Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Rumah Impian" yang Hanya Jadi Impian

23 Februari 2015   03:02 Diperbarui: 12 Februari 2022   03:45 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Golongan menengah Jakarta yang memiliki penghasilan yang berkisar Rp. 15 juta/bulan.

Berdasarkan ketentuan BI, golongan ini akan memiliki kesanggupan untuk membeli rumah dengan nilai cicilan Rp. 5-7 juta sebulan (hanya sepertiga dari penghasilan). Atau dengan lain mereka sanggup membeli rumah seharga Rp.1 Milyar dengan terlebih dahulu mengeluarkan DP sebesar Rp.300 juta (DP 30% dari harga rumah juga berdasarkan ketentuan BI). Inilah tingkat penghasilan ideal, untuk saat ini, jika ingin memiliki “rumah impian” di Jakarta.

 Golongan menengah “tanggung” penghuni sebagian besar warga Jakarta yang berpenghasilan sekitar Rp. 7-8 juta/bulan.

Golongan tanggung ini biasanya level manager di perusahaan kecil, assisten manager, supervisor, staff di perusahaan besar, PNS, dll, dimana permasalahan yang kompleks sudah menanti di depan mata jika mereka ingin membeli rumah. Berdasarkan aturan, normalnya golongan ini memiliki kesanggupan membeli rumah dengan cicilan sekitar Rp. 3 juta/bulan, atau unit rumah yang harga per unitnya sekitar Rp. 400-500 juta.

Masalahnya adalah supply untuk unit rumah dengan harga segini di Jabodetabek sudah sulit ditemukan. Kalaupun ada, maka konsumen biasanya berhadapan pada kondisi dimana lokasinya yang sangat tidak strategis, jauh dari area perkantoran tempat mereka bekerja di Jakarta. Konsekuensi yang ditimbulkannya menjadi sulit untuk diterima:

  • Kondisi infrastruktur dan masalah klasik “kemacetan” menyebabkan waktu tempuh menuju tempat kerja menjadi tidak feasible lagi.
  • Keterbatasan akses pada sarana angkutan massal yang murah menyebabkan biaya transportasi dari dan ke tempat kerja menjadi sangat tinggi.

Pilihan yang paling logis adalah bangunan vertikal berupa apartemen/rumah susun, yang belakangan juga menjadi program pemerintah DKI. Masalahnya tentu saja supply apartemen/rusun yang berada dalam jangkauan daya beli mereka masih minim, masih jauh panggang dari api.

Golongan masyarakat berpenghasilan rendah (UMR) dengan pendapatan sekitar Rp. 3 juta/bulan.

Bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah di Jabodetabek, sorry to say, jalan untuk mewujudkan impian untuk memiliki rumah sepertinya sangat-sangat terjal. Alasannya sederhana, boro-boro untuk nyicil rumah, untuk biaya hidup saja sudah sangat nge-pas. Harapannya cuma menyewa Rusunawa yang sedang diprogramkan pemda DKI. Itupun cuma boleh sewa.

***

Begitulah kondisi sebagian besar warga Jakarta yang ingin memiliki rumah, untuk saat ini. Bahkan jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya daya beli warga jauh lebih rendah lagi jika mengacu pada regulasi BI tentang persyaratan-persyaratan kepemilikan rumah melalui KPR.

Sebagai contoh, banyak warga masyarakat yang tidak memiliki tabungan yang mencukupi untuk memenuhi ketentuan DP (downpayment) sejumlah 30% dari harga rumah. Selain itu, banyak juga warga yang penghasilan per bulannya sudah terpotong oleh beragam cicilan-cicilan hingga kemampuannya untuk membayar cicilan rumah menjadi lebih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun