Mohon tunggu...
Hendra Wattimena
Hendra Wattimena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Puisi | Perencanaan Wilayah | Politik | Olahraga | Isu Terkini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menyoroti Permasalahan Kebakaran di Kawasan Depo Pertamina Plumpang dari Sudut Pandang Tata Kota

5 Maret 2023   07:22 Diperbarui: 6 Maret 2023   02:45 954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tangkap Layar Google Earth

Peristiwa kebakaran besar terjadi di kawasan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023) malam. Diduga kebarakan ini terjadi akibat pipa BBM di kawasan Depo meledak. Akibat dari persitiwa tersebut, belasan orang meninggal dunia dan ratusan warga mengungsi.

Ledakan tersebut berdampak pada permukiman warga, padahal kita ketahui sendiri bahwasanya Depo Pertamina merupakan kawasan objek vital yang seharusnya tidak ada permukiman di sekitar.

Inilah akar masalahnya, karena kawasan objek vital yang seharusnya tidak diperuntukkan pada pembangunan pemukiman malah dijadikan warga sebagai kawasan permukiman yang berdekatan dengan lokasi Depo Pertamina Plumbang.

Dilansir dari Kompas.com, menurut pengamat ekonomi dan energi, Fahmi Radhmi mengatakan bahwa lokasi Depo Pertamina Plumang seharusnya sudah tidak layak lagi lantaran sebagian pipanya sudah melewati kawasan penduduk. Maka dari itu, ia memberikan solusi untuk memindahkan Depo tersebut jauh dari permukiman.

Apakah salah pihak pemerintah yang tidak memindahkan lokasi Depo ini jauh dari permukiman ataukah apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kaji terlebih dahulu dari sisi tata kota.

Menjadi pertanyaan, antara Depo dan Permukiman mana yang lebih dulu dibangun. Dari sini lah kita bisa menelusuri sebab akibat tumbuhnya permukiman yang banyak di sekitar Depo tersebut.

Depo Pertamina Plumpang dibangun pada tahun 1972 dan mulai berfungsi pada tahun 1974. Terminal BBM ini memainkan peran penting dalam pengiriman BBM di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat. Terminal ini memiliki lahan luas sebesar 48.352 ha dan memiliki kapasitas tangki penimbun yang besar, yakni sebesar 291.889 kiloliter.

Perlu diketahui, sekitar tahun 1972 hingga 1975 Jakarta tentu tidak seramai saat ini. Bisa dikatakan kawasan ini masih bersih dari permukiman yang ada.

Jadi, berdirinya Depo tersebut tentu sudah memikirkan dampak terhadap kawasan sekitar, makanya saat dibangun tidak dekat dengan permukiman padat penduduk.

Maka pastinya, saat pembangunan pihak Pertamina sudah mengikuti aturan-aturan tertentu yang mengatur terkait jarak antara objek vital dengan permukiman.

Zona penting dan strategis memang harus ada jarak antara lokasi dengan lingkungan sekitarnya. Namun perlu diingat, saat dibangun waktu itu kawasan tersebut belum berkembang seperti saat ini. Seiring dengan perkembangan wilayah Tanjung Priok, maka pertumbuhan dan perkembangan penduduk mulai meningkat. Oleh karena berkembangnya pelabuhan dan industri yang ada, makanya kepadatan penduduk makin hari makin meningkat drastis.

Fenomena ini yang kita sebut dengan dinamika pertumbuhan kawasan permukiman. Dalam bukunya yang berjudul "Dinamika Wilayah Peri Urban" yang ditulis oleh Prof Sabari Hadi Yunus menyebutkan bahwa berbagai gejala spasial pada kawasan permukiman dapat dilihat, di antaranya adalah kenaikan luas lahan permukiman, pemadatan bangunan rumah mukim, segregasi rumah mukim dan pertumbuhan permukiman liar.

Hal ini merupakan akibat dari meluasnya kawasan perkotaan. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis karena setiap kawasan, baik kota atau desa, pasti mengalami pertumbuhan penduduk dan perkembangan aktivitas yang membutuhkan ruang tambahan sebagai wadah.

Bertambahnya pertumbuhan permukiman yang semakin padat dan cepat, akibatnya tidak terkontrol lagi. Kebutuhan akan lahan membuat masyarakat terpaksa membangun rumah mendekati kawasan yang seharusnya tidak boleh dibangun permukiman.

Ini akibat dari pemerintah setempat yang tidak tegas terkait pemberian izin IMB, sehingga kawasan sekitarnya kurang pengendalian tata ruang. Itulah mengapa persoalan tumbuh kembang permukiman di sekitar zona inti dan strategis itu mengakibatkan kepadatanya semakin bertambah.

Akibat dari kepadatan ini, sangat berbahaya karena tidak ada antisipasi dari ledakan merambat ke permukiman padat penduduk yang mana kerapatan bangunannya cukup tinggi, makanya saat kebakaran merambat lebih cepat.

Bagaimana sebetulnya kedudukan permukiman dengan fasilitas vital?

 Nah, parahnya lagi antara Depo dengan permukiman hanya dibatasi dengan tembok.Sebenarnya, harus ada jarak antara Depo dengan permukiman. Jika kita lihat jarak antara tangki yang meledak tidak sampai 20 meter dari permukiman warga. Padahal seharusnya, antara tembok pembatas dengan tangki di dalam wilayah pertamina harus ada jalur inspeksi.

Selain itu, perlu diingat kalu besaran tangki akan mengikuti tingkat potensi ledakannya. Jadi, semakin besar tangki maka ledakannya semakin besar. Sehingga, jarak antara permukiman dengan objek vital pertamina tersebut harus semakin jauh.

Sumber: Tangkap Layar Google Earth
Sumber: Tangkap Layar Google Earth

Berdasarkan hasil cek menggunakan Google Maps, lokasi tempat tinggal warga yang terbakar hanya berjarak 1,5 km dari Depo Pertamina Plumpang. Kondisi lingkungan sekitar permukiman dekat Depo Pertamina Plumpang membuat api mudah menyebar ke rumah-rumah penduduk. Bangunan semi permanen yang ada di Jalan Tanah Merah Bawah juga menyebabkan api lebih mudah merembet.

Pentingnya Mitigasi dan Tata Ruang

Bisa disimpulkan, kalau permasalahan ini diakibatkan karena kurang tertibnya masyarakat dalam pembangunan yang terkesan sembarangan saja serta pemerintah yang sembarang mengeluarkan izin IMB.

Kawasan zona hijau  atau penyangga tidak dikendalikan karena di luar kawasan ini ada persoalan status kepemilikan tanah. Seharusnya, kalau merupakan tanah negara maka zona ini bisa dihijaukan, sehingga tidak ada permukiman yang tumbuh berkembang.

Dilansir dari Tempo.co, menurut Gilbert Simanjuntak, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta, sejak awal sudah diketahui bahwa lahan di sekitar Depo Pertamina Plumpang tidak diperbolehkan untuk ditempati oleh warga dalam jarak tertentu.

Namun, sejumlah warga telah mendapatkan izin untuk menempati lahan milik PT. Pertamina yang berdasarkan peraturan tersebut tentunya bertentangan (Sabtu, 4 Maret 2023).

Gilbert menilai IMB yang dikeluarkan pada masa kepemimpinan Anies Baswedan saat menjabat Gubernur DKI membuat persoalan semakin rumit. Menurut dia, saat itu Anies terkesan lebih mementingkan pemenuhan janji kampanye walau harus menabrak aturan.

Pada sabtu, 16 Oktober 2021 Gubernur DKI Jakarta saat itu Anies Baswedan menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sementara kepada penduduk Kampung Tanah Merah.

"Ini adalah jalan tengah yang kami ambil untuk menyelesaikan masalah bangunan-bangunan yang berada di tanah yang status legalnya belum tuntas. Tapi faktanya, mereka ada di tempat ini sudah puluhan tahun," kata Anies Baswedan di Kampung Tanah Merah, Sabtu, 16 Oktober 2021 seperti dilansir dari Tempo.co.

Belajar dari permasalahan ini, ke depan pemerintah tidak boleh asal-asalan mengelurkan IMB. Kemudian, masyarakat juga tidak boleh sembarangan membangun tanpa mengetahui fungsi dari kawasan yang dibangun tersebut.

Sebelum melakukan pembangunan, ada baiknya mengetahui apa fungsi dari kawasan tersebut. Apakah merupakan kawasan yang diperuntukkan pada permukiman atau tidak.

Selain itu, untuk menghindari kejadian serupa, maka pertamina harus segera melakukan audit keamanan pada semua Depo Kilang BBM. Lantaran kebakaran di Depo dan Kilang BBM Pertamina sering terjadi.

Maka dari itu, pertamina harus meningkatkan proses pemeriksaan dan pengawasan. Bukan hanya itu, pihak pertamina harus melakukan penelitian secara sungguh-sungguh untuk mengetahui kondisi setiap Depo maupun Kilang yang dimiliki agar dapat dilakukan proses mitigasi dan pencegahan di masa yang akan datang.Untuk fasilitas Depo dan Kilang BBM yang sudah tua, maka harus segera diaudit secara komperhensif.

Selain itu, permukiman penduduk di sekitar DPO minyak harus segera dipindahkan ke lokasi lain, baik di kawasan Depo Pertamina Plumpang maupun pada kawasan lain yang ada di Indonesia yang permukiman padatnya beresiko karena sangat dekat dengan Depo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun