Dari balkon apartemen di Bintaro, suasana malam begitu tenang beberapa hari sebelum perayaan Hari Raya Idul Fitri. Aku menatap bintang sembari membayangkan sesuatu yang agak bombastis bersama pikiran-pikiran liar yang sudah sedari tadi menghantui dengan sebuah rencana kotor.
Aku ingin pertemuanku dengan Erick Tohir nanti tidak didasari oleh sesuatu yang terencana, tidak melalui janji-janji pertemuan yang telah diatur jauh-jauh hari oleh orang tertentu dan tidak juga melewati protokoler kementerian.
Aku ingin cara yang tidak biasa; cara yang memungkinkan pertemuan kami bisa dilaksanakan secara lebih emosional untuk mendapatkan sebuah jawaban orisinal dari satu pertanyaan klasik yang tetap menjadi perdebatan hingga kini.
Aku membayangkan moment pertemuan itu seolah-olah terjadi secara eksidental, misalnya didahului dengan menyerempet mobil Pak Erick lalu pertemuan yang kuinginkan bisa terjadi di kantor Polisi terdekat sehingga aku bisa melontarkan pertanyaan:
"Pak Erick, telor dan ayam duluan mana?"
Tentu aku sangat serius dengan pertanyaan ini. Aku ingin mendengarkan jawaban spontan agar bisa menghayati profil seorang Erick Thohir terkait dengan karakter dan bagaimana dia berpikir dan bertindak saat berada dalam tekanan.
Tapi tenang saja, aku tidak berharap jawaban yang bermutu disini. Aku tidak mengharapkan jawaban yang menggunakan pendekatan sains, filsafat, sosiologi, keagamaan, atau supranatural sekalipun. Apa saja yang bisa langsung dia lontarkan dari pikirannya tidak akan jadi masalah.
Jika pertanyaan diatas membuat dia sedikit shock, aku akan bantu dengan beberapa clue:
"Pendekatan sains bilang telor duluan, sementara pendekatan agama bilang ayam yang duluan, Pak Erick yang mana?"
Jawaban Pak Erick selanjutnya menjadi tidak terlalu penting karena pertanyaan ayam dan telor ini selanjutnya akan kuhubungkan dengan organisasi PSSI yang sedang dia pimpin, dimana telor diasosiasikan sebagai pembinaan dan ayam diasosiasikan sebagai kompetisi.