Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Gadget Menjadi "Digital Narkoba"

8 Maret 2019   20:37 Diperbarui: 8 Maret 2019   20:54 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Satu keluarga makan siang bersama di food court. Selagi menunggu makanan, orang tua sibuk main ponsel, sementara anak yang berumur sekitar lima tahun juga tidak kalah sibuk main tablet. Setelah makanan datang, mereka tetap sibuk dengan gadget masing-masing sembari makan.

"Namanya juga keluarga jaman now" saya pikir waktu itu. Sekarang sebagai bapak yang bekerja penuh waktu dengan dua anak kecil, paling saya cuma menghabiskan tiga jam lebih bersama mereka dalam sehari.

Setelah makan malam dan pekerjaan rumah selesai, sebagian keluarga balik ke gadget masing-masing hingga waktu tidur. Orang tua manapun setuju menghabiskan waktu bersama anak jauh lebih berharga ketimbang gadget dan kebanyakan dari kita setuju bahwa baik buruknya gadget tergantung pengguna.

Namun mengapa banyak sekali kasus seakan-akan orang tidak bisa lepas dari gadget?

Contoh: selfie di tempat bahaya biar viral mengejar Likes  (wikipedia.com), menyetir sambil main ponsel, merasa gelisah ketika menunggu antrian lima menit saja tanpa mengecek ponsel, merasa kosong ketika internet lagi down, bingung mau ngobrol apa ketika kumpul sama teman akhirnya semua merunduk sibuk dengan gadget sendiri, hingga bereaksi keras ketika dilarang main game (battamnews.co.id). Tidak berlebihan Dr Nicholas Kardars dalam bukunya "Glow Kids" menyimpulkan 'screen time' ibarat menghirup Digital Heroin.

Hasil scan otak anak yang kecanduan gadget sama dengan pecandu narkoba (nypost.com) sama sekali bukan kebetulan. Mantan product manager Google, Tristan Harris, mengaku apps, sosial media dan gadget memang sengaja dirancang addiktif dengan mempelajari cara Kerja otak agar users menghabiskan waktu selama mungkin. Bahkan Harris mengklaim lebih jauh lagi bahwa teknologi telah membajak dan membentuk pikiran kita   (cbsnews.com).

Jadi maklum kalau para pekerja Silicon Valley (markas Facebook dkk) justru sengaja menunda anak mereka memakai teknologi selama mungkin karena mereka tahu persis apa yang masuk dalam racikan produk mereka. (businessinsider.com.au).  Sama halnya pendiri Microsoft dan Apple, Bill gates dan mendiang Steve Jobs, yang terkenal membatasi penggunaan teknologi dalam keluarga masing-masing.

Fakta bahwa orang dalam menghindari gadget dan apps yang mereka ciptakan sendiri seharusnya menjadi peringatan keras kita semua.

Kalau orang dewasa dengan prefrontal cortex (bagian otak yang mengatur fungsi eksekutif seperti membuat keputusan, mengerem perilaku impulsif) yang sudah berkembang penuh seperti saya saja suka gatal ingin mengecek ponsel pada jam kerja, bagaimana dengani otak anak Kecil yang masih berkembang?

Digital Vegie Vs Digital Candy

Saya tidak menyarankan kita balik ke jaman batu. Saya juga tidak menampik manfaat positif teknologi lewat gadget. Pertama kali dalam sejarah manusia, urusan perbankan, edit foto, video, chatting, baca berita, cari informasi semua dalam genggaman tangan.

Orang tua acap kali dengan maksud baik memperkenalkan gadget ke anak sejak dini biar melek teknologi dan kelak bisa bersaing dalam era digital. Padahal insiyur Silicon Valley sengaja mendesain apps agar mudah sekali dipakai end users. Buktinya ibu mertua saya jago main Facebook, mama saya juga lancar saja main WhatsApp. Lain cerita kalau mau jadi creator seperti Yuma Soerianto, coder asal Melbourne berusia sebelas tahun, yang mengaku belajar coding sejak umur enam tahun karena merasa PR sekolah kurang menantang (news.com.au).

Jadi bagaimana menjlain hubungan sehat dengan gadget?

Dr Kardash dalam "Glow Kids" membedakan antara "Digital Vegie" dan "Digital Candy".  

Digital Vegie ibarat makanan sehat dimana gadget digunakan secara sadar untuk meningkatkan kualitas hidup offline seperti melakukan research, email urusan kerja, educational video bertema 'how to' (belajar coding, bahasa asing, memasak, kerajinan tangan, membuat perabot atau memecahkan masalah) dan video call dengan keluarga jauh ketika bertemu langsung tidak memungkinkan.

Sementara Digital Candy lebih bertujuan mencari adrenalin hits karena merasa bosan, hidup tidak ada tujuan jelas sehingga menjadikan dunia online sebagai pelarian. Contoh Digital Candy: sexting, hyper texting, kompulsif gaming, browsing internet terus menerus tanpa tujuan, mencari validasi sosial lewat sosmed.

Sebagai orang tua dengan dua anak kecil saya sendiri merasa hampir mustahil menghindari Digital Candy selamanya. Kadang saya memberi tablet ke anak (nonton Peppa Pig) agar tenang diam ketika mengguntingkan kuku atau ketika kami sibuk membereskan rumah. Untuk menyiasatinya, kita tegaskan main gadget hanya sekali-kali layaknya permen dan tidak boleh melewati batas waktu yang ditentukan.

Selain itu kita mengasosiakan gadget sebagai alat penunjang belajar (bukan utama karena otak anak kecil lebih riskan adiktif digital) dan komunikasi (video call dengan keluarga di Indonesia). Misalnya, putri saya tidak mengerti mengapa dinosaurus punah meski saya sudah jelaskan panjang lebar. Saya buka ayoutube, kasih lihat bagaimana jutaan tahun lalu meteor menghantam bumi, hemburan asap menutup atmospher hingga memusnahkan kehidupan.

Bagaimana dengan orang tua? Kalau Anda orang tua, tinggalkan gadget di meja belajar atau kerja ketika sampai rumah atau matikan saja kalau bisa. Percuma memberi Digital Vegie ke anak kalau orang tuanya sendiri hobi Digital Candy. Orang tua yang sibuk dengan gadget sendiri secara tidak langsung mengkomunikasi kepada anak: "kau tidak penting", "main handphone lebih asyik daripada sama kau". Mungkin karena itu wajar anak jaman sekarang lebih resah kehilangan gadget ketimbang orang tua.

Menurut hasil survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, 90% masyarakat Indonesia mengakses internet untuk chatting diikuti sosmed (kompas.com). Survei yang sama juga mengungkap 29.63% masyarakat Indonesia mengakses internet selama 4-7 jam (kompas.com). Angka tersebut sangat mungkin semakin meningkat tiap tahun.

Waktu tidak akan pernah kembali lagi. Orang tua yang kecanduan gadget suatu hari akan menyesal ketika anak beranjak dewasa pergi meninggalkan rumah memulai hidup mereka masing-masing karena tidak menikmati momen bersama ketika ada kesempatan. 

Generasi muda berisiko membunuh masa depan sendiri karena kecanduan digital narkoba. Tiongkok menjadi negara pertama yang secara resmi menamai 'kecanduan online' sebagai gangguan klinis dan mendirikan kamp rehabilitasi untuk para remaja yang kecanduan (theguardian.com).

Indonesia menetapkan hukuman mati bagi pengedar narkoba karena efek hancurnya yang sangat dahsyat. Semoga kita semua bisa berkata "Say No to Digital Narkoba".

Hendra Makgawinata
Sydney, 09/03/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun