Indra kemudian berjalan ke arah batu dan duduk di sana. Setumpuk arang dan abu bekas bakaran terlihat di hadapannya. Sepertinya abangnya Coki sering masak di sana, itu terpikirkan Indra saat melihat bungkus mie dan kopi di samping batu tempatnya duduk.
Mereka pun menghabiskan siang di sana. Aep merebahkan dirinya di saung sambil mendengarkan celotehan Coki, sesekali mengajak ngobrol Indra yang masih belum mau melepaskan pandangannya ke sekitar.
Ada dinding bebatuan di punggung gunung yang membuat Indra penasaran. Dia menengok ke arah seberang saung di mana ada goa yang tak terlalu dalam. Setelah memperhatikan dengan seksama, dia terkejut ketika melihat sesuatu seperti bayangan di dalam sana.
"Ada orang--" ucap Indra berbisik dan tertahan.Â
Namun, dua temannya tidak mendengar. Dia lalu berdiri dan berjalan ke arah goa itu. Belum sampai di sana, seorang anak bertubuh agak jangkung muncul di balik goa. Wajahnya hitam legam menatap Indra.
"Ju--" Indra tak mampu menunjukkan ekspresi keterkejutannya, napasnya tertahan di tenggorokan. Dia terpaku berdiri. "Jurig![1]" Akhirnya teriakan itu keluar.
Aep yang mendengar langsung terbangun dan menengok ke belakang, begitu pula Coki. Sesaat kemudian, setelah melihat sosok di goa itu, mereka malah tertawa. Indra heran melihat tingkah dua kawannya itu.
Anak berkulit hitam itu kemudian berjalan ke arah saung sambil membawa layangan. Aep dan Coki masih menertawakan ketika dia duduk di samping mereka.
"Tenang, Ndra. Bukan jurig ini mah." Coki cengengesan. "Ini mah si Bangla."
"Euuuh, Cecep!" ujar anak itu tak terima dipanggil demikian dan membalasnya dengan menyebut nama asli Coki.
"Nama saya Coki!"