Mohon tunggu...
Hendra Surya
Hendra Surya Mohon Tunggu... Freelancer - saya seorang penulis lepas untuk penerbit elex media komputindo, obor, erlangga dan bhuana ilmu populer

saya seorang penulis lepas untuk penerbit elex media komputindo, obor dan bhuana ilmu populer.\r\nBuku-buku karya saya, antara lain:\r\nFiction (Novel): \r\nWarriors of Dream Pursuer, 2013.\r\nBookish Style of Lovemaking, 2013.\r\nReinhart, The Incarnation Five Supreme Knights Of Eirounos, 2013.\r\nRahasia Sang Maestro Cilik , 2009.\r\nReinhart, Titisan Lima Ksatria Agung Eirounos, 2007. \r\nCinta Sang Idola, 2007. \r\nBiarkan Aku Memilih, 2006. \r\n\r\nNon-fiction: \r\nCara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar, 2014. \r\nCara Belajar Orang Jenius, 2013. \r\nStrategi Jitu Mencapai Kesuksesan Belajar, 2011.\r\nRahasia Membuat Anak Cerdas dan Manusia Unggul, 2010.\r\nMenjadi Manusia Pembelajar, 2009.\r\nPercaya Diri Itu Penting, 2007. \r\nTim Penyusun, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Usia Dini, 2007. \r\nAgar Perkawinan Menjadi Langgeng, 2006. \r\nKiat Membina Anak Agar Senang Berkawan, 2006.\r\nKiat Mengatasi Penyimpangan Perilaku Anak 2, 2005. \r\nRahasia Membangun Percaya Diri, 2004. \r\nKiat Mengatasi Penyimpangan Perilaku Anak, 2004. \r\nKiat Mengajak Anak Belajar dan Berprestasi, 2003.\r\nKiat Mengatasi Kesulitan Belajar, 2003.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jangan Paksa Aku...

25 September 2021   19:02 Diperbarui: 25 September 2021   19:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 1

Kesan Pertama. Hatiku begitu berbunga-bunga. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumah pemondokanku. Aku ingin tumpahkan gejolak hatiku pada Ratna, teman sekamarku. Memang dengannya aku suka berbagi rasa. Pasti dia akan terheran-heran dan penasaran dengar berita dariku. Dengan setengah berlari, aku bergegas menyelusuri lorong-lorong sempit menuju rumah pemondokan. Aku yakin Ratna telah lebih dahulu sampai daripadaku.

Rumah pemondokanku itu memang tak begitu jauh dari tempatku kuliah. Namun untuk mencapainya, aku harus berlompat-lompat kecil menghindari jalanan yang becek, agar sepatu maupun celana panjangku tidak ternoda oleh lumpur. Maklumlah aku harus memilih rumah pemondokan yang sederhana dan murah, sesuai dengan kocekku. Sebenarnya aku pun kepingin sih, tinggal di rumah pemondokan yang mewah, seperti di Griya Kencana di Setia Budi Medan itu loh... Namun apa daya, itu seperti mimpi rasanya. Tapi, sudahlah aku tak perlu merisaukan masalah tempat pemondokan itu. Toh, aku masih bisa menjalani perkuliahanku tanpa ada masalah, ya-nggak?

Akhirnya, sampai juga aku di ujung gang Dahlia, tepat di depan rumah pemondokanku. Aku lihat induk semangku dengan ciri khasnya mengunyah daun sirih beserta remeh-remehnya sedang duduk di kursi malasnya. Aku begidik, melihat warna merah yang meleleh di selah-selah sudut bibirnya itu. Memang aneh, di zaman semodern begini, masih ada saja yang nginang daun sirih bercampur remeh-remehnya begitu. Apa seperti candu, ya nikmatnya? Tapi, yah memang aneh. Coba lihat induk semangku itu masih memiliki gigi yang utuh. Padahal usianya sudah kepala tujuh gitu. Aneh-nggak? Tapi sudahlah, mengapa kita harus pusing-pusing mikirin itu. Sementara aku harus dapat menyesuaikan diri terhadap kebiasaan induk semangku itu, karena hanya rumah pemondokan ini yang tarifnya paling murah.

"Daaa Amangboru, Ratna sudah pulang?" sapaku, sambil bertanya tentang sahabat karibku itu.

Induk semangku itu menoleh dan dengan gaya dia menurunkan kaca mata kunonya, hanya sekedar untuk memperhatikanku. Sorot matanya mencorong. Maklumlah, memang matanya sudah kabur berat, seiring dengan usianya yang sudah tujuh puluhan itu.

"Oh, kaunya itu Ana?" dia balik tanya. Namun belum sempat aku jawab. Lanjutnya, "Tadi, Ratna juga menanyakanmu. Aku kira dia ada di kamarnya sekarang. Oya si Andrewpun, tadi meminta  kamu segera menemuinya di Medan Plaza jam 6 sore nanti!!!"      

"Oya! Terima kasih Amangboru. Aku tinggal dulu ya Amang...!" jawabku sekedar basa-basi. Tanpa menunggu reaksi Induk semangku itu, aku langsung bergegas menuju ke kamar pemondokanku. Memang aku sengaja untuk menghindari pembahasan tentang si Andrew, cucunya itu yang buat aku sebal sekali.

"Ana jangan kamu kecewakan cucuku itu, ya!" teriak induk semangku itu.

"Huuu!" dengusku menghalau teriakan induk semangku itu. Aku tidak ingin ucapan induk semangku itu  mempengaruhi perasaanku yang lagi berbunga-bunga. Rasanya saat ini hatiku hampir meledak, tak sabar menyampaikan kabar gembira ini pada Ratna. Aku tidak peduli dengan si Andrew, si penuntut dan sok pengatur itu.  

Begitu Ratna membuka pintu kamar pemondokan, langsung saja aku cengkram kedua tangannya dan aku brondong dengan suara ceria. "Aku punya kabar gembira, Rat! Coba apa tebak?"

Ratna pun langsung menatapku. Keningnya mengernyit, heran. Tak biasanya dia melihat aku pulang dengan begitu ceria.

"Tumben, kamu begitu ceria Ana? Kabar Apa lagi  yang kamu bawa hari ini?" sambutnya, sembari memeluk pinggangku.

"Kamu tau nggak, aku tadi ketemu arjuna mencari cinta loh!"

"Ah, arjuna kamu bilang? Apa bukan keledai Ana?" sela Ratna. Lalu Ratna melepaskan pelukannya dan melangkahkan kakinya menuju ranjangnya.

"Ini super beda Rat," ujarku.

 "Alaaa, apa sih bedanya bagimu Ana? Bukankah kamu sudah punya Andrew dan Gilang? Mau apa lagi kamu?" komentar Ratna, sembari meletakkan buku novel yang baru dibacanya. Ratnapun lalu duduk di sisi ranjangnya dan bersandar di daun ranjang, sembari memperhatikanku yang sedang meletakkan buku di atas meja belajarku. Ratna menjadi penasaran juga melihat sikapku. Dia merasa iri melihat aku dapat mengeksploitasi diriku. Sebenarnya, dia ingin memiliki karakter yang kuat dan dapat membuat cowok terpesona, tidak hanya mengandalkan kecantikan semata. Harus ada kekuatan yang menonjol memancar  dari dalam diri, sebagai ciri  khas gitu, batin Ratna.

Sementara itu, aku sungguh sumringah dengar komentar Ratna. Dia tau betul aku suka sekali mempermainkan perasaan laki-laki, terutama terhadap laki-laki yang mudah aku perdaya oleh kerupawanan dan kekuatan khasku. Tanpa menoleh aku menyelanya. "Ah, jangan cepat berburuk-sangka begitulah kawan! Ini yang aku temukan di dalam perpustakaan kampus beda loh. Jika aku katakan padamu, pasti kamu tidak akan percaya!"

"Ooo kelihatannya apa dia begitu spesial? Apa dia laki-laki sejati seperti yang kamu impi-impikan itu?" berondong Ratna sinis.

Aku tidak menanggapi pertanyaan Ratna yang bernada sumbang itu. Aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang. Pikiranku melayang mengingat dan membayangkan pertemuan itu. Hatiku rasanya berbunga-bunga, melihat cara dia memandangku, sikapnya dan senyumannya yang menyejukkan hati, terutama tutur katanya yang membuat diriku terlena. Dia mampu baca apa yang ada di dalam dadaku. Dia sungguh menghargai aku, memperlakukan aku dengan penuh perhatian. Di matanya tidak aku temukan sikap dan perangai laki-laki yang suka memperdaya kaum perempuan. Aku ingin sekali dekat dengan dirinya, merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang itu, tentu begitu asyik sekali. Aku rasa dirinya laki-laki yang mampu membimbing diriku untuk melepaskan beban deritaku dan kehausanku akan belaian kasih sayang yang sesungguhnya dari seorang laki-laki sejati. Tapi yang menjadi tanda tanya dalam benakku, apa dia memiliki perasaan yang sama dengan apa sedang aku rasakan ini ya?

Saat itu, aku betul-betul sedang kesal sekali di dalam ruangan perpustakaan kampusku. Aku tak menemukan buku yang aku cari. Padahal, aku sedang diburu waktu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dosen killerku, Bapak M. Sianturi yang menyebalkan itu. Dia selalu memberi beban tugas dalam waktu mepet sekali. Di mana bahan literaturnya sangat langka lagi. Apalagi dia sudah mengultimatum barang siapa yang tidak menyelesaikan tugas yang diberikan ini, maka jangan harap dapat lulus mata kuliah yang diasuhnya itu. Tabu baginya tawar-menawar. Untuk mengantisipasi ancaman Dosen Killerku itu, maka aku sudah mengumpulkan setumpuk buku psikologi pendidikan di hadapanku. Namun dari sederet buku yang aku kumpulkan ini tak satupun yang membahas mengenai cara mengatasi kesulitan belajar seperti yang diinginkan Bapak M. Sianturi itu. Padahal sudah semua buku aku bolak-balik, halaman demi halaman.

Tanpa aku sadari secara refleks aku lampiaskan kekesalanku dengan mengetuk-ngetuk ujung pulpenku di atas buku tulisku. Akibat perbuatanku itu, membuat seseorang yang duduk di hadapanku merasa terganggu juga.

 

Bab 2

"Kamu kelihatannya begitu nervous sekali Nona?" tegurnya secara halus padaku, sembari melontarkan senyum manisnya. Dia seperti mengetahui kesulitan yang sedang aku hadapi.

Dengar teguran halus tersebut langsung membuat wajahku semburat memerah. Aku menjadi malu diri, akibat kekonyolanku tadi. Aku tak menyadari di depanku sudah duduk seorang mahasiswa tampan dan mempesona. Padahal aku tidak mengetahui kalau cowok yang ada di depanku ini selalu mencuri pandang diriku. Cukup lama juga dia memperhatikan tingkah-lakuku. Ternyata dia pandai juga memanfaatkan momen untuk sekedar bertegur sapa denganku. Tanpa aku sadari juga, kelihatannya dia ada hati juga padaku. Dasar cowok...!

Kemudian lanjutnya, "Ada yang perlu saya bantu Nona?"

"Oh, tidak! Terima kasih," jawabku singkat, tersipu-sipu. Aku semakin menunduk malu. Tapi sembari menunduk sempat juga aku lirik paras mahasiswa yang ada di depanku itu. Dadaku mendadak bergemuruh melihat wajah tampan yang ada dihadapanku ini. Wouuu... cakep sekali, batinku.  Tubuhnya pun cukup atletis, seperti Anjas Asmara gitu loh! Melihat dirinya aku sampai lupa akan tugas yang harus aku selesaikan segera. Apalagi aku tau siapa dirinya ini. Aditya Jiwandono, seorang aktivis kampus dan selalu menjadi buah bibir para mahasiswi, itu loh... Setiap mahasiswi sekampusku tak henti-hentinya membicarakan Aditya Jiwandono ini saban harinya. Mereka selalu berharap ingin menjadi pacar sang aktivis yang kesohor akan intelektualitas dan kharismatiknya ini. Seorang mahasiswa yang cerdas dan selalu dihormati dan disegani, baik oleh kalangan mahasiswa maupun dosen loh... Kebetulan Aditya Jiwandono ini, satu angkatan dengan diriku dan sama-sama duduk pada semester VII. Bedanya, dirinya jurusan Kedokteran sedangkan diriku jurusan Psikologi.

               "Benar Nona tak perlu bantuan, nih?" sambungnya lagi.

               Ngotot juga nih orang, batinku. Akupun menjadi keki juga dan dadaku berdebar-debar. Namun aku kuatkan diriku untuk mengangkat wajahku, menatap wajahnya yang mempesona itu. Tanpa sengaja mataku sempat melirik buku yang ada di tangannya. Akupun langsung terkesima dan menjatuhkan mataku pada buku Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar karangan Drs. Hendra Surya yang ada ditangan pemuda itu. Wah, kebetulan juga nih, ada jalan bagiku untuk menyambut tawarannya.

               "Oya, memang saya lagi butuh bantuan kamu, nih. Itupun, kalau kamu tidak keberatan. Boleh aku pinjam buku yang ada ditangan kamu itu?" sosorku dengan harap-harap cemas. Tak aku sangka buku yang aku cari ada ditangannya Aditya ini. Tapi dia tidak langsung memberi permintaanku, dia malah terus memandangiku dengan kagum. Sedangkan aku sangat menggantungkan harapan pada buku yang ada di tangan Aditya ini. "Tolong deh! Saya ada tugas mendesak nih...berkaitan dengan buku itu," sambungku.

               Tapi, Aditya malah menjatuhkan matanya pada tumpukan buku-buku yang ada di sisi kiri mejaku dan buku yang sedang aku baca. Lalu dia memandangku lagi dengan nada keheranan.

               "Lho, bukankah dihadapan kamu sudah cukup banyak buku Psikologi Pendidikan?"

               "Memang kamu benar. Namun semua buku ini, kurang detail bahasannya, khusus masalah kesulitan belajar dan problem solvingnya. Aku yakin dalam buku Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar itu pasti akan ketemukan apa yang aku cari. Boleh-tidak aku pinjam sebentar  buku itu?"

               Akhirnya Aditya memahami kesulitan yang sedang aku hadapi. Dia tidak ingin membiarkan diriku dalam kebingungan terus.

               "Mengapa tidak Nona? Saya merasa senang kok, jika dapat membantu kamu. Silahkan nona pergunakan buku ini! Toh, aku sudah membaca secara menyeluruh isi buku ini."

               Lantas tanpa babibu lagi, maka langsung saja aku sambar buku yang disodorkan Aditya itu padaku. Lalu aku bolak-balik halaman demi halaman buku itu. Tak lama kemudian, aku merasa puas setelah apa yang aku cari ternyata dibahas dalam buku ini. Sementara Aditya terus memperhatikanku, sembari mempermainkan pennya. Lalu aku mengangkat wajahku kembali, memandang Aditya dengan wajah sumringah.

"Terima kasih Aditya!"

               Tahu nggak? Aditya ini semakin terperangah melihat diriku begitu sumringah  mendapatkan buku yang sangat berarti sekali dalam perjalanan perkuliahanku. Dia semakin terkagum-kagum pada pesona kecantikan diriku. Seolah-olah sukmanya tersedot oleh magnit yang aku miliki. Keinginannya untuk lebih mengenalkupun semakin kuat. Maka dengan hati-hati dia beranikan dirinya menanyakan namaku.

"Oya, boleh aku mengenal nama kamu?"

               Aku menjadi merasa tersanjung,  dengar Aditya ingin mengenal diriku. Sudah barang tentu tanpa diminta pun, aku dengan senang hati untuk memperkenalkan diri padanya. Siapa yang tidak bangga dapat berkenalan dengan Aditya, seorang kesohor gitu loh... Yang menjadi incaran para mahasiswi USU...  Aku pun lantas mengumbar senyuman pemikatku.

               "Namaku Mardiana, tapi panggil saja aku, Ana..."

               "Ini suatu kehormatan bagiku dapat mengenal dirimu Ana..." sambutnya dengan halus dan polos tanpa ada kesan merayu. Hatiku semakin berdebar-debar. Ada gejolak perasaan menggebu-gebu menyelinap ke dalam relung hatiku, takkala Aditya berbicara padaku. Akupun langsung bereaksi spontan.

               "Idiiih...Aku menjadi malu kamu buat Adit. Kamu terlalu merendahkan diri. Siapa yang tidak mengenal dirimu di antero kampus ini Adit. Aku bukan apa-apa dibandingkan dirimu. Jangan gitu ah!!!"

               "Benar loh! Aku bicara sejujurnya. Siapa yang tidak bangga mengenal seorang gadis secantik dirimu? Kaupun asyik diajak ngobrol gitu," pujinya.

               "Ah kamu bisa saja, Adit," sergahku, jengah mendengar pujian Aditya. Tapi dalam hati,  aku merasa  senang gitu loh...

               "Emangnya kamu punya tugas apa Ana?" potong Aditya, mengalihkan pembicaraan.

               Akupun menjadi semakin bersemangat untuk ngobrol dengannya. "Ini, aku  sedang mendapat tugas membuat paper dengan topik masalah kesulitan belajar. Aku masih bingung menentukan sumber masalah dari kesulitan belajar itu sendiri. Apa karena tehnis atau ada hal lain yang menjadi sumber pemicunya?"

               Adityapun langsung ambil hati nih...

               "Memang benar Ana. Timbulnya masalah kesulitan belajar itu bisa jadi karena masalah teknik belajar maupun unsur lain yang menjadi tressornya, Ana."

               Entah karena cara  bertutur atau karena fakta yang diungkapkan Aditya membuatku begitu tertarik untuk berlama-lama dengarkan Aditya. Sehingga ada keinginanku untuk tau lebih lanjut. "Lantas, pengelompokkan unsur-unsur lain yang menjadi sumber kesulitan belajar itu apa ya, Dit? Tentu kamu tidak keberatan membantuku memecahkan masalah yang sedang kubahas ini, bukan?"

