Mohon tunggu...
Hendra Kumpul
Hendra Kumpul Mohon Tunggu... Lainnya - Ro'eng Koe

Sedang Belajar Menulis ndakumpul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Koja untuk Bupati Manggarai

18 Mei 2020   16:44 Diperbarui: 18 Mei 2020   16:43 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nenek penjual koja. Kompas.com

Siang itu bersama seorang teman, saya melepas penat dengan berjalan-jalan di Kota Ruteng, Manggarai, Flores. Tak seperti biasanya, kali ini Ruteng sepi. "Ulah covid-19", gumam saya dalam hati. 

Kendaraan tak lagi hilir-mudik seperti biasanya. Toko-toko lebih banyak yang tutup. Pasar pun sepi. Suara kondektur bemo tak lagi terdengar nyaring. Bahkan, hanya terlihat satu-dua bemo angkutan kota yang masih hilir mudik mencari penumpang. Kemacetan kecil-kecilan di ruko dan depan Katedral Lama, khususnya di siang hari tak lagi dijumpai.

Biasanya di siang hari seperti ini Ruteng ramai. Anak-anak sekolah dari SD hingga SMA beramai-ramai pulang sekolah. Ada yang berjalan kaki. Ada pula yang berkendaraan entah dijemput oleh orangtua atau numpang kendaraan angkot.

Saat-saat pulang sekolah seperti ini menjadi momen cuci mata yang menawan. Anak-anak SMA, khususnya enu-enu (sebutan bahasa Manggarai untuk anak gadis) berseliweran di jalan. Senyuman mereka yang apik ditambah wajah mungil yang bening menampilkan aura kecantikan yang hakiki, sontak membuat mata tak berkedip menatap. Apalagi jika mereka menyerocos dengan logat Ruteng yang khas, semisal, "iyakaa...saya tir pernah pergi ke situ e.." Enak sekali didengar.

Di sebuah toko ketika hendak membeli barang pesanan, seorang nenek tergopoh-gopoh menawarkan koja (kacang tanah) rebus kepada saya dan teman saya. Di belakangnya, seorang bocah menguntit sambil menggendong sebuah keranjang dengan koja yang telah diplastikkan di dalamnya. Lantang, ia menawarkan kojanya, "Koja...koja..koja.."

"Nana, toe weli Koja it?" (Anak muda, apakah ingin membeli koja?) Tawar sang nenek kepada saya sambil menyodorkan seplastik koja yang telah direbus.

"Pisa ca plastik ende?"(Berapa harga satu plastik nenek?"), tanya saya.
"Cepuluh sebu nana." (Sepuluh ribu rupiah, anak muda), jawab sang nenek.

Karena sudah lama tak pernah makan koja, saya membelinya. Apalagi aromanya cukup menawan. Ditambah perut telah lama berbunyi.
Setelah memakan sekitar sepuluh butir koja, sang nenek kembali menawarkan kojanya. 

"Nana, asa ngoeng weli tamba" ("Anak muda, apakah ingin beli lagi?").
Ternyata sang nenek tak beranjak dari kami berdua sejak tadi. Kami terlalu lahap memakan koja, sehingga keberadaan sang nenek tidak terlalu diperhatikan. Mungkin dengan alasan yang sama, sang nenek menawarkan koja kepada kami.

Namun sebelum membelinya, saya sedikit berbasa-basi dengan iming-iming sang nenek bermurah hati menurunkan harganya atau memberikannya secara gratis.

"Oe ende, ngong seber dite pika koja so e. Mesek tua tite ge?" ("Aduh nenek, engkau sangat rajin. Sudah tua begini masih menjual kacang tanah?") tanya saya dengan nada seramah mungkin.

"Cop kawe mose taaa nana reba." ("Begini sudah cari hidup") jawab sang nenek dengan enteng.
"D ende daku ga yo...toe kat jera roeng dite pika?" ("Sa pu nene ni, tida mau suruh anak-anak untuk jual?"
"Sibuk gu kerja gu sekolah ise e nana", ("Mereka sibuk sekolah dan kerja anak muda") jawab sang nenek dengan semringah.

Percakapan berhenti sebentar. Koja yang dibeli tadi tinggal beberapa butir. Teman saya langsung melahapnya. Daripada sang nenek beranjak, saya kembali membuka percakapan.

"Eng ta ende, one pisa keta puung pika koja teneng it?" ("Sejak kapan nenek berjualan kacang tanah rebus?")
"Du masa bupati d Gaspar Ehok danong g nana." ("Sejak Bupatinya Gaspar Ehok, anak muda."), sahut sang nenek.

Rasa kaget dan terkejut bercampur aduk dalam kepala saya. Ternyata sang nenek ini telah lama menjajakan kacang tanah rebus. Alm. Bupati Gaspar Ehok saja memerintah Kabupaten Manggarai pada awal tahun 1990-an. Itu berati sudah 20-an tahun lebih sang nenek menjajakan kacang tanah rebus.

"Ole ende, kali nais dite pika koja g ende. Eme neho tae d anak uwa weru ho ga, lamung tite g...hehehe" ("Ternyata nenek sudah lama menjual koja e. Kalau bahasa anak Manggarai zaman now, su berlumut e..hehehe"), kata saya mencoba berguyon dengan sang nenek.
"Htup kta bo gta nana...hhhhh" (Itu suda k anak muda..hhhh)  jawab sang nenek sambil ketawa.

Kemudian saya menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah untuk membeli kembali seplastik koja. Sang nenek menolak uangnya, tapi memberikan kojanya. Namun, saya tetap getol memberikan uang. Sang nenek juga dengan getol menolaknya. Akhirnya, saya mengalah sambil menerima seplastik koja pemberiannya. Dalam hati, saya merasa senang karena dapat koja gratis.

Hujan pun turun dengan deras. Sambil menunggu redanya hujan, saya dan sang nenek penjual koja larut dalam percakapan. Kali ini, sang nenek menceritakan tentang awal mulanya ia berjualan koja. 

Waktu itu, katanya, untuk membiayai dua orang anak yang bersekolah. Setiap hari, ia tak jemu-jemunya merebus koja pada dini hari dan menjualnya pada pagi hingga sore hari. Adakalanya semua kojanya laku terjual. Adakalanya juga tidak semuanya terjual. Namun, ia tetap tekun dan telaten untuk merebus dan menjajakan koja.

Untungnya jerih payahnya berbuah hasil yang memuaskan. Kini, kedua orang anaknya bekerja sebagai pegawai perkantoran di Kota Ruteng.
Dari cara bicara dan pancaran matanya, saya sungguh yakin sang nenek bercerita benar.

"Eng p ende, toe kat emo pika koja ho ga. Ai sukses taung anak dite ge" ("Kenapa tidak berhenti saja menjual kacang tanah rebus, sebab kedua anaknya nenek sudah sukses?")

"Ta nana, toe d dian oke kerja ata pande mose ite. Neka neho kope hot hemong bakon. Nganceng mbele ata laing" ("Aduh anak muda, tidak baik membuang kerja yang sudah menghidupi kita bertahun-tahun. Jangan seperti parang yang lupa sarungnya, bisa membunuh orang"), jawab sang nenek pelan.

Guyuran hujan sudah mereda. Sang nenek pamit untuk kembali menjajakan kojanya. Namun sebelum itu, saya mengambil dua kantong plastik koja rebus untuk dibawa ke rumah. Ketika saya menyodorkan selembar dua puluh ribu, sang nenek menolaknya. Ia berjalan di emperan tokoh, dengan suara yang kecil, ia menawarkan kojanya kepada setiap orang, "Koja...koja tenang" ("Kacang tanah...kacang tanah rebus").

Seperginya sang nenek, saya dan teman saya juga beranjak ke rumah. Di atas motor, saya merenungkan kembali kata-kata terakhir sang nenek, tidak baik membuang pekerjaan yang sudah menghidupi kita bertahun-tahun. 

Penyesalan dan refleksi pun berkecamuk dalam kepala saya. Betapa saya telah menyia-nyiakan pekerjaan saya atau tidak tekun dan setia pada pekerjaan yang diembankan kepada saya. Betapa saya sering menjadi orang yang cepat puas pada pekerjaan. Pokoknya banyaklah refleksi saya tentang kata-kata terakhir sang nenek dengan saya.

Namun, ada satu kisah menarik yang saya dapati dari kisah sang nenek tadi. Ia telah menjajakan koja rebusnya di Kota Ruteng selama dua puluhan tahun dan di masa bupati yang berbeda-beda. Mulai dari alm. Gaspar Ehok, Anthon Bagul, Christian Rotok, dan kini Deno Kamelus. 

Jadi ada empat orang bupati yang memerintah dan sang nenek masih menjajakan koja rebusnya dengan cara yang sama, berkeliling sambil meneriakkan "koja...koja".

Ada yang miris di sini. Para bupati Manggarai tidak pernah memerhatikan nasib sang nenek dan penjual kacang tanah rebus lainnya di Kota Ruteng selama dua puluhan tahun terakhir.

Mungkin pula cengkeram kapitalisme begitu hebatnya, hingga para bupati dan semua orang Manggarai lainnya lebih tertarik pada produk korporasi, semisal kacang garuda atau produk kacang tanah lainnya dalam rupa kemasan yang berseliweran di toko-toko dan kios-kios.

Padahal, kacang tahan yang direbus merupakan produk asli orang Manggarai. Bupati tinggal bekerja sama dengan pengusaha dan penjaja kacang tanah di Kota Ruteng atau sekitarnya untuk memproduksinya dalam jumlah yang banyak dan dijual dalam bentuk kemasan yang menarik. 

Bukan tidak mungkin, secara perlahan-lahan koja menjadi produksi yang laris-manis. Petani akan berlomba-lomba menanam koja. Produksi koja pun lancar. Masyarakat Manggarai pasti akan membelinya sebab mereka bangga koja telah diproduksi dan dikemas dengan apik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun