Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

De Javu Pembedaan Tarif KRL

7 Januari 2023   18:24 Diperbarui: 30 Januari 2023   01:33 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wacana tarif KRL mengalami kenaikan Sumber: Megapolitan.kompas.com

Suatu hari, seingatku sudah lebih 10 tahun yang lalu, aku pernah duduk di satu cafe bersama seorang kawan yang juga merupakan seniorku di kampus dulu. Kawanku ini pernah berkarier di Kementrian PU lalu pensiun dini dan sekarang memimpin satu perusahaan konsultan.

Sebelumnya kami sudah bersama-sama sejak turun dari Stasiun KRL Sudirman lalu berjalan kaki santai melewati Dukuh Atas hingga tiba di cafe yang sejuk sore itu.

Aku tidak sedang membahas isi perbincangan kami, tapi ada satu hal yang mengembalikan ingatanku pada masa itu setelah membaca artikel admin Kompasiana tentang wacana kenaikan tarif perjalanan KRL yang akan ditetapkan awal tahun 2023 ini. 

Saat itu, aku agak kaget mendengar jawaban yang kuterima saat aku bertanya mengapa kawanku ini lebih suka menggunakan KRL untuk berpergian.

Aku tahu persis bahwa dia tidak hanya menggunakan moda transportasi KRL untuk rute pulang-pergi dari rumahnya di Bekasi ke kantornya di daerah Sudirman, tapi dia acapkali mengajakku menggunakan KRL jika kami harus meeting di luar kantornya.

"Itu namanya leading by example," katanya tegas tapi sambil tertawa.

Aku sebenarnya jengah dengan jawaban ini karena buatku kata-kata itu terdengar klise, berada di awang-awang, dan sedikit arogan, walaupun dikemas sambil bercanda. 

Aku tentu berharap jawaban yang lebih membumi seperti agar tidak tua dijalan, hemat bensin mobil, atau jenuh menghadapi kemacetan setiap hari.

"Hadeuhh bang..," jawabku agak ketus walaupun tetap sambil tersenyum hambar.

"Lha.., aku serius Hen," lanjutnya masih sambil tertawa. "sebagai pimpinan kita harus memberi contoh, bukan? Kita kan bagian dari warga Jakarta juga yang beraktifitas di Jakarta setiap hari. Kita harus mendukung upaya-upaya yang diambil untuk mengurangi kemacetan, menekan polusi udara.."

Aku tidak menanggapi kata-katanya, hanya berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain.

Saat itu, aku tidak berpikir jika moment kebersamaan kami adalah waktu yang tepat untuk memberinya ruang menumpahkan idealismenya kepadaku.

Aku mengenal karakter kawanku ini dengan baik. Latar belakangnya sebagai professional di kementrian PU telah memberinya pengetahuan yang cukup tentang dunia transportasi. 

Dengan memberi dia ruang untuk menumpahkan idealisme, itu artinya aku akan membuang waktu berjam-jam memberi makan egonya dengan membiarkan dia bicara tentang Kota Jakarta yang lebih baik, tentang pengembangan transportasi publik, tentang kota yang terbebas dari macet dan polusi, tentang kota yang lebih layak untuk ditinggali, dimana semua akan dibumbui dengan kritik-kritiknya terhadap kebijakan yang diambil pemerintah kota.

***

Sekelumit kisah diatas kuceritakan ditulisan ini karena wacana kenaikan tarif perjalanan KRL yang akan ditetapkan awal tahun 2023 ini juga diikuti dengan rencana membedakan tarif perjalanan KRL berdasarkan kemampuan ekonomi penumpang.

Pertama, aku ingin mengamini bahwa masyarakat kelas menengah Jakarta secara perlahan sudah mulai melirik dan banyak diantara mereka yang telah menjadi pengguna aktif transportasi publik terutama KRL.

Kedua, kenaikan tarif perjalanan KRL menurutku adalah keniscayaan. Hampir setiap tahun PT. KAI sudah berkeluh kesah lewat wacana kenaikan tarif ini.

