Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Apakah Harga Properti di Indonesia "Bubble"?

16 September 2017   03:15 Diperbarui: 16 September 2017   21:41 6923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.forbes.com

Semua akan baik-baik saja, aman dan terkendali, tinggal tunggu momentumnya saja untuk bergairah kembali, begitulah seolah-olah kalimat yang disampaikan para analis dan pengamat properti dalam menyikapi lesunya sektor properti di Indonesia.

Nada positif ini sudah disampaikan sejak tahun 2016, bahwa properti akan segera bangkit, lengkap dengan argumen-argumen tentang insentif perekonomian yang akan diberikan pemerintah ke sektor properti, mengutip judul berita CNBC, "Why Indonesia doesn't have to worry about a property bubble."

Optimisme juga diungkapan Senior Associate at Colliers Indonesia, Ferry Salanto,yang dikutip dari artikel Erin Cook di indonesiaexpat.biz. Dia mengatakan bahwa di awal tahun permintaan properti melambat pada sektor apartemen setelah mengalami booming lima atau lebih tahun yang lalu, namun diperkirakan pada semester kedua 2017 angka penjualan akan rebound ke tingkat yang berkelanjutan.

Namun, James Riady - Chairman Lippo Group, di acara talkshow BTN Golden Property Awards baru-baru ini sepertinya mengungkapkan hal berbeda, sekaligus juga memberi semacam "warning" pada developer lainnya.

"Harapan saya adalah bagaimana semua pengembang memikirkan harga perumahan harus turun, tidak bisa lagi belasan juta (per meter persegi)," begitu kata James Riady, sebagaimana dikutip dari Kompas.com

Dia pun mencontohkan hunian di Meikarta yang harganya sekitar Rp 7 juta per meter persegi. Dengan nilai jual per unit mulai Rp 120 juta, seharusnya harga ini bisa dijangkau para pekerja khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Pernyataan ini mempertegas pernyataan James Riady sebelumnya bahwa harga pasar apartemen kelas menengah di wilayah cikarang dan sekitarnya saat ini mencapai Rp 18 juta per m2, sementara Meikarta rencananya hanya di jual di kisaran harga Rp 12.5 juta per m2, bahkan saat ini (fase launching) unit apartemen Meikarta sudah dilepas di harga Rp 7 juta per m2.

James Riady tanpa ragu dan blak-blakan membuka kebijakan harga Lippo Group, termasuk harga transaksi saat ini di proyek Meikarta. Hal lainnya yang tak kalah heboh adalah ajakan untuk menurunkan harga perumahan, satu hal yang sebenarnya tabu bagi developer.

Terus terang, kondisi ini membuat saya bertanya-tanya, apakah benar harga properti komersial di Indonesia sudah terlalu mahal? Apakah kondisi properti sedang berada di situasi "bubble"?

Entah mengapa, setiap mendengar wacana unit-unit properti turun harga, otomatis saya langsung terjangkiti penyakit bubble syndrom.

Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin deskripsikan dulu definisi bubble sebagai berikut:

 "Property Bubble" atau "real estate bubble" merupakan jenis "economic bubble" yang terjadi secara berkala di pasar real estate lokal atau global, ditandai dengan terjadinya peningkatan pesat harga unit-unit properti, seperti gelembung, hingga mencapai tingkat yang tidak bisa membesar lagi dan kemudian turun atau bisa juga meledak seperti kasus 2008.

Berdasarkan indeks kenaikan harga properti untuk daerah Jakarta dan Bodetabek, periode tahun 2009 - 2014 adalah periode booming dimana kenaikan harga properti mencapai hampir 150 % (lebih dua kali lipat kenaikan harga), lalu tahun 2016 dan tahun 2017 hingga kuartal II melambat, hanya 4% - 5% per tahun.

Kenaikan berlipat ganda di periode Th 2009 - 2014 tersebut, menurut para analis, bukanlah tanda-tanda bubble, melainkan koreksi harga secara alami karena infrastruktur di kota-kota besar di Indonesia berkembang pesat.

Namun, setelah periode booming tersebut, indeks kenaikan harga properti cenderung stagnan, seperti tidak bergerak, seperti berat sekali untuk sekedar menggeliat, dan berlangsung lama sejak tahun 2015 sampai sekarang.

Rebound harga properti pada pertengahan tahun 2017 seperti yang diprediksi pengamat properti belum juga menampakkan tanda-tandanya sama sekali.

Permasalahannya, sejak tahun 2016 Pemerintah Indonesia sudah ikut turun tangan membantu mendorong sektor properti bangkit dari keterpurukan dengan pemberian insentif dan pembaruan regulasi yang secara teoretis akan mampu menggairahkan sektor properti.

Contohnya adalah deregulasi berupa Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XI mengenai penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final dan pengurangan tarif Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Lalu ada PKE XIII tentang Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Belum lagi nilai tukar Rupiah yang terus menunjukkan stabilitasmya pada kisaran Rp 13.300, dan suku bunga acuan Bank Indonesia juga rendah, 4,75 persen, serta tingkat inflasi yang hanya 4,37 persen.

Satu lagi yang awalnya menimbulkan harapan besar bagi developer adalah program tax amnesty yang diyakini akan memberikan pengaruh besar bagi industri properti di Indonesia.

Tapi, kenyataannya semua itu belum mampu mendongkrak kinerja sektor properti.

Lantas, jika pemerintah turun tangan juga sudah tidak mempan, apa sebenarnya permasalahan sektor properti Indonesia?

Mungkin ada baiknya kita mengingat kembali krisis global pada tahun 2008 yang awalnya dipicu permasalahan subprime mortgage dalam industri properti di Amerika Serikat. Berdasarkan pelajaran dari pengalaman krisis global tersebut, ada beberapa poin yang bisa dijadikan tanda-tanda terjadinya property bubble sebagaimana yang dirangkum dari forbes.com sebagai berikut:

Utang-utang beresiko tinggi menjadi hal yang biasa

Fenomena booming properti periode 2009 - 2014 masih meninggalkan cerita tentang utang-utang beresiko tinggi ini. Saat itu, ketentuan DP rumah adalah 10% tapi pada prakteknya di lapangan bahkan jauh di bawah itu.

Bank Indonesia sempat prihatin dengan lonjakan harga rumah dan menggelembungnya kredit properti, lalu pada tahun 2013 mengeluarkan aturan baru untuk mengurangi sepak terjang para spekulan properti dengan aturan uang muka 40% saat membeli rumah atau apartemen kedua.

Terlalu banyak laverage

Ini sudah menjadi hal yang biasa diterapkan dalam sistem keuangan, termasuk Indonesia, sebagai salah satu cara memperbesar potensi imbal hasil aset untuk menambah modal dengan cara pinjaman. Sederhananya, laverage dalam properti di Indonesia biasa kita konsumsi dari isu-isu DP perumahan yang kecil, sekuritisasi asset perbankan, dan lain sebagainya.

Kenaikan harga hunian yang jauh lebih cepat daripada peningkatan pendapatan

Problem harga hunian di Indonesia sudah sering kali di bahas, apalagi kalau melihat ironi yang terjadi dimana Indonesia saat ini berada pada situasi backlog (kekurangan supply) 11 juta unit rumah, sementara disisi lain, terutama di Jakarta, harga unit hunian sudah berada diluar jangkauan daya beli sebagian besar warga.

Solusi yang masih tersedia saat ini adalah membeli unit di pinggiran kawasan pendukung Jakarta, Bodetabek, dengan segala keterbatasannya, seperti kondisi infrastruktur, keterbatasan akses ke transportasi massal, belum lagi problem kemacetan yang membuat waktu tempu ke tempat mereka bekerja yang sudah tidak rasional, serta beban biaya transportasi yang membengkak.

Malah dalam 5 - 10 tahun ke depan, jika tidak segera disikapi dengan serius, tidak akan ada developer yang mampu mensupply kebutuhan unit hunian yang berada dalam jangkauan daya beli warga yang bekerja di Jakarta.

***

Dari uraian diatas, jika pertanyaan ini diajukan ke saya, apakah tanda-tanda terjadinya property bubble sudah terjadi juga di Indonesia hingga dapat disimpulkan bahwa properti kita sudah bubble? Jawabannya, jujur, saya tidak tahu.

Tapi, rasanya, lebih luas dari ajakan James Riady pada developer, saya cenderung mengajak semua pihak, mulai dari peneliti, analis properti, pengamat, dan juga pemerintah, untuk mengkaji kondisi sektor properti saat ini secara lebih komprehensif, apakah benar-benar bubble, atau hanya bubble-like simptons, atau tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali.

Karena satu hal yang sudah diketahui oleh semua, jika kondisi property bubble yang tidak terkendali sampai meledak maka efeknya bisa memicu terjadinya krisis ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun