Pilpres sesungguhnya masih akan berlangsung tahun depan, 2019. Tapi panasnya sudah sampai ke ubun-ubun, khususnya di media sosial. Sebagai seorang "pemain" di media sosial, di mana saya selaku konsultan personal branding yang sering memanfaatkan internet untuk membangun brand seseorang, atau menciptakan informasi viral, maka saya melihat suasana panas di media sosial dari sudut pandang yang berbeda.
Pertanyaannya adalah siapakah sesungguhnya mereka yang meramaikan pertarungan di dunia maya, lalu apa motif mereka?
Saya selalu percaya bahwa seseorang yang sangat militan seorang calon di medsos wajib hukumnya mendapatkan personal gain. Pastilah ia mengharapkan sebuah imbalan apapun setidaknya manfaat secara psikologis. Ingat, manusia adalah mahluk yang melakukan sesuatu secara sadar dan bertujuan. Bukan seperti kadal yang digerakkan oleh instink.
Saya harus katakan bahwa politik itu adalah sesuatu yang sangat mengejutkan. Pasalnya politik sangat dekat dengan kekuasaan.
Ketika Anda meraih kekuasaan, maka Anda akan mendapatkan banyak kue. Bisa kewenangan, keuntungan dan manfaat lainnya.
Ketika Anda terjun ke dalam dunia ini dan melihat godaan untuk meraih kekuasaan sangat besar maka Anda akan melakukan apapun. Mengapa karena godaan kekuasaan itu 100 x nikmat daripada narkoba. Karena setelah Anda meraih kekuasaan bisa jadi Anda akan lebih mudah mendapatkan narkoba.
Sehingga dalam kaitan politik, untuk mendapatkan lapak kekuasaan maka etika, idealisme, dan humanisme adalah hal sering kali digadaikan oleh para politisi.
Jadi tidak perlu heran dua partai politik yang beberapa tahun lalu seolah-olah bertarung karena dalih ideologis. Partai satu mengatakan jika mereka adalah malaikat dan lawannya adalan iblis, mendadak beberapa tahun kemudian Malaikat dan Iblis dapat berangkulan dan kadernya bergembira ria di sebuah room kareoke.
Tapi yang perlu Anda ketahui bahwa dalam sistem demokrasi kita tidak ada kekuasaan tanpa dukungan massa. Itu adalah hal yang sedikit mengganjal. Sehingga ketika Anda menjadi bagian dari aparatus politik apa yang akan Anda lakukan?
Sederhana mendapatkan dukungan massa. Caranya dengan membangun citra positif terhadap diri Anda atau golongan Anda sembari menebarkan isu negatif terhadap pihak lain.
Nah, kabar baiknya medsos adalah media yang paling efektif melakukan itu. Dan mereka paham benar bahwa masyarakat Indonesia sangat mudah dimanfaatkan dengan isu-isu identitas, sangat mudah termakan informasi yang bersifat emosional, karena daya nalar dan kritisnya agak lamban.
Tapi sebelum saya mengulas lebih, saya mengajak Anda kembali pada titik awal. Adanya sebuah kekuatan politik yang ingin mendapatkan kekuasaan melalui simpati massa adalah critical point.
Struktur Kubu yang Bertarung
Satu hal yang menjadi fakta di media sosial adalah siapapun dapat bersuara. Tanpa adanya batasan usia, umur, pendidikan Anda bisa menyerang seorang professor atau seorang Doktor.
Lalu jika Anda selama ini adalah seorang pemalu dengan sistem komunikasi yang anonim seolah Anda bisa berlindung di balik akun tertentu. Toh, Anda tidak berhadap-hadapan dengan seorang pakar dalam sebuah ruang seminar.
Di medsos tidak ada moderator yang akan memotong pendapat Anda jika dirasa sudah ngawur. Hebatnya Anda bisa memasuki rumah siapapun di media massa dan meninggalkan sumpah serapah. Â Asyik bukan?
Ini adalah kondisi yang membuat banyak orang mendadak menjadi seorang ahli dan pemberi opini yang kritis di media sosial. Tanpa Anda harus menunjukkan ijazah, latar belakang ilmu, CV dan sebagainya.
Namun di sisi lain medsos saat ini mendadak menjadi realitas banyak orang. Sahabat saya mengatakan, "Hari ini terjadi kegaduhan", maksudnya adalah keributan di medsos bukan di kantor atau rumahnya, karena ia menghabiskan 40 persen senggangnya untuk melihat perkembangan di dunia maya melalui smartphonenya. Medsos menjadi ruang sosial dari masyarakat modern.
Hebatnya siapapun dapat mengisi ruang itu dengan seenak udelnya. Termasuk para pemain politik yang ingin mendapatkan kekuasaan.
Lalu siapakah mereka yang menciptakan hiruk pikuk di media sosial? Pertama para pelaku politik yang mengamuflasekan dirinya seolah-olah tidak berafiliasi dengan partai tertentu. Dengan kata lain menampilkan diri layaknya masyarakat biasa. Lalu mereka menyebarkan opini dan fakta ke ruang sosial kita.
Hebatnya dalam dunia medsos ini sebuah jalan rusak di negara lain bisa menggantikan realitas jalan bagus di Papua. Orang bisa membuat kota dengan udara kotor menjadi bersih dengan photo editing. Anda bisa membuat kesan jika negara kita besok akan bubar. Anda mendadak menjadi Tuhan di Medsos.
Tapi kembali lagi, ketika ini adalah "dunia kita" maka semua fenomena yang kita lihat seolah-olah riil apalagi jika informasi tersebut berupa foto, video dibagikan berulang-ulang.
Kedua, jasa professional yang mampu menciptakan "realitas baru" di media sosial. Mereka bisa membuat berita yang berlebihan, video yang diedit dan foto-foto yang membuat Anda tertarik dan ingin menyebarkannya dengan sekali klik. Lalu apa gain yang mereka ingin dapatkan? Jelas uang.
Ketiga, kelompok berkepentingan yang terprovokasi dari para pemain politik dan professional berbayar untuk turut menyebarkan informasi.Â
Mereka umumnya memiliki keterkaitan dengan kekuatan politik tertentu. Bisa jadi ayahnya, omnya, kakeknya atau temannya diuntungkan jika partai politik tertentu berkuasa.
Gain yang mereka dapatkan bisa saja uang, peluang, proyek atau rasa bangga ketika keluarga atau sahabat mereka menjadi bagian dari kekuasaan.
Sementara kelompok yang keempat adalah yang agak janggal. Mereka yang membela kekuatan politik tertentuk karena seolah-olah mewakili ideologi yang mereka anut. Secara naif tidak jarang mereka menganggap dalam politik ada kekuatan jahat dan baik. Uniknya, mereka umumnya sangat militan.
Mereka adalah kelompok masyarakat yang sukses dipengaruhi pemain politik dan professional berbayar untuk menjadi pendukung tak berbayar yang militan. Dengan misi untuk membela kebenaran.
Apa yang mereka dapatkan barangkali mungkin dampak psikologi, senang atau bahagia, karena telah membela kebenaran. Atau dengan menjadi pembela kelompok tertentu mereka menjadi eksis. Kemarahan, rasa frustrasi untuk kehidupan mareka bisa mereka salurkan kepada sesuatu yang anonim yang tidak bisa membalas tindakan mereka.
Kelima adalah anggota masyarakat biasa yang mengaitkan kenyamanan dan ketidaknyamanan mereka dengan pemerintah atau kekuatan kelompok tertentu.
Orang yang menikmati jalan yang mulus mungkin akan cenderung mendukung kekuatan politik tertentu yang identik dengan pemerintah. Sementara orang yang pernah diusir keluar oleh petugas BPJS mungkin akan mengalihkan dukungan kepada kekuatan politik lainnya.
Hebatnya kelima kelompok ini ada di 2 kubu, baik pendukung Jokowi dan Prabowo. Dan menciptakan peperangan kolosal di media sosial.
Bagi yang agak cerdas dalam benaknya tergambar uang, kekuasaan, kewenangan. Sementara yang agak naif membayangkan sedang membela Tuhan. Lalu yang agak realistis membayangkan mendapatkan pekerjaan atau jaminan sosial.
Jadi itulah alasan dan motif mereka bertempur di medsos, sadar ataupun tidak sadar. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya ketika salah satu kekuatan yang menang, siapakah yang paling diuntungkan?
Menurut saya adalah kelompok pertama. Atau mereka yang mendapatkan kekuasaan, uang dan kewenangan. Pasalnya setelah merebut kekuasaan mereka mendapatkan bonus materi dan popularitas. Mereka bisa membeli rumah mewah. Disambut masyarakat bahwa dengan tari-tarian jika berkunjung ke kampung mereka. Mereka mendadak menjadi public figure. Tidak jarang menjadi superhuman di republik ini.
Lalu bagaimana  dengan para pembela malaikat? Nasib mereka tidak berubah. Faktanya banyak dari mereka yaang tidak memiliki ijazah, pekerjaan dan apapun. Eksistensi mereka hanya terwujudkan di dunia maya dan bukan di dunia nyata.
Lalu Bagaimana?
Jadi  bagaimana cara terbaik untuk membangun Indonesia yang lebih baik di masa tahun politik ini? Memilihlah secara kritis dengan melihat realitas otentik. Berdasarkan apa yang Anda rasakan betul. Bukan pada kenyataan di dunia maya yang bisa diciptakan orang-orang dengan berbagai kepentingan.
Sementara realitas yang Anda lihat dan rasakan diciptakan oleh Tuhan bukan dengan photoshop atau berita hoax. Saat ini banyak warganet yang disuguhi makanan yang melampaui kapasitas mulutnya untuk mengunyah. Mereka disuguhi berita soal utang, infrastuktur, aseng, hoaks, ulama dsb nya sementara kapasitasnya adalah soal bayar cicilan ke tukang kredit atau membeli membeli petai.
Apapun pilihan Anda jangan pernah mendewakan sosok apapun apalagi kelompok atau organisasi yang berafiliasi dengan kekuatan politik. Ingat tidak ada aksi yang gratis. Mereka melakukan hal harus dilakukan untuk meraih kekuasaan.Â
Ingat, legitimasi terhadap kekuasaan berada ditangan Anda. Sehingga jadilah cerdas.
Jangan pernah tunjukkan dukungan Anda kepada siapapun sampai ke kotak suara. Jika itu Anda lakukan maka akan membuat para politisi stress. Jangan biarkan polling membaca arah suara Anda.
Biarkan para pencari kekuasaan mengeluarkan amunisinya memenangkan dukungan Anda. Tapi jangan pernah membiarkan diri Anda mereka kendalikan. Tentukan pilihan Anda dengan hati.Â
Intinya  jangan pernah mau menjadi mainan para pelaku politik yang kemudian Anda bela mati-matian. Nyatanya mungkin mereka sedang bercanda ria di sebuah kafe di Senayan City, misalnya, saat Anda sedang bertarung berdarah-darah di media sosial dengan  sahabat, keluarga atau orang yang tidak  Anda kenal. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H