Guyuran hujan sudah mereda. Sang nenek pamit untuk kembali menjajakan kojanya. Namun sebelum itu, saya mengambil dua kantong plastik koja rebus untuk dibawa ke rumah. Ketika saya menyodorkan selembar dua puluh ribu, sang nenek menolaknya. Ia berjalan di emperan tokoh, dengan suara yang kecil, ia menawarkan kojanya kepada setiap orang, "Koja...koja tenang" ("Kacang tanah...kacang tanah rebus").
Seperginya sang nenek, saya dan teman saya juga beranjak ke rumah. Di atas motor, saya merenungkan kembali kata-kata terakhir sang nenek, tidak baik membuang pekerjaan yang sudah menghidupi kita bertahun-tahun.Â
Penyesalan dan refleksi pun berkecamuk dalam kepala saya. Betapa saya telah menyia-nyiakan pekerjaan saya atau tidak tekun dan setia pada pekerjaan yang diembankan kepada saya. Betapa saya sering menjadi orang yang cepat puas pada pekerjaan. Pokoknya banyaklah refleksi saya tentang kata-kata terakhir sang nenek dengan saya.
Namun, ada satu kisah menarik yang saya dapati dari kisah sang nenek tadi. Ia telah menjajakan koja rebusnya di Kota Ruteng selama dua puluhan tahun dan di masa bupati yang berbeda-beda. Mulai dari alm. Gaspar Ehok, Anthon Bagul, Christian Rotok, dan kini Deno Kamelus.Â
Jadi ada empat orang bupati yang memerintah dan sang nenek masih menjajakan koja rebusnya dengan cara yang sama, berkeliling sambil meneriakkan "koja...koja".
Ada yang miris di sini. Para bupati Manggarai tidak pernah memerhatikan nasib sang nenek dan penjual kacang tanah rebus lainnya di Kota Ruteng selama dua puluhan tahun terakhir.
Mungkin pula cengkeram kapitalisme begitu hebatnya, hingga para bupati dan semua orang Manggarai lainnya lebih tertarik pada produk korporasi, semisal kacang garuda atau produk kacang tanah lainnya dalam rupa kemasan yang berseliweran di toko-toko dan kios-kios.
Padahal, kacang tahan yang direbus merupakan produk asli orang Manggarai. Bupati tinggal bekerja sama dengan pengusaha dan penjaja kacang tanah di Kota Ruteng atau sekitarnya untuk memproduksinya dalam jumlah yang banyak dan dijual dalam bentuk kemasan yang menarik.Â
Bukan tidak mungkin, secara perlahan-lahan koja menjadi produksi yang laris-manis. Petani akan berlomba-lomba menanam koja. Produksi koja pun lancar. Masyarakat Manggarai pasti akan membelinya sebab mereka bangga koja telah diproduksi dan dikemas dengan apik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H