Banyak dari kita yang kaget dengan kejadian pemboman tiga gereja di Surabaya yakni di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan di Jalan Arjuno, dan Gereja Kristen Indonesia Diponegoro 146 di Jalan Raya Diponegoro. Â Berdasarkan informasi dari Pihak Kepolisian jumlah korban tewas dari ledakan bom tersebut sudah mencapai 11 orang. Sementara untuk korban yang luka-luka sebanyak 41 orang.
Lalu aktivitas di media sosialpun ramai. Ada pihak yang yang menghujat otak pelaku teror tersebut. Tapi tidak sedikit juga yang masih menganggap hal tersebut sebagai settingan pihak tertentu untuk pengalihan isu.
Tentu saya tidak ingin membahas apakah peristiwa itu nyata atau settingan, kemudian mengaitkannya dengan konstelasi politik yang sedang menghangat. Tapi saya ingin mengajukan pertanyaan dasar, siapakah yang patut bertanggung jawab atas kejadian tersebut?
Mungkin kita akan dengan mudah menuding pihak terorislah yang menjadi pelaku atau juga pemerintah karena lengah. Namun saya ingin bergerak lebih jauh dengan mengutip pendapat seorang filsuf Emmanuel Levina asal Prancis ( 1906 -- 1995). Ia menyebutkan dalam bahasa interpretasi bebas saya bahwa dalam setiap wajah orang yang kita tatap terdapat tanggung jawab bagi diri kita untuk tidak melakukan kekerasan padanya. Dalam wajah manusia terdapat ketelanjangan yang hakiki dan pada saat bersamaan mengandung ekspresi ilahi yang menuntut kita untuk tidak boleh membunuh.
Dalam sebuah pemikiran filosofis dikatakan bahwa pemahaman ontologis dari segala sesuatu di sekitar kita menjadi sebuah problematis, apalagi memahami diri kita sendiri yang menjadi pusat kesadaran. Ketika Anda tidak bisa memahami diri Anda maka tidak adil rasanya jika Anda kemudian mampu menjelaskan esensi kehidupan orang lain. Sehingga menurut Levinas, pendekatan interaksi terhadap yang lain (other) bukanlah pendekatan ontologis melainkan etis. Â
Jadi bergerak dari pemahaman tersebut, seringkali kali kita dengan naif mengatakan bahwa kita tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap orang lain. Bahwa itu adalah tugas pemerintah, lembaga sosial atau siapapun.Â
Kita lupa kehadiran orang lain dalam kehidupan kita selalu menorehkan kewajiban etis. Hal yang sering terjadi kita memahami manusia layaknya benda yang kita miliki. Kita memelihara dan menganggapnya bernilai karena "itu adalah milik saya". Begitu relasi kita dengan orang lain,"Ia bukan bagian dari saya maka saya tidak bertanggung jawab atas dia". Sehingga relasi yang kita bangun adalah relasi kepemilikan.
Sehingga dalam konteks demikian setiap orang yang menyatakan pendapatnya di media sosial, baik itu yang mengutuk atau membela teroris, memiliki dosa yang sama. Karena mereka memilih tidak mengambil tanggung jawab etis terhadap setiap orang lain di sekitar mereka.
Pertemuan etis akan membuat seseorang akan bertatap muka dengan seseorang dalam visi transedental. Seorang pejahat yang paling kejam tidak akan mampu membunuh seseorang yang ia kenal dengan baik. Ia menghayati hubungan tersebut secara kompleks, mendalam dan tak terpahami. Â
Lahirnya teroris itu bukanlah sebuah peristiwa tiba-tiba. Mereka adalah orang yang mungkin berada disekitar Anda. Mereka mungkin orang yang butuh kehadiran Anda. Mereka membutuhkan seseorang yang mengingatkan mereka bahwa ada banyak ideologi jahat yang bisa merusak pikiran mereka. Juga seseorang menghargai mereka dan mencintai mereka sehingga mereka tidak menjadi sosok yang anonim di tengah kerumunan massa.
Tapi yang terjadi, saya dan Anda memilih diam ketika orang lain mencoba meracuni pikiran banyak orang dengan ide-ide radikal baik dari internet ataupun tatap muka langsung. Kita juga diam ketika ada saudara kita yang tengah didoktrinasi oleh organisasi tertentu dan melakukan aksinya di sebelah rumah kita atau disekitar lingkungan kita.Â