Dok:carcrash.org
Kuingat betul, pagi itu amat cerah ketika kami berlima piknik ke Puncak.Mobil  sendan tua Papa beringsut pelan meninggalkan rumah kami di Depok  saat tetangga masih enggan keluar rumah di hari Minggu. Sebelah kiri depan kulihat Ibu mulai mempersiapkan sisa rajutannya untuk dia lanjutankan di perjalanan.Disampingnya Papa duduk  berkonsentrasi di belakang setir.Sedang di bagian tengah, aku Mira masih mengantuk melepas pandang kedepan mengamati  lalu lintas yang  masih sepi.Dan penumpang terahir, adik lelakiku, Dio, masih bocah lagi asyik bermain game dengan kepala di tekuk
Sebetulnya aku  malas ikut hari itu karena sekolah kami akan rehearsal buat  sebuah Festival Music Classic di Mall Kelapa Gading Jakarta.Dan aku sebagai salah seorang pemain piano andalan di harap panitia sanggup  menyuguhkan sebuah pertunjukan musik spektakuler.Aku tak beritahu hal ini pada  Papa atau Mama  karena kutahu mereka telah lama mempersiapkannya.Papa yang telah pensiun sebagai pegawai negeri,masih tetap melanjutkan hobbynya ngelencer.Sekarangpun sebagai agent asuransi sambilan, dia masih curi2 waktu buat menyenangkan keluarga kecilnya.Lalu kalau dia punya uang lebih, dia  ajak seluruh  keluarga besarnya  piknik patungan kalau tidak, dia keluarin uang  lebih banayk  buat nutupi ongkos.
Menjelang tengah hari kami telah sampai di kaki bukit menuju Puncak dimana  hanya ada  satu ruas  jalan kecil  buat di pakai dua arah dan diapit oleh  gundukan kebun teh berwarna hijau.Diatas bukit kecil  terlihat sebuah mesjid mungil bercat putih  nampak anggun menghadap ke jalan.
Tikungan  demi tikungan kami lewati dengan pelan dan hati2.Papa tidak mau menyalip jika  di depan betul2 telah  kosong.Sampai akhirnya iring2an mobil hampir menyelesaikan pendakiannya di bukit  terahir. Waktu itu mobil kami  persis di belakang sebuah truck gandengan  yang sarat dipenuhi keranjang berisi ayam peliharaan.Tiba2 dalam hitungan detik kendaraan besar ini mundur dan semakin mendekati mobil kami.Papa yang tidak siap kudengar berteriak keras:"Remnya blong.......!!!!! .Seketika terdengar benturan keras.Terasa mobil kami terpental jauh........jauh ......ke bawah jurang.Api kulihat menjalar cepat kearah Mama lalu  kearah kami menjilati bangku tengah. Semuanya hitam  berasap.Disusul  ledakan keras,lalu diakhiri dengan keheningan di kegelapan..........!!!!Tak kedengaran suara apapun kecuali tumpahan air radiator yang mendesis membasahi wajahku.Perlahan semuanya kabur, dan kosong di kegelapan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disaat mataku terbuka, kulihat orang2 pada berlarian  mengerubumi mobil kami yang sedang terbakar.Seorang polisi kulihat ter-gesa2 mengeluarkan  tubuh2 terluka dari dalam mobil.Tak salah, itu Pap penuh darah di kepalannya, lalu Mama di gendong keluar dengan wajah merah di balut darah segar.Aku berteriak keras sambil menangis memanggil keduanya, tapi sungguh heran tak seorangpun mendengar jeritanku.Kurengguk pundak seorang pria yang mengangkat tubuh kecil si Dio, tapi rasanya dia tidak bereaksi, ataupun  menoleh kearahku.Dan terahir, di-sela2 kursi mobil, seseorang mengeluarkan seorang  perempuan yang kelihatan persis wajahku..Saat itulah aku mulai curiga..Mungkinkah..........mungkinkah aku telah meninggal???Aku kembali menjerit, melonglong setinggi langit>Tapi suaraku hilang sekali lagi di telan bunyi  ledakan keras mobil  Papa.Asapnya membumbung tinggi di tengah persawahan.
Di tengah hiruk pikuk, kuikuti orang2 naik ke sebuah ambulance dimana tubuh Papa dan Mama tergeletak di bagian tengah.Kupegang kedua tangan mereka sambil menangis sepanjang jalan.Tiba di rumah sakit, keduanya di masukkan langsung kekamar operasi lalu pintunya mereka tutup.Diluar aku duduk di di dekat  pintu dan tak henti2nya berdoa.Tak kupeduli orang2 ber lalu lalang di depanku.Mereka se-olah2 tidak melihatku duduk di sana,  sampai akhirnya pintu di buka kembali.Seorang petugas membukanya lebar2 dan kedua tubuh orang tuaku di tutupi kain putih di dorong keluar ruangan.Tak lama kemudian, satu tubuh kecil didorong pula masuk keruang operasi.Aku tahu dia adik kesayanganku si Doi.Aku pejamkan mata sambil brrdoa lagi..Namun tubuh mungil itu lebih cepat menyusul Papa dan Mama  membuat aku meraung lebih keras.Ketika juru rawat mendorong tempat tidur terahir, aku sudah  tahu, itu adalah tubuhku dan  tak sanggup lagi berdiri mematung disana.Aku dengan cepat  menyelinap masuk keruang operasi tanpa mereka  perhatikan.Aku berdiri di pojok sambil perhatikan usaha mereka membuatku bernafas kembali.
Mula2 seorang juru rawat wanita  memasangiku masker, setelah itu seorang dokter memompa dadaku dengan sebuah alat.Ini dia lakukan ber-kali2 sambil memberi aba2 pada pembantunya yang terlihat kalang kabut.Pada hentakan  kelima, terlihat di monitor  jantungku mulai beraksi hingga curvenya  mulai melaju naik turun.Ini membuat mereka tersenyum lalu bersorak gembira.
" Puji Tuhan.Yang ini masih bisa kita selamatkan.Terima kasih teman2.Nanti dia bisa dipindah ke Recovery Room," ujar sang dokter lalu mereka keluar satu persatu meninggalkan aku sendirian disana.Tidak terlalu lama, dua orang perawat datang mendorong tempat tidurku ke bangsal lain yang terletak  di bagian tengah Rumah Sakit.
Hari pertama berlalu tanpa seorangpun datang menjenguk.Sepanjang hari aku hanya duduk termagu memandangi tubuhku di ruang kosong.Mulai dari kepala yang di perban  setelah di operasi.HIdung masih di tempelidengan masker dan di hubungkan dengan sebuah tabung oksigen.Juga masih menjalani infus, dan sebuah kabel yang di hubungkan dengan alat monitor untuk memantai detak jantung, tekanan darah.Kaki kirikupun di gantung, mungkin mengalami patah di bagian lutut.Aku hanya pasrah, merasa tak berdaya sama sekali.Kalau ingat kkematian trategis Papa, Mama dan Doi, rasanya aku akan berteriak keras lagi.Tak menegerti mengapa semua ini bisa menimpaku.
Pada hari kedua Opa dan Oma dari Solo datang ter-gopoh2 memasuki kamar lalu  keduanya berteriak histeris sambil mengguncang lengan kananku.Kulihat Oma jatuh terduduk dan perlahan pingsang di lantai.Sedang Opa menangis sambil menutup wajahnya.Cukup lama mereka di situ sampai malam harinya setelah mereka tenang, mereka mendekati aku lagi sambil berbisik.
"Cepat sembuh yah sayang.Opa dan Oma tetap bersama, dan mendokan mu pada Tuhan.Oma bawakan salib.Oma taruh di bawah bantalmu.Bunda Maria pasti mendengar doa kami, dan minta putra nya Jesus menyembuhkan."
Opapun  ber-kata2 pelan, tapi dia tak sanggup menahan tangisnya, sampai2 aku tak dengar apa yang dia ucapkan.Aku ingin berteriak dan merangkulnya.Tapi kutahu itu akan sia2 karena mereka tidak akan merasakannya.
Di hari ketiga, aku masih tetap koma, dan suster2 dan dokter datang bergantian memeriksa keadaan tubhku dengan seksama.Pada petang harinya, teman2 kelas datang bergerombol menjengukku.Kulihat teman karibku, Jenny juga datang membawa  dua tangkai bunga mawar.Ini membuat aku tersenyum.Dia masih ingat dengat bunga kesukaanku.Satu-persatu mereka datang mendekati dan memegang tanganku sambil berdoa bersama menundukkan kepala.
Beberap hari berikutnya, tidak seorangpun yang datang menjenguk.Setekah itu Oma dan Opa datang lagi.Mereka duduk terdiam sebentar, lalu Oma Oma bangkit dari kursinya  dan  membisikiku:"Oma akan tinggal menemani sampai kau  siuman. Opa akan pulang dulu ke Solo karena ada urusan,"
Opa masih terdiam, baddannya bergetar sembari berkata pelan hampir tak terdengar, bisiknya:
"Kami tak mau kehilangan kamu cu, semua family kita mendoakanmu sembuh kembanli.Tapi kita tidak mau tersiksa berkepanjangan.Seandainya Tuhan menghendakimu, dengan berat hati kami sudah siap,"
Dia terdiam lagi.Air matanya mengucur terus.Genfgamannya kulihat semakin erat di tanganku.Sebelum pergi sayup2 keduanya berdoa Bapak Kami, lalu disambung dengan Salam Marya.Memang kami dari keluarga Katolik.Sepeninggal mereka suasana jadi sepi kembali.Namun tak disangka, Teddy pacarku juga datang dari Singapura.Dia langsung berlutut di pinggir ranjangku lalu nangis tersisak, kepalanya di a letakkan dekat kepalaku sambil terus menagis.Namun dia akhirnya berbisik juga dekat telingaku:
"Ma'af Mira, aku baru dengar.Sorry.......Aku turut berduka......"
Kembali aku menangis mendengarnya.Terisak tapi tetap menatapnya dari  belakang di tepi ranjang.Dia terus kutatap dan mendengar kata2nya yang dia campur dengan beberapa doa yang dia panjatkan pada Tuhan.Setelah itu dia menyanyikan  sebuah lagu rohani.Lagu yang biasa kami berdua nyanyikan di gereja.Sayup2 kudengar dia berucap:"Tuhan terjadilah menurut kehendakmu,"
Aku yang duduk di belakang, di tepi ranjang perlahan mengalami penglihatan kabur, dan berubah hitam sama sekali.Rasanya badanku terasa melayang, terbang menerobos terowongan gelap,terus........melaju.......dan akhirnya keluar  di sambut cahaya yang menyilaukan.Disana kulihat pada pasir.Indah sekali......angin berhembus lembut........Matahari juga terasa sejuk......Tapi tak seorangpun ada disana.Tiba2 dari belakang kudengar gemuruh.Sepertinya ribuan burung2 berkepak-kepak.Pada barisaan depan kulihat orang2......tua, anak2.......pemuda....segala macam.....Semuanya terbang , kaki mereka tidak menyentuh tanah......Mukanya pucat menghadap kedepan, kearah matahari yang menyilaukan.
Tiba2 aku sangat terkejut mendengar namaku di panggil:"Mira........Mira..........!!!!"
Oh itu suara Mama.Aku mendongak kulihat Mama, Papa, dan Doi terbang bersama bergandengan tangan.Aku segera berteriak secepatnya.
"Mama....Papa.......Kamu dimana......dimana......?????"
Mereka tidak segera membalas, tapi menatapku tajam sekilas, lalu berkata seraya berusaha memegang tanganku:
"Jaga dirimu baik2.Juga Oma dan Opa.......Kami duluan.....!!!!"
Sekali lagi akyu berteriak sekerasmya:
"Eh .....tunggu .....Dio......!!!"
Aku masih berteriak ketika terasa ada orang memegang kedua pundakku.Sayup2 kudengar teriakan orang.
"Suster........Dokter......Myra siuman.......cepat.......kemari......!!! Itu suara Teddy.
Ketika mataku terbuka nampak orang2 pada nyerbu masuk kekamarku, sementara Teddy masih memeluk dan mencium dahiku berulang-ulang.