Aditya pun semakin bersemangat juga untuk bertutur. Dia ingin membantuku memecahkan persoalan yang sedang aku bahas. Paling tidak kesempatan ini dipergunakannya untuk lebih mendekatkan dirinya padaku. Pdkt begitu loh...!

"Oh, tidak Ana. Aku merasa senang kok dapat berdiskusi denganmu. Yang dimaksud unsur-unsur lain itu, antara lain masalah yang timbul dari faktor eksternal maupun internal, Ana."

               "Sumber eksternal itu apa?"

               "Lingkungan sekitar."

               "Kalau internal, Dit?"

               Adityapun begitu antusias untuk membeberkan tahunya. Tahu nggak apa yang dikatakan...

               "Fisik dan psikis. Fisik, seperti kondisi badan yang sakit, lapar dan sebagainya. Sedangkan Psikis bersumber dari kondisi kejiwaan kita sendiri yang menjadi penghambat, ketika melakukan proses belajar."

               "Maksudmu, Dit?" aku menjadi penasaran juga mendengar omongan Aditya.

               "Ketika kita belajar, tetapi sesungguhnya kita tidak siap untuk belajar. Kita sulit memfokuskan pikiran karena pikiran kita tersita atau melayang memikirkan hal lain yang tidak ada hubungan dengan apa yang kita pelajari. Seperti apa yang kamu lakukan barusan, ada keinginanmu untuk belajar, tetapi pikiranmu larut dalam keresahan memikirkan hal lain. Alhasil belajar seperti melakukan hal sia-sia."

               "Ah, kamu bisa aja Dit ngeledek,"tukasku secara spontan, malu-malu.

               "Bukankah apa yang kukatakan itu memang riil, Ana? Kita akan sulit konsentrasi belajar, jika dibenak pikiran kita terjadi duplikasi pikiran dan perasaan, seperti terus menerus terbayang tentang kekasih atau dalam kondisi perasaan marah, kesal, dendam, benci, sedih dan ketakutan."

               Benar juga fakta yang dikatakan Aditya ini. Aku langsung ngaca diri.

               "Ya, aku akui apa yang kamu katakan itu memang benar sih, Dit. Setelah aku perhatikan sumber utama kesulitan belajarku selama ini ternyata tressornya problem psikisku sendiri rupanya. Aku baru sadar sekarang dan aku sungguh beruntung mendapat pencerahan darimu Dit."   

               Mendengar ucapanku, Aditya menjadi tersenyum, tapi bukan bangga diri loh! "Bagus sekali Ana, jika kita mulai memahami hal yang paling hakiki dari problem kita itu." Lalu tiba-tiba Aditya mengubah nada bicaranya padaku. "Tapi ngomong-ngomong maaf ya Ana, kalau aku bersikap lancang terhadapmu!"

               "Ah, tidak apa-apa Dit. Apa yang ingin kamu katakan, katakan saja Dit? Aku tidak tersinggung kok... Malah aku merasa senang dan berterima kasih sekali, jika kamu dapat memberi informasi lebih lanjut padaku," ujarku, tanpa menghilangkan keseriusanku menyimak tutur kata Aditya. Aku tidak tau kemana arah pembicaraan Aditya. Tapi memang aku tertarik terhadap apa yang akan dikatakan Aditya padaku. Akupun semakin asyik ngobrol dengan Aditya. Apa karena tutur katanya yang menarik atau memang orangnya semakin mempesonaku? Kuperhatikan Aditya juga semakin asyik untuk ngobrol gitu.

               "Setelah aku perhatikan, ternyata di balik matamu Ana, aku lihat sepintas ada kabut yang selalu menyelimuti hatimu dan menjadi beban hidupmu. Walaupun fisikmu berada di sini, tetapi kadang jiwamu berada jauh di awang-awang. Seperti ada yang hilang darimu, gitu. Mungkin, sesuatu yang sangat berarti sekali dalam hidupmu, hatimu pun menjadi penuh diselimuti keresahan, sehingga kamu tidak dapat fokus terhadap apa yang kamu hadapi."

               Deep!!!

Aku tersentak. Pernyataan Aditya langsung menyentuh perasaanku yang paling dalam. Tak aku duga Aditya mampu melongok isi lubuk hatiku. Dia seperti mampu meraba luka hatiku yang telah lama aku tutupi. Tanpa aku sadari airmataku mengalir membasahi pipiku, teringat akan masa laluku.  Baru kali ini ada orang yang mampu menyentuh titik peka perasaanku.

Untuk kelanjutan kisahnya dapat Anda peroleh di Good Novel pada play store.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun