncul jika timnas mencapai prestasi tertentu jauh lebih besar berasal dari para fans atau penggemar sepakbola Indonesia yang sebagian besar adalah generasi muda. Sebagian besar energi sepakbola kita terkonsentrasi disana, di generasi muda kita.
Pada saat energi tersebut terus meningkat dan membesar, pada saat itulah kita butuh infrastruktur yang berfungsi menyalurkan energi yang melimpah tersebut ke sektor yang mampu mendukung sustanability. Sektor inilah yang kusebut sebagai "pembinaan".
Aspek sustainabilitas ini sangat penting, merujuk pada pengalaman Philipina yang selama bertahun-tahun membangun tim nasional mereka dengan berbasis naturalissi. Tahun 2018 Philipina mencapai rangking FIFA 111, tertinggi dalam sejarah sepakbola mereka, setelah selama 10 tahun mengereknya naik dari rangking terendah 190.