Dari sisi PT. KAI, komponen harga tanah hanya menunjukkan "nilai buku", berdasarkan hitungan harga pasar saat ini, bukan menggambarkan jumlah dana yang diinvestasikan, karena proyek pengembangan area TOD ini hanya akan memanfaatkan lahan yang sudah ada dimana pembebasannya dulu dibiayai oleh APBN untuk infrastruktur perkeretaapian.
Pemanfaatan lahan milik PT. KAI ini pun dilaksanakan dalam konteks pemanfaatan ruang vertikal yang akan digunakan untuk area hunian, jadi tidak akan berpengaruh secara langsung pada layanan yang mereka berikan pada pengguna angkutan massal, malah justru memberi nilai tambah yang luar biasa berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama, PT. KAI bisa menikmati peningkatan pengguna angkutan massal KRL secara signifikan di masa yang akan datang
Kedua, PT. KAI otomatis bisa meningkatkan kualitas layanan transportasi publik karena kerjasama pengembangan TOD ini akan memberikan konsekuensi pada peningkatan fasilitas, berupa peningkatan kapasitas sarana dan prasarana parkir serta terbangunnya komersial area yang lengkap untuk kenyamanan pengguna KRL.
Ketiga, PT. KAI akan mendapatkan pos penghasilan alternatif dari keuntungan penjualan unit-unit hunian, pengelolaan komersial area, dan dari pengelolaan parkir.
Dalam situasi yang serba menguntungkan diatas, seharusnya kolaborasi beberapa BUMN yang saham mayoritasnya dimiliki negara bisa menjadi faktor pembeda, dimana momentum pengembangan TOD ini bisa dimaksimalkan selain merupakan realisasi dari program nasional pembangunan 1 juta unit rumah itu sendiri, juga untuk menjawab kritikan banyak pihak tentang peran pemerintah yang minim dalam membantu merealisasikan public housing yang selama ini terlalu mengandalkan pihak swasta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H