Ada satu artikel di kompas.com (21/02) yang menarik perhatian saya di SINI. Tentang betapa impian sebagian besar warga Jakarta dan sekitarnya untuk memiliki rumah akan benar-benar suram untuk tahun-tahun ke depan. Pada artikel tersebut, dipaparkan bahwa hingga 10 tahun ke depan akan terjadi anomali dimana kepemilikan terhadap rumah (landed house) akan menjadi sesuatu yang sangat mewah yang hanya akan dimiliki oleh orang-orang berduit saja.
Indikasinya sudah terlihat sejak saat ini. Harga tanah untuk kawasan pemukiman di seputaran Jakarta Selatan sudah berada di kisaran rata-rata Rp. 10 juta/meter, bahkan ada yang sudah mencapai harga Rp. 16 juta/meter. Begitu juga dengan daerah-daerah pendukung seperti depok, bogor, bekasi, dan tangerang, semuanya sama saja. Harga tanah dirasa sudah tidak rasional lagi.
Tentu saja artikel diatas melahirkan tanda tanya besar tentang apa yang menjadi harapan masyarakat menyangkut tempat (rumah) mereka tinggal dan kualitas hidup seperti apa yang ingin dicapai dari sebuah kota yang akan mereka tinggali dalam waktu yang sangat lama.
Bagi saya yang sedari kecil hingga SMA tinggal dikampung, ada riwayat panjang yang secara tidak sadar telah membentuk cara pandang dan imajinasi tentang bagaimana mendefinisikan dan membayangkan suatu benda bernama “Rumah”.
Rumah tempat kami dan sebagian besar tetangga, teman, dan kerabat kami tinggal, adalah sebentuk bangunan yang berdiri diatas sebidang tanah yang memiliki halaman yang hijau dan asri. Bangunannya sederhana dengan ruang tamu yang cukup lega untuk kami sekeluarga berkumpul dimalam hari serta kamar-kamar tempat kami beristirahat.
Lingkungan sosial disekitar rumah kami juga sering memantik kerinduan pada masa-masa lalu itu, pada tanah lapang tempat kami bermain bola, pada pohon buah-buahan milik sendiri atau milik tetangga yang selalu siap kami “curi” saat buah-buahan yang ranum menggoda itu mulai membuat air liur menetes. Begitu pun saat daya jelajah kami mulai tinggi (kira-kira pada saat SMP), maka aliran sungai-lah yang menjadi sasaran permainan untuk kami renangi sepulang dari sekolah dulu.
Cara pandang tentang rumah ini seperti terpahat di pikiran sampai sekarang ketika setahun belakangan memutuskan untuk meninggalkan semua pekerjaan di daerah yang banyak menyita waktu dan tenaga lalu sepenuhnya menetap di Jakarta.
Berbicara tentang hunian di Jakarta maka saya seperti berhadapan dengan kondisi ekstrim yang bertolak belakang dengan apa yang selama ini di imajinasikan, dan saya yakin banyak warga juga berpikiran yang sama.
Harga properti yang Sangat Mahal tentunya menjadi momok nomer satu. Bayangkan jika anda-anda ingin mewujudkan imajinasi masa kecil tentang rumah impian (berada dalam kompleks perumahan, memiliki halaman depan yang cukup luas, memiliki nuansa lingkungan yang hijau dan asri, luas bangunan yang memadai, dll) maka anda harus siap merogoh kocek antara Rp 1 Milyar – Rp 3 Milyar! Nilai tersebut tentu masih belum terjangkau oleh sebagian besar warga Jakarta.
Sekedar untuk memudahkan pemahaman terkait artikel tersebut diatas, berikut saya paparkan hitung-hitungan sederhana tentang daya beli masyarakat yang saya kelompokkan dalam 3 kategori berdasarkan jumlah penghasilan per bulan sebagai berikut:
Golongan menengah Jakarta yang memiliki penghasilan yang berkisar Rp. 15 juta/bulan.
Berdasarkan ketentuan BI, golongan ini akan memiliki kesanggupan untuk membeli rumah dengan nilai cicilan Rp. 5-7 juta sebulan (hanya sepertiga dari penghasilan). Atau dengan lain mereka sanggup membeli rumah seharga Rp.1 Milyar dengan terlebih dahulu mengeluarkan DP sebesar Rp.300 juta (DP 30% dari harga rumah juga berdasarkan ketentuan BI). Inilah tingkat penghasilan ideal, untuk saat ini, jika ingin memiliki “rumah impian” di Jakarta.
Golongan menengah “tanggung” penghuni sebagian besar warga Jakarta yang berpenghasilan sekitar Rp. 7-8 juta/bulan.
Golongan tanggung ini biasanya level manager di perusahaan kecil, assisten manager, supervisor, staff di perusahaan besar, PNS, dll, dimana permasalahan yang kompleks sudah menanti di depan mata jika mereka ingin membeli rumah. Berdasarkan aturan, normalnya golongan ini memiliki kesanggupan membeli rumah dengan cicilan sekitar Rp. 3 juta/bulan, atau unit rumah yang harga per unitnya sekitar Rp. 400-500 juta.
Masalahnya adalah supply untuk unit rumah dengan harga segini di Jabodetabek sudah sulit ditemukan. Kalaupun ada, maka konsumen biasanya berhadapan pada kondisi dimana lokasinya yang sangat tidak strategis, jauh dari area perkantoran tempat mereka bekerja di Jakarta. Konsekuensi yang ditimbulkannya menjadi sulit untuk diterima:
- Kondisi infrastruktur dan masalah klasik “kemacetan” menyebabkan waktu tempuh menuju tempat kerja menjadi tidak feasible lagi.
- Keterbatasan akses pada sarana angkutan massal yang murah menyebabkan biaya transportasi dari dan ke tempat kerja menjadi sangat tinggi.
Pilihan yang paling logis adalah bangunan vertikal berupa apartemen/rumah susun, yang belakangan juga menjadi program pemerintah DKI. Masalahnya tentu saja supply apartemen/rusun yang berada dalam jangkauan daya beli mereka masih minim, masih jauh panggang dari api.
Golongan masyarakat berpenghasilan rendah (UMR) dengan pendapatan sekitar Rp. 3 juta/bulan.
Bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah di Jabodetabek, sorry to say, jalan untuk mewujudkan impian untuk memiliki rumah sepertinya sangat-sangat terjal. Alasannya sederhana, boro-boro untuk nyicil rumah, untuk biaya hidup saja sudah sangat nge-pas. Harapannya cuma menyewa Rusunawa yang sedang diprogramkan pemda DKI. Itupun cuma boleh sewa.
***
Begitulah kondisi sebagian besar warga Jakarta yang ingin memiliki rumah, untuk saat ini. Bahkan jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya daya beli warga jauh lebih rendah lagi jika mengacu pada regulasi BI tentang persyaratan-persyaratan kepemilikan rumah melalui KPR.
Sebagai contoh, banyak warga masyarakat yang tidak memiliki tabungan yang mencukupi untuk memenuhi ketentuan DP (downpayment) sejumlah 30% dari harga rumah. Selain itu, banyak juga warga yang penghasilan per bulannya sudah terpotong oleh beragam cicilan-cicilan hingga kemampuannya untuk membayar cicilan rumah menjadi lebih rendah.
Jika hal itu sudah dirasakan sekarang, apa yang akan terjadi 10 tahun lagi?
Ada satu harapan yang mungkin bisa menjadi salah satu solusi, yaitu janji Jokowi untuk membangun perumahan rakyat guna men-supply backlog perumahan yang telah mencapai jumlah 2 Juta unit rumah. Pemerintah, janjinya dulu, akan membangun 1 juta unit rumah dan sisanya 1 juta unit lagi akan dibangun oleh developer.
Warga Jabodetabek khususnya tentu layak untuk berharap-harap cemas menunggu realisasi janji Jokowi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H