Mohon tunggu...
Hendra Purnama
Hendra Purnama Mohon Tunggu... Freelancer - Seniman yang diakui negara

Penulis yang tidak idealis, hobi menyikat gigi dan bernapas, pendukung tim sepakbola gurem

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hasil Piala Dunia 2022: Belanda Tekuk Senegal 2-0, Langkah Pertama Raja Tanpa Mahkota

22 November 2022   06:20 Diperbarui: 23 November 2022   07:59 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belanda sering disebut sebagai raja tanpa mahkota. Tidak heran karena bertahun-tahun mereka menunjukkan kepada semua orang bahwa mereka memiliki semua kapasitas sebagai "raja" sepak bola. Pemain bintang, liga elit di Eropa, klub-klub yang hebat, legenda, dan yang terpenting Belanda memiliki apa yang disebut sistem permainan.

Bicara Belanda, berarti bicara tim yang menyuntikkan sebuah sistem permainan ke dalam sejarah sepak bola dunia. Sistem itu disebut total football. Taktik ini pertama dipopulerkan oleh klub Ajax Amsterdam pada tahun 1969-1973. Timnas Belanda kemudian mengadopsi gaya ini pada Piala Dunia 1974, dengan master-master semacam Johan Cruyff, Arie Haan, Johan Neeskens, atau Johnny Rep.

Total football adalah taktik permainan yang memungkinkan semua pemain bertukar posisi (permutasi posisi) secara konstan sambil melakukan pressing tinggi. Artinya, semua pemain harus bisa menjadi penyerang, pemain tengah, dan pemain bertahan, sesuai kebutuhan. Semua harus dilakukan dengan terorganisir. Satu-satunya pemain yang harus tetap di posisi adalah penjaga gawang.

Karena itu tidak heran jika kita melihat permainan Belanda di masa Johan Cruyff. Kita akan melihat pemain tengah Arie Haan malah bermain sebagai libero, atau para gelandang bertukar posisi setiap 15 menit, atau bek tengah ikut menyerang. Cruyff sendiri meski posisi resminya adalah penyerang tapi sering pindah ke sayap kiri atau kanan untuk memberi umpan.

Pada intinya, taktik ini mengharuskan tim berisi para pemain yang mempunyai skill menyerang dan bertahan yang sama bagusnya serta memiliki fisik prima untuk bisa tampil konstan selama 90 menit.

Di level klub, sistem ini berhasil luar biasa. Ajax berhasil menyabet 4 gelar juara dalam waktu setahun (1972), mencatat 46 kali menang beruntun dan hanya sekali kalah sepanjang 1971-1973. Lalu saat menjadi pelatih Barcelona, Johan Cruyff terus mematangkan sistem ini hingga melahirkan apa yang kita kenal sebagai tiki-taka. Saat Pep Guardiola menjabat pelatih Barcelona, dia memainkan tiki-taka dengan sempurna hingga mencatat pencapaian 14 gelar, dengan 179 kemenangan dan hanya 21 kali kalah selama empat tahun.

Total football memang hebat, tapi ada yang aneh terutama di level tim nasional, terutama tim nasional Belanda.

Meski jelas sistem ini berhasil menginspirasi banyak tim, namun bagi Belanda sendiri, total football seolah mengkhianati mereka. Mungkin sepanjang sejarahnya Belanda berhasil menyajikan tontonan yang memikat, mobilitas tinggi, pressing kuat, dan lain sebagainya, tapi sepak bola pada akhirnya bicara tentang gelar kemenangan dan gelar juara. Masalahnya, selama ini Belanda selalu menjadi tim yang "hampir". Mereka hampir selalu bisa mencapai putaran akhir turnamen, tapi sering kandas. Namun sekalinya berantakan, ya benar-benar berantakan

Kalau bicara gelar juara, piala yang benar-benar mereka pegang hanya Piala Eropa 1988. Sisanya tidak ada. Mereka selalu hampir, hampir, dan hampir juara. Pencapaian tertinggi Belanda di Piala Dunia adalah tiga kali runner up pada 1974, 1978, dan 2010. Sejauh ini mereka peraih runner up terbanyak di ajang Piala Dunia.

Belanda juga tidak konsisten, dan anehnya mereka seperti punya siklus kegagalan setiap tiga musim.

Misalnya. setelah jadi runner up di 1978, mereka tahu-tahu gagal lolos kualifikasi untuk Piala Dunia 1982 dan 1986.

Lalu membaik dengan lolos tiga kali beruntun di Piala Dunia 1990, 1994, dan 1998, bahkan menduduki posisi keempat di tahun 1998.Namun mendadak mereka gagal kualifikasi lagi untuk Piala Dunia 2002.

Setelah itu mereka membaik, tiga kali beruntun lolos ke Piala Dunia 2006, 2010, dan 2014. Bahkan mereka jadi runner up di 2010 dan posisi ketiga di 2014. Namun setelah itu mereka jeblok lagi dan gagal lolos di Piala Dunia 2018.

Aneh sekali. Sebagai negara yang setiap musim turnamen memiliki pemain bintang, liga elit, pelatih-pelatih hebat, sistem yang teruji, dan infrastruktur sepak bola yang mumpuni, Belanda terlalu angin-anginan. Dalam hal ini Belanda mirip Inggris yang sering dipuji sebagai negara sepak bola terbaik, memiliki liga terbaik, pemain muda terbaik dan seterusnya, tapi tidak pernah merasakan gelar juara kecuali Piala Dunia 1966.

Ini yang membuat Belanda pada setiap turnamen datang dengan rasa penasaran. Hal itu tercermin dari komentar salah satu punggawanya, Frenkie de Jong yang telah lama dikagumi banyak orang karena dipercaya sebagai penerus total football.

Pada pertandingan persahabatan melawan Peru di 2018, saat itu Belanda ketinggalan 0-1 akibat gol Pedro Aquino di menit 13'. Belanda terus berusaha menyusul ketertinggalan tapi sampai pertandingan melonjok satu jam, skor belum berubah.

Lalu masuklah Frenkie de Jong dari bangku cadangan. Dia langsung memberikan kinerja yang rapi dalam bertahan dan menyerang. Secara dinamis dia beralih secara cepat antara sweeper dan gelandang, antara melakukan tekel dan intercept dengan membongkar pertahanan lawan. Belanda akhirnya menang 2-1. Meskipun Memphis Depay mencetak dua gol, tapi nama De Jong yang kemudian dibicarakan semua orang. Begitu luar biasanya sampai Ronald Koeman menyebut penampilannya "luar biasa". Frenkie langsung disamakan dengan sosok  Franz Beckenbauer dan Xavi, dua orang "dewa" yang sempurna di lini tengah,. Para pendukung memberinya pujian tertinggi dengan mengatakan bahwa dia cocok dengan tim 'Total Football' mereka pada era 1970-an.

Kali ini Frenkie datang ke Qatar dengan membungkus rasa penasarannya baik-baik, dia mengingat memori tahun 2010 ketika dia masih anak-anak menonton Belanda dikalahkan oleh Spanyol secara dramatis di pertandingan final. "Saya mengingat Piala Dunia 2010 dengan sangat jelas. Saya mengikutinya di Belanda dari depan TV. Final yang mengecewakan, tapi menurut saya turnamen secara keseluruhan luar biasa bagi Belanda. Ini impian utama kami dan semua orang di Belanda untuk memenangkan Piala Dunia pertama kalinya. Jadi, kami akan melakukan segalanya dengan kekuatan kami untuk mencapai tujuan ini." Ujar Frenkie

Setidaknya, Frenkie membuktikan ucapannya semalam dengan menumbangkan Senegal 0-2 lewat sebuah pertandingan yang seru, cepat, dan saling serang menyerang seperti ayunan. Memang dia tidak mencetak gol, tapi diberinya satu assist pada Cody Gakpo dan satu gol lagi dicetak Davy Klaassen. Namun semua yang melihatnya tahu bahwa Frenkie adalah nyawa Belanda di lapangan tengah, bahu membahu bersma Daley Blind dan Denzel Dumfries mereka membongkar ketatnya pertahanan Senegal yang dikomandoi kiper hebat, Edouard Mendy.

Kemenangan ini merupakan langkah pertama bagi Belanda untuk meraih mahkota juara yang selama ini seolah hanya ilusi bagi mereka.

Kemenangan ini juga belum memupuskan rasa kepenasaranan Aliou Cisse, pelatih Senegal, yang datang ke Qatar dengan tekad menebus kegagalan yang aneh di Piala Dunia 2018. Seperti yang kita tahu, saat itu Senegal harus tersingkir dari Jepang di grup H karena aturan fair play. "Sangat sulit untuk mencerna apa yang terjadi di Piala Dunia lalu. Sebab, kami tersingkir karena [mengumpulkan] lebih banyak kartu [kuning] daripada Jepang!" Cisse geleng-geleng kepala jika mengingat momen tersebut.

Atas kekalahannya semalam, membuat jalan makin terjal bagi juara Piala Afrika 2021 ini, tapi Cisse masih percaya pada kekuatan anak asuhnya untuk bangkit. Dia mengatakan bahwa dibanding tahun 2018, para pemain Senegal kini lebih berpengalaman. "Mereka bermain untuk klub besar dan menjadi yang teratas dalam beberapa pertandingan penting selama empat tahun terakhir. Piala Dunia adalah tentang pengalaman." Tegas Cisse.

Dalam tekanan setelah kekalahan ini, Cisse tetap berpegang teguh pada filosofinya untuk fokus pada satu hal di satu waktu. Bukan memikirkan gambaran besar tapi menatap tugas yang ada di depan mata sekaligus berusaha menyelesaikannya sebaik mungkin. "Target pertama kami adalah lolos dari grup ini. Setelah itu, kami akan berada di babak gugur, dan kami memiliki pengalaman yang cukup untuk meninggalkan jejak kami di kompetisi ini." Demikian tambahnya

Dengan filosofi itu, Cisse membuat Senegal memiliki progress yang konsisten di Piala Afrika. Setelah hanya mencapai perempat final di 2017, meningkat jadi runner up di 2019, dan terakhir jadi juara di 2021. Maka dengan filosofi itu juga bukan tidak mungkin Senegal yang terhenti di babak grup 2018 akan memiliki progress yang membaik di 2022, dan untuk itu kini Senegal mesti mengatasi perlawanan tuan rumah Qatar di pertandingan berikutnya.

Sementara bagi Belanda, kemenangan ini membuat jalan terbuka makin lebar, mungkin tahun ini mereka akan melepaskan status "Raja Tanpa Mahkota" nya dengan genggaman piala dunia di tangan. Siapa tahu? []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun