Mohon tunggu...
Hendra Halomoan Sipayung
Hendra Halomoan Sipayung Mohon Tunggu... Penulis dan konsultan pencitraan -

Saya adalah seorang penulis buku, ghostwriter, marketing online, personal brand consultant. Tinggal di Depok dan bekerja di daerah Ragunan, Jakarta Selatan. Saya bisa dihubungi di nomor 085925077652..Situs: http://konsultasimenulisbuku.com/

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rahasia Menaklukkan Rocky Gerung?

1 September 2018   21:22 Diperbarui: 2 September 2018   07:23 3137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Rocky Gerung adalah seorang pakar filsafat yang saat ini mendadak terkenal, pasca ia sering mengkritik Jokowi. Dalam berbagai diskusi dan perdebatan di televisi ia muncul sebagai sosok  yang rasional dan argumentatif. Sulit rasanya lawan bicaranya menaklukkannya dalam sebuah perdebatan.

Di youtube Anda akan mudah menemukan video yang judulnya seolah menggambarkan Rocky sebagai sosok super hero yang sukses membungkam banyak orang.

“Rocky Gerung Bungkam Mulut Nusron ILC 14 Agustus Tadi Malam”

“GERAM!! Rocky Gerung MEMBUNGKAM DPR di ILC” 

(sumber youtube)

Dalam ranah  politik Rocky, yang nyatanya non muslim, mendadak ditasbis kelompok politik tertentu pengusung isu  SARA sebagai sosok jubir. Sementara dari kubu politik berlawanan menunggu munculnya figure yang bisa menaklukkan Rocky Gerung dalam perdebatan di televisi.

Suatu kali sahabat saya yang geram dengan komentar sang "Professor Filsafat" bertanya kepada saya bagaimana mengalahkan sang ahli. Jelas saya tidak tahu jawabannya. Jika saya berhadap-hadapan dengan sang pakar dipastikan saya akan kalah dalam satu kali serangan. Meskipun mendengar dan membaca pendapat Rocky Gerung kadang otak saya tergelitik. 

Di sebuah acara di televisi ia pernah mengatakan jika pemerintah adalah apparatus Hoaks yang paling sempurna. Atau yang cukup kontroversial ia menyebutkan jika kitab suci adalah fiksi.

Ciutannya di twitter tidak kalah nyelenehnya. Ia menanggapi pidato Presiden Jokowi saat menghadiri Konvensi Nasional Galang Kemajuan Center atau GK Center di Bogor, Jawa Barat (8/4) dengan komentar miring

"1. Data: Gerak tangan dan gerak otak tidak sinkron. 2. Psikogram: Ada masalah dengan elektabilitas belio. Saya mau sebut "mangkrak", tapi itu terkesan tak ilmiah. 3. Diagnosis: Belio kecewa dengan kedunguan bujer-bujer belio"

Namun tidak mudah memperdebatkan statemetnya. Ia gampang mengunyah Anda dengan argumennya.  

Lalu kembali pertanyaan awal. Bagaimana cara terbaik menaklukkan  Rocky Gerung?

Maka cara yang paling bijaksana adalah dengan mengindahkannya. Dengan sebuah pemahaman  bahwa sesuatu yang berhasil ditegakkan dalam sebuah ruang diskusi bukan secara otomatis menjadi kebenaran mutlak.

Anda percaya Tuhan. Anda ingin membuktikan kebenarannya dihadapan seorang scientist yang ateis? Saya pastikan Anda akan kalah secara argumen saat berdebat dengannya.

Begitu juga ketika Anda percaya kekuatan cinta. Anda percaya bahwa cinta itu adalah hakikat yang melekat dalam diri Anda sebagai manusia. Tapi ketika Anda berdebat dengan seorang pakar otak, maka Anda mungkin harus menerima "kebenaran" jika cinta adalah produk dari kimia pada otak Anda.

Dalam filsafat pembahasan tentang realitas, kebenaran, hakikat telah menjadi perdebatan selama ribuan tahun. Ada filsuf yang berpendapat jika apa yang Anda saksikan bukanlah sesuatu yang riil. Itu adalah kerja indra Anda. Tapi ada juga yang menganggap sebaliknya. Jika apa yang Anda lihat seperti apa adanya. Lalu mana yang benar?

Lalu para filsuf juga memperdebatkan soal apa itu kebenaran. Apakah manusia bisa mencapai kebenaran absolut? Ini juga menjadi pertanyaan yang cukup problematis. Sehingga filsuf membagi ruang perdebatan pada ruang-ruang seperti ontology yang membahasa fondasi tentang bentuk, epistemology tentang dasar dari ilmu pengetahuan atau etika yang membahas tentang  landasan moralitas. Dan...ruang ini masih tetap bergemuruh hingga saat ini.

Rocky Gerung adalah bagian dari mereka yang menghabiskan waktunya mempertanyakan banyak hal. Ia bagian dari perdebatan panjang yang tidak terselesaikan dari para filsuf. Pendapat yang ia sampaikan ditopang asumsi-asumsi yang mungkin masih diperdebatkan dalam dunia filsafat.

Rocky Gerung sering berpendapat tentang pentingnya kebebasan pendapat dalam ruang publik. Perlunya adanya wadah bagi kebebasan berpikir.

Tapi pertanyaan besarnya tentang benar tidaknya pendapat itu akan mengakar  pada hal yang lebih fundamental, yakni hakikat manusia. 

Apakah dalam sebuah kebebasan berpendapat manusia bisa sampai pada diskursus yang bermanfaat bagi perkembangan peradaban? Di dalam ekonomi ada istilah tragedy of commond, ketika sekelompok orang secara bersama-besama memutuskan untuk melakukan hal yang jahat yang berdampak negatif terhadap lingkungan, mahluk lain atau kelompok manusia lain. 

Apakah manusia memiliki kapasitas yang sama dalam berpikir dan meraih kebijaksanaan?

Sementara Plato, seorang filsuf besar dari masa Yunani Kuno, sangat anti terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat dalam bernegara. Ia berharap sebuah negara dipimpin oleh orang-orang terpilih yang telah disiapkan menjadi penjaga negara. 

Dalam sistem demokrasi adakalanya kebebasan berpikir adalah artifisial ketika para sofist atau orator, mampu menanamkan kebenarannya kepada massa untuk kepentingannya sendiri.

Hanya saja bagi kebanyakan orang awam pikiran Rocky Gerung yang nyeleneh, seolah-olah masuk akal  mencerahkan karena memberikan sebuah perspektif baru mampu menarik simpati dan penerimaan. Atau sebaliknya mungkin Anda merasa jengkel namun Anda merasa sulit untuk meruntuhkan argumennya.

Well, Anda bukan siapa-siapa dalam ranah berpikir secara logis dan argumentatif. Rocky Gerung, sebagaimana para filsuf, menghabiskan waktunya memikirkan hal-hal mendasar. Mereka menganalisa tentang banyak hal dalam keheningan. 

Seorang Descartes meragukan tentang keberadaan dirinya bukan saat menjalankan tugasnya sebagai tentara bayaran, tapi saat merenung sendiri di ruang kamarnya.  Filsuf Prancis tersebut mampu memikirkan hal yang tidak Anda pikirkan.

Rocky Gerung secara tidak sadar telah melatih dirinya berpikir secara ketat dan kritis. Termasuk mempertanyakan kebenaran yang dalam pikirannya. Sementara Anda tidak melakukan itu. Anda mungkin tidak pernah membaca banyak buku dan mempelajari berbagai hasil riset untuk mempertajam pemikiran Anda.

Lalu, apakah orang seperti itu merupakan sosok ideal dalam kehidupan praktis? Tidak juga. Pasalnya, Anda butuh orang yang bisa menyelesaikan perhitungan keuangan secara cepat tanpa terlebih dahulu mendiskusikan hakikat angka dan kertas. 

Anda butuh seorang yang mampu membangun kebun untuk menyediakan makanan Anda tanpa memahami esensi tanaman atau bertani.

Kita butuh pemimpin negara yang memastikan korupsi tidak lagi merajalela, keadilan sejahtera terwujud melalui pembangunan yang merata, fasilitas kesehatan dan pendidikan bisa diakses mayoritas penduduk dengan baik, meskipun ia sedemikian dungunya untuk menjelaskan apa itu hakikat pendidikan, demokrasi dan manusia. 

Dalam hal analogi yang lebih sederhana, Anda bisa berkesimpulan sebagian besar perawat bodoh karena tidak bisa menjelaskan hakikat kesehatan. Tapi orang yang dungu itu pula yang mungkin akan menyelamatkan nyawa Anda saat Anda terluka karena ketabrak becak.

Jadi kembali kepada pertanyaan awal, bagaimana cara mengalahkan Rocky Gerung? Cara yang paling bijaksana adalah dengan mengindahkannya. 

Dalam filsafat ada banyak kebenaran yang Anda telah hayati namun tidak bisa Anda artikulasikan. Hukum bahasa dan psikologi itu mengikat kehidupan Anda meskipun Anda tidak bisa menjelaskan secara teori. Anda mungkin telah menjalankan peran sebagai Ibu yang baik hanya karena oleh rasa cinta dan adanya dorongan lain dari dalam diri Anda, meskipun Anda tidak bisa menjelaskan hakikat menjadi Ibu dengan logika yang ketat.

Saya mengutip perkataan seorang filsuf . Ujung pencarian seorang filsuf terhadap kebenaran tidak jarang berakhir pada pemahaman bahwa kebenaran absolut itu mustahil. Namun hal tersebut tidak akan membawa mereka pada kegaluan. Melainkan mengantarkan mereka kepada dua hal yakni etis dan kebijaksanaan. Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf Perancis kontemporer pernah mengatakan saat kita tidak bisa memahami manusia secara absolut maka kita harus mendekatinya secara etis. 

Dan.... seorang filsuf sejati tidak pernah melabeli orang dengan istilah bodoh atau dungu, karena ketika ia sadar dengan segala keterbatasan dalam menjangkau kebenaran maka sesungguhnya mahluk paling dungu adalah dirinya sendiri.  Sehingga saat menatap wajah orang lain maka sang filsuf hanya akan mendapatkan pesan dan makna jika, "Kamu tidak boleh membunuhnya, menyakiti, bahkan kamu harus mengorbankan dirimu. Titik. Karena kamu tidak bisa memahami keberadaan dirimu sendiri apa lagi orang lain. Keberadaan orang lain adalah sebuah misteri. Sehingga cara terbaik mendekatinya adalah dengan menghormatinya".  

Dalam memahami dan menghayati kedua kata itu, etis dan kebijaksanaan, tidak hanya membutuhkan logika dan argumentasi namun juga hati nurani, kedalaman jiwa, serta  kerendah hati untuk mengakui jika Anda dungu.  

Dan...saya tidak tahu apakah Rocky Gerung telah mencapai level ini? Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun