Mohon tunggu...
hendra
hendra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Business Law

Mahasiwa Business Law Binus berorganisasi di ILSA BINUS sebagai kepala kajian dan publikasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negara Kecil Oseania Bisa Apa?

13 Oktober 2020   14:48 Diperbarui: 13 Oktober 2020   14:51 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini banyak sekali perbincangan yang sering dibicarakan soal pelanggaran HAM Indonesia terhadap rakyat papua baru-baru ini diplomat Indonesia melakukan "penghinaan" terhadap Vanuatu yang menjadi topik sangat hangat diperbincangkan di Indonesia. 

Komentar-komentar negatif terhadap negara kecil di Samudra Pasifik ini berdatangan dari Indonesia sejak berlangsungnya Sidang Umum PBB pada Sabtu 26 september lalu. Apa saja yang menjadi masalahnya?

Pada sesi ke-75 Sidang Umum PBB yang berlangsung pada 26 September 2020, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman angkat suara mengenai investigasi pelanggaran HAM di Papua Barat yang belum juga berjalan.

Dalam pidatonya, Bob mengingatkan Indonesia akan desakan yang dilayangkan Pacific Island Forum: segera mengonfirmasi waktu kunjungan Komisioner HAM PBB untuk menyelidiki dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Papua Barat.

Hal ini menyebabkan diplomat muda Indonesia mengatakan "Anda bukan representasi orang Papua berhentilah berfantasi menjadi satu," katanya.

Setelah sidang tersebut, berita-berita dengan konten yang menjatuhkan Vanuatu pun bermunculan. Kata-kata tidak seonoh dan merendahkan Vanuatu seperti "sok tahu dan ikut campur", "negara kecil yang tidak ada apa-apanya", sampai "negara miskin" menghiasi isi komentar terhadap Vanuatu yang dibanjiri orang Indonesia melalui akun instragram pariwisata Vanuatu dengan penuh kebencian, dan juga mengaitkan warna kulit dan perawakan rakyat Vanuatu. 

Komentar seperti "dekil" dan "burik" bertebaran di kolom komentar hingga Serangan ini menyebabkan akun pariwisata Vanuatu menutup kolom komentarnya hingga kini.

Rakyat Indonesia yang berkomentar untuk menyerang Vanuatu karena menggap negara nya kecil dan akan mundur dalam sekali gertak,pikiran semacam ini memang sangat mudah disimpulkan bagi masyarakat Indonesia yang berkomentar di media sosial.

Bahkan komentar dari negara-negara besar lainnya karena negara kecil atau negara di benua oceania lainya sampai saat ini masih bergantung terhadap negara koloni hingga kerap kali mengharuskan patuh terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh Negara koloni sebab Negara-negara ini belum mampu memenuhi kesejahteraan rakyatnya dan membuat negaranya berdaulat. 

Negara-negara kecil ini masih sangat membutuhkan bantuan negara-negara koloni baik kebutuhan kemanusiaan maupun militer.Permasalahan umum yang dihadapi oleh Negara-negara teritori adalah akses terhadap dunia luar yang sulit sebab wilayahnya terpencil dan akses informasi yang minim akibatnya kegiatan ekonomi sulit untuk terlaksana dengan baik. 

Selain masalah perekonomian, Jumlah penduduk yang berpendidikan rendah yang belum mampu membawa Negara-negaranya kearah yang lebih baik. 

Ketersediaan lahan yang terbatas, tidak adanya rute atau bandara yang tersedia,sehingga kegiatan pariwisata yang menjadi sumber pendapatan terbedar negara tersebut menjadi terhambat.

Mungkin para pemberi komentar dari Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa mereka sudah bersikap diskriminatif, dan berbuat rasis. Hujatan-hujatan macam itu umumnya datang dari sikap primodialisme atau bisa disebut nasionalisme berlebihan.Masalah rasisme memang telah mengakar kuat di Indonesia. Semua orang menyadari dan mengetahuinya. 

Namun, banyak dari kita memilih untuk mengacuhkan atau bahkan membantahnya apalagi jika rasisme itu ditujukan terhadap kelompok yang lebih lemah.

Bahkan juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah yang menanggapi fenomena ini dengan pernyataan bahwa mayoritas bangsa Indonesia memegang teguh antirasialisme sebuah pernyataan yang berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada bahkan Teuku Faizasyah juga mengatakan vanuatu tidak tahu apa-apa dan dilarang untuk campur tangan terhadap masalah papua.

Sebenarnya negara-negara kecil yang terletak di Kawasan Pasifik Barat Daya berada diantara tiga benua yaitu Asia dan Australia di bagian timur serta Amerika sebelah barat sebenarnya memiliki banyak potensial dan kekuatan yang tidak diketahui banyak orang.

Posisinya yang strategus diantara beberapa benua otomatis menjadikannya sebagai jalur perdagangann yang ramai. Kenyataan ini ditunjang oleh pesatnya perkembangaan industri dan tingkat konsumsi masyarakat Asia, Australia dan Amerika. 

Potensi lainnya adalah ada sekitar 25.000 pulau yang terbesar dangan berbagai ukuran mulai dari pulau berukuran besar, berukuran kecil, pulau-pulau pulcano, atol yang dikelilingi karang hingga limestone yang bermaanfaat sebagai sumber air dan memiliki sumber mineral. 

Kondisi ini secara geopolitik dan geostrategis dikategorikan ke dalam wilayah terbuka yang menyerupai teater. Dari titik inilah, kawasan ini mendapat julukan "Teater Pasifik"

Bahkan china pun mulai melobi negara-negara di oseania karena banyak pulau di Pasifik Selatan kaya dengan sumber daya seperti kayu, mineral, dan ikan. Sejak tahun 2011, China telah berinvestasi lebih banyak di Papua Nugini, yang merupakan tempat asal bagi sumber daya alam emas, tambang nikel, gas alam cair, dan hutan kayu daripada tempat lainnya di Kepulauan Pasifik.

Kekuatan diplomatik yang dimiliki negara oseania juga mulai dimanfaatkan China untuk dijadika "teman" dalam menghadapi masalah Taiwan, yang diklaim pemerintah China sebagai wilayah kedaulatannya. Hanya 16 negara dan Takhta Suci Vatikan yang secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, sementara enam negara di antaranya berada di Pasifik Selatan. Selama bertahun-tahun, China telah berusaha untuk memenangkan aliansi dari para sekutu Taiwan yang tersisa dan mendorong mereka untuk menerima prinsip "Satu China."

Dari enam negara itu, tiga di antaranya memiliki ikatan kuat dengan Amerika Serikat, yang memiliki hubungan sebagai "hubungan tidak resmi yang kuat" dengan Taiwan, sebuah pulau semi-otonom dengan penduduk 23,5 juta jiwa.

Taiwan pun juga tidak mau kehilangan "teman" di PBB Taiwan mulai berinvestasi di Pasifik Selatan. Taiwan telah menghabiskan US$215,87 juta antara tahun 2011 dan 2017, dibandingkan dengan US$1,21 miliar dari China

Papua Nugini, negara tempat Taiwan dan China berinvestasi, menurunkan kualitas hubungan diplomatiknya dengan Taiwan pada tahun 2018, yang menurut Taiwan disebabkan oleh tekanan dari China.

Ada alasan lain mengapa China menginginkan negara Kepulauan Pasifik berpihak padanya. Meskipun seluruh populasi dari 14 negara di Kepulauan Pasifik memiliki ukuran yang sama dengan sebuah kota di China, China masih memiliki kekuatan suara yang sama dengan Kepulauan Pasifik di Majelis Umum PBB,negara-negara Kepulauan Pasifik dapat menjadi teman yang kuat meskipun ukurannya kecil.

Dalam hal ini Indonesia Indonesia harus menjaga baik hubungan diplomatik dengan negara-negara Pasifik karena untuk menjaga kestabilan regional wilayah Pasifik.Dan strategi yang diterapkan Indonesia dalam kaitan dengan politik luar negeri di wilayah tersebut adalah meningkatkan kerjasama, mendorong peningkatan people to people interaction, dan meningkatkan peran beserta kepemimpinan Indonesia. Hubungan yang menarik adalah hubungan Indonesia-Vanuatu karena bersifat love-hate relationship. Sementara hubungannya dengan negara-negara lainnya di wilayah Pasifik relatif baik-baik saja meskipun ada ketegangan yang terjadi namun hal tersebut tidak berpengaruh besar terhadap Indonesia.

Pada era ini tidak menutup kemungkinan rivalitas antara Cina dan Amerika Serikat yang nantinya akan merusak stabilitas regional wilayah Pasifik yang membuat isu yang-isu serta dapat mengganggu kestabilan dapat lahir dari sumber-sumber konflik berupa kerawanan ekonomi, masalah etnis, dan dekolonisasi. Oleh karena itu Indonesia harus melakukan diplomasi secara lebih efektif lagi serta Indonesia wajib menghormati desakan dari negara-negara "kerdil" untuk mengembangkan lebih luas program harmonisasi permasalahan HAM dan kerja sama ekonomi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun