Mohon tunggu...
Hendra Purnama
Hendra Purnama Mohon Tunggu... Freelancer - Seniman yang diakui negara

Penulis yang tidak idealis, hobi menyikat gigi dan bernapas, pendukung tim sepakbola gurem

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Hasil Piala Dunia 2022: Qatar Ditekuk Ekuador 0-2, Qatar Gagal Menebus Dosa

21 November 2022   05:42 Diperbarui: 23 November 2022   08:01 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum pertandingan dimulai, kapten Qatar, Hassan Al Haydos mengatakan bahwa menjadi kapten tim nasional adalah mimpi yang menjadi kenyataan, dan menjadi tuan rumah Piala Dunia pertama di negara Arab membuatnya bangga.

Pernyataan yang bagus, tapi pertanyaannya: apakah memang benar secara penyelenggaraan, bahkan jika dilihat secara teknik permainan saja, masih ada yang bisa dibanggakan dari Qatar?

Tidak kurang-kurangnya mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, mengatakan keputusan untuk memberikan tuan rumah putaran final Piala Dunia 2022 kepada Qatar adalah sebuah "kesalahan". Ada apa ini? Seperti yang kita tahu, pada 2010 silam, Komite Eksekutif FIFA melakukan pemungutan suara yang berakhir dengan skor 14-8 untuk Qatar, mengungguli Amerika Serikat. Pemungutan suara ini dituding kental dengan konspirasi dan kolusi. Setidaknya ada tiga nama yang saling tunjuk yaitu Blatter, Platini, dan Nicolas Sarkozy. Meski Platini menampik tudingan itu, tapi dari sini sudah mulai muncul bibit-bibit tidak enak yang mengiringi event ini.

Dalam wawancaranya baru-baru ini Sepp Blatter juga mengatakan bahwa Qatar terlalu kecil untuk event sebesar Piala Dunia. Pernyataan ini logis, karena secara luas wilayah, jika dihitung sejak Piala Dunia 1954, Qatar memang menjadi negara penyelenggara dengan luas wilayah terkecil. Lalu bukan cuma soal wilayah, ternyata Qatar juga belum siap secara infrastruktur. Buktinya, menyambut Piala Dunia saat ini pun mereka langsung membangun lima stadion baru, sekaligus merenovasi stadion yang sudah ada.

Masalahnya, sejumlah kritik pun mengiringi proses pembangunan infrastruktur ini; yang paling kental adalah dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia para pekerja migran. Disinyalir, banyak korban tewas dari para pekerja yang membangun stadion. Sampai ada yang mengatakan bahwa La'eeb—maskot resmi Piala Dunia 2022—sebenarnya adalah simbol arwah para pekerja; yang jumlahnya pun sampai saat ini masih simpang siur. The Guardian pada Februari 2021 mengklaim 6.500 pekerja tewas, tapi pemerintah Qatar membantah klaim tersebut dengan menyodorkan catatan resmi yang hanya menyebut 37 kematian pekerja di lokasi konstruksi stadion Piala Dunia sepanjang 2014-2020. Dari 37 kasus itu kabarnya cuma 3 kasus saja yang diakui 'terkait pekerjaan'.

Meski tidak pernah muncul angka yang spesifik, bahkan sampai ada tudingan balik bahwa isu-isu ini hanya dibuat oleh media barat untuk menganaktirikan Qatar, tapi tak urung berita ini membuat banyak pemain dan pelatih concern pada apa yang terjadi di Qatar, dan mengeluarkan komentar.

Salah satunya adalah Bruno Fernandes,  gelandang Portugal itu menilai Piala Dunia 2022 digelar dalam momen yang tidak tepat, serta merugikan banyak pihak. "Kami tahu suasana Piala Dunia, apa yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir, beberapa bulan terakhir, tentang orang-orang yang tewas dalam pembangunan stadion. Kami sama sekali tidak senang tentang itu," ujarnya.

Senada dengan Fernandes, pemain Jerman, Antonio Ruediger juga mengutarakan kegeramannya. Ia menilai, digelarnya Piala Dunia 2022 di Qatar bukan semata demi kepentingan penggemar dan pemain, melainkan untuk uang. "Menghadiahkan mereka [Piala Dunia] bukanlah keputusan yang dibuat untuk para penggemar dan para pemain. Itu menunjukkan uang memainkan peran penting dalam dunia sepak bola," kata Ruediger

Melihat dan mendengar banyak suara-suara miring dari luar sana, rasanya tidak ada yang bisa dilakukan oleh juara Piala Asia 2019 ini kecuali mereka harus memenangkan pertandingan pertama.  Hal ini penting untuk memperoleh lagi kepercayaan publik sekaligus menunjukkan pada semua haters bahwa Qatar layak tampil di ajang sekelas Piala Dunia.

Felix Sanchez, Pelatih Qatar sudah menjanjikan sebuah permainan tingkat tinggi. "Sulit membayangkan kami bisa menjuarai Piala Asia, tetapi kami melakukannya pada 2019. Saya tidak mengatakan kami akan memenangi Piala Dunia, tetapi kami akan menampilkan performa level tertinggi." Demikian janjinya. Optimisme ini meninggi sebab dalam pertemuan uji coba terakhir melawan Ekuador, Qatar bisa menang dengan skor 4-3.

Namun, Gustavo Alfaro, Pelatih Ekuador tidak mau kalah. Dia juga menyemangati timnya dengan bertanya, "Apakah kalian hanya ingin ambil bagian di satu Piala Dunia, atau kalian ingin menunjukkan yang paling terbaik dari Ekuador?" tegasnya!

Maka tadi malam, dengan suntikan semangat dan motivasi yang berbeda-beda, Qatar dan Ekuador memasuki lapangan. Mereka berdua ingin menang. Ekuador dengan motivasi ingin menunjukkan yang terbaik dari mereka, setelah babak belur di kualifikasi dengan hanya mampu bercokol peringkat 4 kualifikasi CONMEBOL. Sementara Qatar turun ke lapangan dengan motivasi ingin membayar lunas haters-haters itu dengan sebuah prestasi.

Lalu motivasi lainnya adalah: siapapun yang menang di pertandingan pertama akan makin membuka peluang lolos ke babak berikutnya, apalagi mereka berdua satu grup dengan Belanda yang diprediksi akan jadi juara grup. Jadi kekalahan di pertandingan pertama berarti jalan makin terjal.

Qatar kalah di semua lini/dok. The US Sun
Qatar kalah di semua lini/dok. The US Sun

Namun hasilnya, ternyata harus diakui jika Qatar memang masih kalah jauh dari Ekuador. Baik dari organisasi permainan atau teknik individu. Ekuador unggul di semua lini, bahkan Qatar sama sekali tidak bisa melepaskan tembakan on target. 

Pemain-pemain Qatar tampak gugup jika diserang. Mereka juga gagap jika melihat crossing-crossing sayap.  Terbukti gol kedua dari Enner Valencia, dan satu gol yang dianulir berasal dari crossing akurat. Dalam hal ini kredit khusus mesti dialamatkan pada Valencia, pencetak gol terbanyak untuk Ekuador dengan 37 gol dari 75 caps. Gustavo Alfaro angkat topi, "Dia sudah melewati masa-masa sulit, banyak yang mempertanyakan apakah dia masih layak bermain untuk Ekuador, tapi sekarang dia sudah membuktikannya!"

Kekalahan 0-2 dari Ekuador ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Karena secara umum, Qatar memang tidak pernah mendapatkan hasil baik jika melawan negara-negara CONMEBOL. Tercatat mereka sama sekali belum pernah menang saat bertemu Argentina, Brazil, Chile, Colombia, dan Peru. Lalu baru sekali menang dari Ekuador dari empat kali bertanding, begitu juga lawan Paraguay baru sekali menang dalam empat kali pertemuan.

Maka dengan kekalahannya ini, Qatar menjadi tuan rumah pertama yang kalah di pertandingan pembukaan Piala Dunia. Lebih jauh dari itu, Qatar gagal mengembalikan lagi kepercayaan publik. 

Melihat statistik dan hasil akhir pertandingan ini, malah makin banyak orang yang percaya bahwa paling tidak secara kesebelasan, Qatar belum layak ada di turnamen sekelas Piala Dunia. Felix Sanchez dengan wajah geram pun mengomentari kekalahan anak asuhnya, "Kami punya banyak hal yang harus diperbaiki, kami memulai turnamen ini dengan buruk, ada ketegangan dan beban berat di pundak yang membuat kami bermain seperti ini." ujarnya.

Ya, bisa jadi Sanchez benar. Memang Qatar semalam bermain dengan beban yang luar biasa. Beban untuk menebus dosa, mengembalikan nama baik negara di hadapan seluruh dunia. Sayangnya, mereka gagal, dan harus menebusnya di pertandingan kedua lawan Senegal. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun