Kembali pada pembahasan pembangunan IKN Nusantara, tim perencana IKN sepertinya berusaha merencanakan pembangunan IKN Nusantara dengan cara yang berbeda dengan apa yang dilakukan di China untuk meminimalkan resiko kegagalan yang bisa menjadikan IKN dilabali sebagai kota hantu Indonesia di masa depan.
IKN dibangun berdasarkan target-target yang lebih realistis dalam jangka panjang melalui tahapan-tahapan pengembangan yang dibagi dalam 5 tahap dan baru akan selesai pada tahun 2045.
Selain itu, apa yang kita bayangkan tentang membangun sebuah kota bisa jadi berbeda dengan apa yang pemerintah rencanakan pada tahap awal pembangunan hingga tahun 2024.
Pembangunan IKN Nusantara pada tahap awal ini lebih fokus pada pembangunan klaster pemerintahan di area seluas 6671 hektar. Tahapan ini sebenarnya lebih mirip dengan apa yang dilakukan Malaysia saat memindahkan ibukota administratif di Kuala Lumpur dengan membangun kota baru Putrajaya.
IKN Nusantara baru akan membangun klaster ekonomi dan industri dimulai pada tahap kedua pembangunan tahun 2025 dan seterusnya.
Ada kelebihan dan kekurangan, menurutku, dari cara pemerintah mengelola tahap pertama pembangunan IKN Nusantara.
Kelebihannya: pemerintah memiliki kontrol penuh tidak hanya pada aspek pembangunan fisik tapi juga pada pembentukan lingkungan sosial dari "populasi awal" yang akan diciptakan sebagai hasil relokasi anggota TNI/Polri dan ASN yang menghuni kawasan IKN tahun 2024 nanti.
Artinya, pengembangan lingkungan sosial masyarakat kota bisa dilaksanakan by design melalui intervensi pemerintah untuk menjawab tantangan pembentukan dan penguatan ikatan sosial yang baru sesuai visi pembangunan IKN yang bisa jadi berbeda dengan apa yang biasa jalankan warga di tempat tinggal mereka sebelumnya.
Satu contoh saja adalah terkait dengan rencana pembangunan konsep hunian yang didominasi oleh blok-blok apartemen dengan tujuan agar kota bisa memiliki ruang terbuka hijau yang jauh lebih luas dengan membangun type kawasan hunian yang memiliki tingkat kepadatan lebih tinggi.
Konsekuensinya menjadi menarik karena gaya hidup masyarakat kota di Indonesia, tidak terkecuali di Jakarta sekalipun, masih terbiasa dengan gaya hidup dilingkungan hunian landed, bukan hunian vertikal (high rise living).
Dibutuhkan transformasi untuk perubahan gaya hidup karena pola interaksi dan jejaring sosial yang membentuk gaya hidup high rise living masih belum berakar kuat di kota-kota di Indonesia. Berbeda dengan di Singapura misalnya, dimana masyarakatnya sudah terbiasa menjalankan gaya hidup ini dengan sangat baik.