Setelah ancaman pandemik sedikit berkurang di awal bulan September tahun ini, maka hasrat kami melepaskan rindu ke tanah air akhirnya kami tindak lanjuti.Kami jadi juga ke Indonesia dengan menumpang pesawat Singapura Airlines di pertengahan bulan September tahun ini.Â
Hanya seminggu kami istirahat di Bogor, lalu menuju kota kelahiran Angin Mamiri>Dan disana  saudara2, keponakan2 yang sudah pada berumah tangga telah  pada  lama menunggu.
Di kota Makassar kami bersantai sekitar 10 hari, lalu  setiap harinya diisi dengan acara kuliner, plesiran ke kota peristirahatan Malino, pantai Birah dan masih banyak tempat lainnya.
Setelah itu kami tancap  ke negeri tetangga,Thailand dan tiba tengah malam  karena pesawatnya di delay beberapa jam. Karena itu, sebuah hotel kecil dekat bandara menjadi pilihan kami buat tidur secepatnya. Esokan paginya sekitar pukul 7.30 am, kami berdua dengan anak lelaki, Marcel, sudah ngelayap cari sarapan pagi
.Rupanya kami bermalam  dekat  pasar, jadi soal sarapan tidak ada masaalah.Nampak para pedagang tua muda telah pada sibuk mempersiapkan dagangannya.
Dari sebuah hotel kecil, kami pindah  ke yang lebih besar  di tengah kota Bangkok.Sepanjang perjalanan, saya terus amati setiap jengkal kebersihan kota.Namun tak secuilpun sampah saya lihat beterbangan atau tergeletak di pinggir jalan.Kotanya betul2 bersih dan tidak semrawut. Namun sayang, hotel2 yang kami tempati, tidak satupun  saya ingat namanya.
Esok  harinya lagi, kami sewa taxi ke kota wisata Pattaya yang terletak di pinggir pantai dan memakan waktu perjalanan selama 2 jam.Disinipun kami gonta ganti hotel supaya lebih dekat dengan pusat keramain.
Pusat hiburan letaknya di pinggir pantai yang di batasi satu lajur jalan dua arah.Di tepi jalan berjejer pusat2 keramain yang di dominasi dengan night club, panti pijat, pertukaran uang yang tidak pake KTP si penjual, dan juga ada penjual gorengan dan semacamnya di pinggir jalan trotoar.
Di bibir pantaipun keadaan mirip2 sama.Terdapat tenda2 penjual makan dan minuman berjejer menghadap ke pantai.Situasi disini sama semua.
Orang2 pada bersantai, tua muda, bule2 tua di dampangi gadis2 remaja lokal berkulit coklat selalu ada disamping mereka.Jadi kalau lelaki bulenya 5 orang, disamping  mereka juga  ada gadis2 teeneger 5 orang.Disini bule2 laku banget,tidak peduli, bonafit atau tidak.
Di hotel kami, saya pernah lihat seorang bule masih muda dan dekil, keluar dari elevator disusul istrinya( mungkin).Lalu  sang cewek disusul lagi sama semua anggota keluarganya, termasuk bapak/ibu dllnya sekitar 8 orang.Jadinya saya bingung dan ber-tanya2:"Siapa sih yang di untungkan dalam "bisnis" ini?Si bulekah?Karena bisa gaet cewek dengan murah atau si cewek yang bisa meras si bule?
Hari2 berikutnya kami berkunjung ke sebuah kuil suci berlokasi di pinggir pantai bernama Sanctuari of Truth.Bangungan dari kayu berwarna coklat dengan atap2 menjulang keatas seolah  mencakar, membuat kami tercengang
.Beberapa petugas telah berdiri di pintu masuk telah siap menanti lalu mengatur para pengunjung memasuki istana kayu.Sebagian besar pengunjung berbaris menuruni jalan setapak, sisanya penyandang cacat di sediakan mobil van melalui jalan khusus.
Tiba di ruang tengah istana, terlihat kemegahan jaman dulu, dan di tengah keheningan,kegelapan di terangi dengan sinar2 lilin yang samar2 nampak di tengah sajian.Patung2 yang semuanya terbuat dari kayu terukir halus, banyak kita dapati di sudut ruangan..Seperti patung Ganesha, disebut sebagai Dewa bijaksana, kemakmuran dan kesuksesan.
Suasana yang tadinya hening dan khusuk tiba2 menjadi berisik disaat rombongan turis lewat di dekat kami. Sang guide  nampak asyik  menceriterakan sesuatu pada orang2 Rombongan kecil ini banyak  di penuhi orang2 India dan beberapa orang Bule.Seluruh pengujungn  mengenaka topi plastik, termasuk kami buat jaga2 keselamatan.Mungkin takut ke timpa duren mentah.
Dekat dengan pintu masuk di sayap kanan ruangan kami dapati beberapa benda peninggalan sejarah, diantaranya patung2 kecil, dengan informasi yang terukir dalam peti kaca, seperti yang saya perlihatkan di bagian atas.
Puas melihat-lihat segenap isi kuil, kami turun kebawah lewat tangga kayu dan disambut dengan seekor gajah yang melintas di depan kami dengan pongah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H