Kita tentu tahu bahwa besaran tarif yang tidak naik selama 5 tahun sebenarnya telah menggerus keuntungan PT. KAI karena beban biaya operasional yang terus meningkat dari tahun ke tahunnya. Apalagi total pendapatan dari perjalanan juga berkurang hingga dibawah 50% sejak dimulainya pandemi Covid 19 tahun 2019 lalu.

Karena itu aku setuju PT. KAI butuh adanya penyesuaian tarif untuk mengakomodir peningkatan beban-beban biaya. Namun sekali lagi sifatnya hanya penyesuaian saja.

Menaikkan tarif perjalanan KRL yang terlalu tinggi pada akhirnya justru akan kontra-produktif dengan ide dasar pembangunan transportasi publik itu sendiri; yang bisa menghambat proses migrasi masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi ke penggunaan transportasi masal.

Satu yang menjadi menarik untuk dibahas memang terkait wacana membedakan tarif perjalanan KRL berdasarkan kemampuan ekonomi penumpang.

Sebelumnya, mari kita apresiasi hasrat PT. KAI untuk menelurkan inovasi-inovasi baru di segala lini, termasuk inovasi berupa wacana diskriminasi tarif seperti ini.

Di tulisan ini aku tidak tertarik membahas teknis operasional berupa kerumitan-kerumitan yang terjadi di lapangan seandainya wacana ini tetap dilaksanakan. Aku hanya akan menyoroti mindset yang mendasari mengapa wacana ini digulirkan ke publik.

Menurutku, ide untuk membedakan tarif perjalanan KRL berdasarkan kemampuan ekonomi penumpang adalah kontroversial dan layak untuk ditentang karena tidak sesuai dengan azas fairness. Penentuan tarif berdasarkan berapa banyak uang yang ada di dompet penumpang tidak sesuai lagi dengan paradigma bisnis modern.

Memang benar bahwa tarif bisa saja dibedakan karena beberapa alasan. Tapi, untuk kasus perjalanan KRL yang menyangkut khalayak umum, menurutku pembedaan tarif akan lebih relevan jika penetapannya dilaksanakan dengan berbasis pada "layanan".

Pada konsep ini, PT. KAI sebagai pengelola KRL musti menyediakan berbagai macam fitur layanan untuk para penumpang atau konsumen. Selanjutnya pembedaan tarif ditetapkan berdasarkan ketentuan fitur-fitur layanan mana saja yang bisa mereka akses.

Banyak sekali contoh perusahaan-perusahaan yang menyediakan beragam fitur layanan hingga memungkinkan mereka menyuguhkan produk termahal mereka yang biasanya berupa "paket premium" hingga memungkinkan konsumen bisa mengakses keseluruhan fitur layanan yang disediakan.

Jadi, inovasi yang dihadirkan seharusnya berangkat dari mindset bahwa seseorang bisa membayar lebih mahal jika dia bisa mengakses layanan tertentu yang tidak bisa diakses orang lain yang membayar lebih murah, tapi bukan dari sisi kualitas layanannya.

Sebagai contoh saja, PT. KAI bisa membangun lounge sederhana di setiap stasiun yang menyediakan air mineral siap konsumsi dan hanya bisa diakses secara gratis oleh penumpang KRL yang memiliki kartu premium , maka itulah fitur layanan yang kumaksudkan sebagai faktor pembeda.

Tanpa itu pembedaan tarif akan terlihat sebagai sebuah solusi seadanya untuk memperoleh peningkatan pendapatan guna menutupi beban biaya operasional.

Malah jika berkaca dari cerita tentang kawanku sebagaimana uraian diatas, bukankah pembedaan tarif berdasarkan kemampuan ekonomi penumpang justru akan menghadirkan ironi?

Banyak kelas menengah Jakarta yang bukan cuma mendukung upaya migrasi dari penggunaan kendaraan pribadi ke penggunaan transportasi publik, tapi secara aktif ikut hadir sebagai pengguna, bahkan beberapa diantara mereka turut mengampanyekan penggunaan transportasi publik lewat akun media sosial yang mereka miliki. 

Tapi alih-alih mendapatkan piagam penghargaan dari PT. KAI , orang-orang seperti mereka ini tanpa basa-basi justru diharuskan untuk membayar lebih banyak karena pengenaan tarif yang lebih mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun