"Rina!" Seorang anak lain memanggil perempuan itu. Dia adalah Andri, anak ketua RT dari kampung sebelah. "Rina, jangan dekat-dekat sama dia."Â
"Kenapa?"
"Dia mah bodoh, nanti kamu ketularan bodoh."
"Ih kamu, dia kan teman kamu juga."
"Ah bukan lagi. Dia kan nggak naik kelas, jadi bukan teman lagi atuh."
"Ih, kamu ya," dengus Rina.
"Sudah ah. Ayo kita berangkat. Takutnya bangku paling depan keburu sama anak lain." Andri meraih tangan Rina, lalu menuntunnya pergi.Â
Saat berjalan, perempuan itu menoleh ke belakang menatap Indra. Ada rasa iba tersirat dari wajahnya, akan tetapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kembali memalingkan pandangannya ke depan, berjalan agak cepat untuk mengiringi langkah anak lelaki di sampingnya.
****
Pria baruh baya berambut lurus dan sudah dipenuhi uban, berdiri di depan kantor guru. Pak Marwan namanya, seorang penjaga sekolah yang sudah lama bekerja di gedung itu. Tangannya yang kurus keriput dengan urat-urat yang masih menonjol, menggenggam sebuah benda berbahan besi. Matanya memandang halaman sekolah yang masih terdapat banyak murid berkeliaran.Â
Meski berkeriput, wajahnya selalu berseri, dan tersenyum setiap kali melihat bocah-bocah dengan tingkah laku yang jenaka. Sesekali ia melirik jam di tangannya. Tepat pukul tujuh pagi. Sudah waktunya ia memukul bel sekolah yang tergantung menggunakan kawat di plafon luar kantor guru.